Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. ☕ Air Mata Pada Secangkir Kopi ☕

"Bagaimana rasanya mendaki gunung?" tanya perempuan itu pada lelaki di depannya.

"Rasanya itu ngeri-ngeri sedap. Mirip-mirip kayak gebetan, lah," jawab si lelaki.

"Maksudnya?" Si perempuan bertanya lagi.

Mendengar percakapan itu, aku hanya diam saja. Kusuguhkan dua gelas kopi Vietnam drip di atas meja, lalu tersenyum tipis sebelum berlalu dari kedua pengunjung itu.

Obrolan keduanya mengingatkanku pada Andaru dan teman-temannya. Apa kabar mereka berlima? Ah ya, baru saja beberapa hari yang lalu mereka kembali ke Palembang. Pada saat itu juga, aku mengomentari status WhatsApp Aciel. Bukannya mengabulkan permintaanku agar dia menghapus statusnya, tetapi malah membalas, 'Percuma saja dihapus, sudah dilihat oleh 25 orang. Termasuk calon mempelai laki-laki.'

"Sal, lihat jalan! Entar nabrak." Suara Nana membuyarkan lamunanku.

Aku mengembalikan nampan ke atas meja.

"Mikirin siapa? Andaru?" Nana menggodaku.

"Tidak," sangkalku cepat. Walaupun iya juga, sih. "Soal buku itu." Pandanganku berpindah pada etalase kecil di meja paling ujung, yang berisi bermacam kue buatan Ghea dan ibunya.

Tiba-tiba saja Nana bernyanyi. "Buku oh buku, kenapa kau tak tampak? Macem mane aku nak tampak, aku dipeluk Itzan ...."

Kutatap Nana—yang baru saja selesai membuat kopi V60 di sebelahku—dengan pandangan jengkel. Apalagi dengan lagu yang baru saja didendangkannya itu. Apa katanya? Buku catatanku dipeluk Bang Itzan? Oh Tuhan, semoga saja tidak. Aku geli membayangkannya. Eh, maksudku membayangkan dipeluk Bang Itzan. Jikalau benar Bang Itzan yang menemukan buku itu, pasti sudah dikembalikan dari kemarin, kan?

"Sal, aku sarankan, kamu buat sayembara saja," usul Nana.

Aku—yang baru menatap ke meja-meja cokelat tua di pelataran booth—lantas berpaling ke arahnya.

"Siapa yang menemukan buku itu, maka dia akan menjadi suamimu," lanjut Nana.

"Kayak di film-film saja," gerutuku.

Nana tertawa pelan. Lalu, dia lekas membawa pesanan kopi V60 ke sebuah meja paling kiri dari booth. Ada seorang pria bersama istri dan anaknya yang masih balita di sana.

Saat Nana kembali ke dalam booth, aku pun berujar, "Kalau mau pulang, pulanglah. Sekarang sudah pukul lima lewat."

"Iya, sebentar lagi." Perempuan yang sekarang mengenakan atasan kemeja putih dengan garis-garis biru itu meraih tas bahu miliknya. "Sal." Dia menarik kursi ke sisiku dan duduk di sana. "Coba tebak, siapa perempuan yang duduk di meja sebelah kiri itu?"

Perkataan Nana jelas menyebabkan keningku berkerut. Aku kembali menatap pria yang sedang bersama perempuan dan anak balita itu.

"Istrinya ... mungkin?" jawabku ragu. Kenapa Nana bertanya demikian?

"Betul," ucap Nana.

"Terus, masalahnya apa, Nana?" Aku bertambah bingung. Suami, istri, dan satu anak, kan biasa saja.

"Masalahnya itu, dia adalah istri muda."

Alisku yang tadi menyatu malah terangkat.

"Kamu kenal?" tanyaku.

Nana menggeleng.

Alisku yang terangkat sekarang menyatu lagi. "Dari mana kamu tahu kalau dia istri muda?"

"Sewaktu aku menyuguhkan kopi tadi, ponsel yang ada di atas meja mereka berdering. Aku tidak sengaja lihat ke layarnya. Dan ... tulisannya di sana 'Istri Tua'. Dua kali istri tuanya telepon lho, tapi tidak diangkat-angkat."

Aku menghela napas panjang. Semenjak kerja di Rain Coffee, Nana memang sering menemukan hal yang aneh-aneh. Waktu itu, dia pernah cerita kalau ada kejadian yang persis seperti ini. Seorang pria usia 30-an tahun sedang bersama perempuan dan seorang anak balita. Nana pikir, yah, mereka sepasang suami-istri. Eh, setelah ponsel si perempuan berdering di atas meja, pria yang duduk satu meja dengannya bilang, "Suami kamu telepon tuh, diangkat. Bilang saja kamu lagi di mana gitu. Di minimarket apa, kek". Artinya, si pria itu ... mungkin selingkuhannya? Iya, kan?

Aku sendiri belum pernah menemukan kejadian-kejadian yang aneh begitu. Cuma ya itu ... sikap Bang Itzan yang akhir-akhir ini berbeda terhadapku. Ibarat batu es yang mencair. Aku sendiri belum menemukan apa penyebabnya.

"Kamu belum mau pulang?" tanyaku setelah Nana merogoh ponsel dari tas bahunya dan sibuk mengetik sesuatu.

"Ngusir, ya?" Nana berpaling sesaat dari layar ponselnya.

"Bukan gitu," bantahku. "Kamu pasti capek. Pulanglah, istirahat."

"Ya, ya." Nana bangkit dari kursi, kemudian merapikan rambut kucir kudanya. "Sebentar lagi Bang Iztan pasti ke sini. Tadi dia menjaga si Geffie."

"Hati-hati, Na. Lihat jalan, entar nabrak," kataku, mengulangi perkataan Nana tadi.

Nana tersenyum, lalu mengayunkan langkah menuju pintu booth. Senyum rekan kerjaku itu benar-benar bisa menggantikan gula. Kalau kehabisan stok gula, bisa menikmati secangkir kopi pahit sembari memandang senyumnya. Apaan, sih?

Belum sampai setengah jam Nana berlalu dari Rain Coffee, ketika aku sedang membuat satu gelas plastik alpokat kocok topping keju—pesanan seorang pengunjung yang baru tiba—Bang Itzan muncul. Lelaki itu melangkah buru-buru sekali. Yang membuatku mengernyit, wajah Bang Itzan tampak begitu cemas. Ada apa lagi ini?

Bukan hanya itu, Ghea juga menyusul di belakangnya. Perasaanku yang tak nyaman sedari berangkat tadi, bertambah tak nyaman melihat wajah Bang Itzan dan adik perempuannya.

"Sal!" panggil Bang Itzan sembari menghampiriku.

Aku menunda untuk memasukkan 45 cc susu kental ke dalam wadah yang sudah berisi alpokat. Sebelum aku sempat bertanya, Bang Itzan bicara lagi.

"Sekarang juga, kamu ikut aku!"

"Ada apa, Bang?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

"Nanti aku jelaskan," jawab Bang Itzan. Lalu, lelaki itu melirik adiknya. "Biar Ghea yang lanjutin." Pandangannya berpindah pada gelas pengukur dan botol susu kental di tanganku.

Tanpa berkata atau bertanya lagi, aku menaruh kedua benda yang kupegang di atas meja. Kemudian, aku menarik tas selempang dan meraih ponsel dari atas kursi yang tadi kutempati.

Perasaan takut dan cemas bercampur dalam diriku. Lebih-lebih saat melihat ke layar ponsel. Sudah lima kali nomor Emak menghubungiku. Ada apa ini? Tumben-tumbennya Emak menelepon saat masih sore begini. Ah ya, sedari tadi ponselku dalam mode senyap. Pantas saja aku tak dengar.

Kuikuti langkah Bang Itzan menuju mobil pikapnya yang sudah terparkir di tepi jalan. Mengingat ekspresi wajah Ghea yang tak seperti biasa, membuatku juga bertanya-tanya.

"Masuk!" pinta Bang Itzan setelah membuka pintu mobil yang sekarang berada di sebelah kananku.

Aku mengambil tempat di jok sebelah kemudi. Begitu mobil melaju, aku kembali bertanya, "Bang, ada apa?"

Bang Itzan sangat fokus mengendarai mobil. Lelaki itu tak menjawab, yang membuatku memegang tas selempang dengan erat. Awalnya kukira Bang Itzan akan membawa mobil menuju kediamanku, tetapi kendaraan melaju ke arah rumah sakit. Pikiranku mulai ke mana-mana dan perasaan cemas begitu mendominasi.

"Bang," panggilku. Aku melirik lelaki di sebelahku yang baru saja memarkirkan mobil dan melepas sabuk pengaman. "Kenapa kita ke rumah sakit? Ada apa?" Suaraku tercekat.

Bang Itzan bersandar di jok mobil, pandangannya lurus ke depan. Dia terdiam hampir semenit. Hingga akhirnya Bang Itzan membenarkan posisi duduknya dengan kedua tangan berada di setir.

"Sal," katanya dengan suara pelan sembari menoleh. "Kamu harus kuat."

Harus kuat? Memang seharusnya begitu, kan? Seorang Nahla Sallum selalu berusaha kuat agar adik dan ibunya bahagia.

Sembari menunggu Bang Itzan melanjutkan ucapannya, aku mengatur ritme jantung. Namun, aku tak mampu.

"Ibumu ...." Bang Itzan menatapku dengan tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. "Ditabrak mobil dan ...."

Ya Tuhan!

"Emak?" Alisku langsung naik. Jantungku seperti ingin berhenti berdetak. Emak kecelakaan? Apakah itu benar?

Bang Itzan mengangguk pelan. "Apa pun yang terjadi, aku ada di sini, di sampingmu. Kamu—"

"Bang," aku menyela, "E–Emak ... Emak kecelakaan? I–ini, ini ...." Buliran bening mulai membasahi mata.

Apakah Bang Itzan sedang bercanda? Beberapa menit yang lalu, Emak menghubungiku, kan? Bahkan, sejam lalu, aku masih melihat Emak baik-baik saja. Aku masih mendengarnya menyebut namaku, dan aku masih merasakan sentuhan tangannya yang menenangkan. Bagaimana mungkin sekarang Emak berada di rumah sakit? Bagaimana ceritanya?

Tubuhku bergetar hebat bersamaan dengan air mata yang mengalir ke pipi. Kuharap ini hanya mimpi buruk yang akan kulupakan ketika terbangun.

Tanpa berkata apa pun lagi, aku langsung turun dari mobil dan mengayunkan langkah dengan cepat menuju UGD. Kedua tanganku masih memegang erat tali tas selempang. Seakan-akan hanya benda ini yang mampu menopang tubuhku.

Kutahan isak tangis dan sesak dalam dada. Masih saja aku berkata dalam hati bahwa ini tidaklah nyata. Emak pasti baik-baik saja dan aku akan tetap melihatnya esok pagi.

Sebuah ruangan besar dengan deretan tempat tidur dorong yang dipisah sekat kain putih menjadi tempatku berdiri sekarang. Aku hendak bertanya pada petugas rumah sakit di balik meja, tetapi suaraku menghilang entah ke mana. Yang tersisa hanyalah air mata. Walau aku terus menyekanya, tetap saja air mata ini turun lagi dan lagi.

Aku terkejut melihat ibu Nana keluar dari balik salah satu tirai putih. Wanita paruh baya itu tampak cemas. Sekarang selain memikirkan Emak, aku tiba-tiba juga memikirkan Nana. Mengapa ibu Nana juga berada di sini?

"Sallu?" Bu Wina menyebut namaku.

Wanita paruh baya itu langsung menghampiriku. Bukan hanya itu, dia memelukku dan menangis. Perasaanku makin tak keruan.

"Kamu harus kuat, Nak. Semua pasti akan baik-baik saja," hiburnya.

Aku ingin bertanya, tetapi leherku seperti tercekik. Aku sulit bicara. Seseorang meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku melihat Bang Itzan telah berdiri di sampingku. Dia membawaku menghampiri petugas rumah sakit.

Aku mendengarnya menyebut nama ibuku. Kemudian, petugas rumah sakit tersebut membawa kami ke sebuah lorong dan berhenti di depan sebuah ruangan. Tulisan 'Unit Kamar Jenazah' di atas pintu benar-benar membuat tubuhku ingin merosot ke lantai. Suaru-suara di sekeliling seolah-olah menghilang, berganti dengan isak tangisku yang akhirnya tak dapat terbendung lagi.

Bang itzan tetap menggengam tanganku ketika kami memasuki ruangan. Begitu petugas menarik kain putih yang menutupi tubuh seseorang di atas brankar, kedua kakiku tak dapat lagi menopang tubuh. Aku benar-benar merosot ke lantai.

"Emak ... Emak ...." Hanya itu kata yang keluar dari bibirku yang bergetar. Aku ingin menggapai tangan Emak, ingin kusentuh wajahnya yang pucat, ingin kupeluk erat tubuhnya, tetapi diriku tetap di lantai yang dingin ini.

Bang Itzan yang tetap menggenggam tanganku lantas mengambil posisi di depanku. Dia menatapku. "Sal," panggilnya. Sangat lembut di telingaku.

"Emak ... Emak, Bang ...." Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.

"Sal," panggil Bang Itzan lagi. Sekarang kedua tangannya menyentuh pipiku yang penuh dengan air mata.

Tak ada lagi yang kupikirkan kecuali Emak. Tak ada yang kuinginkan kecuali Emak. Untuk apa aku bekerja? Untuk apa aku menggapai impianku? Sosok yang kusayangi sudah tidak bernyawa lagi, bukan?

Ya Tuhan, mengapa ini terjadi padaku? Mengapa Kau ambil Emak? Aku sangat menyayanginya, Tuhan. Aku belum membahagiakannya. Aku belum membalas jasa-jasanya yang besar. Aku belum menjadi Sallu yang bisa Emak banggakan. Aku belum menjadi seorang barista profesional.

"Sal."

Masih kudengar Bang Itzan menyebut namaku. Kurasakan pelukannya yang hangat.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro