Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08. ☕ Ada Apa Dengan Secangkir Kopi? ☕

Apabila sesuatu yang diinginkan tidak bisa kudapatkan, justru didapatkan oleh orang lain, aku harus berlapang dada. Setiap insan pasti punya kisah, perjalanan, dan akhir ceritanya sendiri. Kalimat itu muncul dalam benakku ketika melihat momen nembak Raina pada Andaru.

Kalimat 'I love you, Andaru' terus saja terngiang dalam kepalaku. Ah, aku kenapa? Apakah ada yang salah? Dari awal, Raina memang tampak sekali naksir Andaru, kan? Bukan naksir lagi sih, melainkan lebih ke ... mencintai secara diam-diam dalam waktu yang cukup lama. Ketika melihat bahasa tubuh Raina setelah dia mengatakan perasaannya, perempuan itu tampak bahagia sekali.

Aku menghela napas panjang. Kurasa salahnya cuma satu. Aku yang ... yah, tak pernah mengalami hal seromatis itu. Benar.

Fokus pada jalan yang dilalui, itu yang kulakukan saat turun dari Puncak Pesagi. Beruntung beban di punggungku tak seberat yang dirasakan oleh Andaru dan teman-temannya. Bahkan, kudengar Aciel mengatakan kalau tas gunungnya serasa menjadi dua.

Ah ya, Raina berjalan paling depan, tetapi tidak bersama Andaru. Perempuan itu tampak seperti ingin secepatnya sampai di Desa Hujung. Di belakangnya, tampak si Bahi, disusul oleh Shofwanul dan Aciel. Sementara itu, di belakangku ada Caka dan Andaru.

Keningku tentu saja membentuk kerutan. Bayangkan saja, Raina berada paling depan, sedangkan Andaru yang paling belakang. Bukannya mereka baru melewati momen nembak di puncak gunung? Lalu, mengapa sekarang terlihat berjauh-jauhan? Seolah-olah keduanya tak saling kenal. Ataukah adegan yang kulihat tadi hanyalah sandiwara belaka? Masa iya?

Ah, entahlah. Aku hanya ingin pulang, meninggalkan gunung dengan ketinggian 2.262 MDPL ini—begitu yang kulihat pada beberapa foto di kamera Shofwanul. Lalu, beristirahat selama dua hari dan tidur di kamarku yang nyaman.

Mendadak Caka beriringan denganku, meninggalkan Andaru sendiri di belakang. Saat aku melirik Caka, dia memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih. Aku sendiri malah memperhatikan matanya yang sipit itu.

"Sal," panggilnya. "Kamu sudah punya pasangan belum?"

Eh? Aku menghentikan langkah.

"Pasangan?" Alisku terangkat. Tiba-tiba sesuatu melintas di pikiranku. "Emm, ada. Ini," jawabku sambil memperlihatkan trekking pole di tangan. Lalu, aku pun menarik sudut bibir.

Kulihat wajah Caka berubah jengkel. "Aku ini sedang serius, Sallu."

Memang, nada bicaranya terdengar serius ketika berujar demikian. Akan tetapi, sebelum itu, suaranya terdengar bercanda.

"Maksudku, kamu sudah punya pacar belum?"

Aku kembali mengayunkan langkah. Caka menyusul.

"Kalau punya, kenapa? Dan kalau tidak punya, kenapa juga?" Aku balik bertanya. Hei, memangnya si Caka ini siapa hingga aku harus menceritakan hal sepribadi itu padanya?

"Jawabnya kok begitu?" gerutu Caka.

Aku tak menanggapinya karena sedang memilih pijakan yang tepat, mengarahkan trekking pole ke tempat yang tidak berbahaya. Kemudian, aku berhenti lagi tatkala beberapa orang muncul dari arah depan. Setelah kuhitung, ada sepuluh orang, sih. Tampaknya mereka juga pendaki. Terbukti dari tas gunung di punggung, di mana terdapat matras dan botol minuman di sana. Juga trekking pole di tangan mereka. Bahkan, dua–tiga orang membawa tas kamera digital.

Mataku tiba-tiba teralih pada salah satu pendaki berkulit putih dan jangkung. Bukan karena aku mengenalinya, melainkan orang itu berwajah blasteran—aku menebak Australia-Indonesia.

"Biasa saja lihatnya, dong." Suara Aciel di depan sana mengalihkan pandanganku. "Di mana-mana perempuan itu sama saja, ya. Lihat yang cakep dikit langsung melotot."

Aku tersenyum mendengar celotehan Aciel. Memangnya para lelaki tidak? Sama saja, kan?

Seketika aku bergeser saat Andaru tiba-tiba mengambil posisi di sebelah kananku, yang membuatku harus berada di antara dia dan Caka.

"Mrs. Deem, kita ini blasteran semua, lho." Aciel masih saja melanjutkan soal blasteran itu.

Oh, ya? Aku menatap Aciel dengan pandangan tak percaya. Blasteran dari Hongkong!

"Aku dan Shofwanul adalah orang Jawa-Palembang," jelasnya. "Maksudnya, ayah kami adalah orang Palembang dan ibu kami adalah orang Jawa."

Senyumku makin lebar. Iya sih, blasteran juga itu namanya.

"Terus ... si Koko, orang tuanya Cina-Palembang. Si Bahi, Palembang-Sunda. Nah, si Andaru, Palembang-Betawi."

Andaru ... Palembang-Betawi? Aku mengingatnya. Eh, untuk apa mengingat lelaki menjengkelkan seperti dia?

"Eh, Sal," kata Caka tiba-tiba. Aku pun menoleh ke arahnya. "Kalau orang sini mau bilang, 'Nama kamu siapa', itu gimana?"

Aku menjawab cepat. "Sapa gelakhmu?"

Caka membulatkan mulut. "Nah, kalau mau bilang 'Aku sayang sama kamu'," dia berdeham, "bagaimana?"

"Nyak sayang jama niku."

Caka mengangguk-angguk. "Nyak sayang niku ...," ucapnya sambil menatapku. Dari wajahnya, dapat kulihat bahwa dia memang bercanda.

***

Apa yang paling membuat seorang pendaki merasa bahagia? Menurutku, ketika dia berhasil menaklukkan gunung—tak beda jauhlah dari menaklukkan sang pujaan hati—dan kembali dengan sebuah cerita.

Sebaris kalimat muncul dalam benakku, untuk kutulis di buku catatanku nanti.

Aku dan kamu itu ternyata sama saja. Sama-sama ingin menghirup udara di puncak gunung, sama-sama ingin menghirup aroma secangkir kopi, dan sama-sama ingin menghirup wanginya cinta. Hmm.

Tak lama kemudian, setelah Bahi dan Raina berhasil keluar dari Pintu Rimba, aku pun menyusul. Aku berhenti sejenak untuk menyeka keringat di wajah dan meminum tiga teguk air dari botol. Ingin rasanya kubasuh muka sekalian.

Keningku berkerut saat melihat gelagat Bahi dan Raina di depan sana. Tampaknya kedua orang itu sedang bertengkar. Sekilas aku mendengar Raina mengatakan pada Bahi. "Apa bedanya kita berdua? Kita sama-sama berharap pada orang yang tidak mengharapkan kita, bukan?"

Aku yang masih mengernyit pun berpaling, pura-pura tak melihat mereka. Jujur saja, yang terjadi pada Andaru, Raina, dan Bahi kembali membuatku bingung. Ah, sudahlah. Sekarang keinginanku hanya satu, yaitu pulang.

Akhirnya kami tiba juga di jalan setapak menuju Desa Hujung. Bayangan dari barisan kopi yang kulihat di sepanjang jalan mulai condong ke barat. Beberapa orang yang kujumpai di perjalanan pun menyapa dan balas tersenyum.

Dari kejauhan aku melihat sosok Bang Itzan. Aku mengembuskan napas lega. Tiba-tiba saja aku merasa bahagia melihat pemilik Rain Coffee itu, apalagi senyumnya. Mungkinkah aku rindu pada lelaki yang cuek itu? Ah, masa? Uhm ..., kurasa aku merindukan secangkir kopi hangat di kedai. Hanya itu.

Bang Itzan—yang mengenakan atasan kaus abu-abu dan celana jins panjang hitam—langsung saja menjauhkan punggungnya dari pintu mobil. "Akhirnya kalian pulang juga," katanya.

"Terima kasih ya, Bang." Aciel yang lebih dulu bicara. "Sudah menunggu kami dan berada di sini tepat waktu."

Bang Itzan mengangguk. "Memang seharusnya begitu," ucapnya. "Bagaimana? Mau mendaki Pesagi lagi setelah ini?"

"Kayaknya kami kembali bukan karena mau mendaki, Bang," kata Caka pula. "Tapi ...." Dia tersenyum seraya menatapku. Menatapku? "Tapi, kami kembali untuk lamaran."

"Lamaran?" tanya Bang Itzan. "Siapa yang mau melamar dan siapa yang dilamar?" Nada suaranya berubah serius.

Apakah Bang Itzan berpikir bahwa Caka akan melamar Raina? Ataukah mengira Caka akan melamarku? Eh?

Belum sempat Caka menjawab pertanyaan Bang Itzan, Andaru bersuara sembari berjalan menuju mobil dan meletakkan tas gunungnya di sana. "Ayo, pulang, pulang! Soal lamar-melamar, besok kita pikirkan!"

Semuanya pun bergegas ke mobil, meninggalkan jejak sepatu di jalan setapak dan membawa sepenggal kisah untuk diceritakan di kemudian hari.

Kami kembali ke Kota Liwa dengan menaiki mobil yang sama. Mobil pikap bak terbuka warna hitam. Setahuku mobil ini digunakan untuk mengangkut hasil kopi dari kebun keluarga Bang Itzan. Selain mengurus Rain Coffee, lelaki itu juga harus mengurusi kebun kopi yang luas milik orang tuanya.

Sama seperti sebelumnya, Andaru dan teman-temannya duduk di belakang. Aku sendiri kembali duduk di antara Raina dan Bang Itzan, di tempat yang paling tak nyaman. Terlebih sekarang sikap Raina berubah drastis.

Sedari turun dari gunung, Raina hanya membisu. Dari ekspresi wajahnya, dia tampak sangat kesal. Ah, ada apa dengan Raina? Ingin sekali kutanyakan, tetapi takut jika hubungan kami malah bertambah buruk. Aku memilih fokus pada jalan yang dilalui mobil, dengan melihat perumahan dan pepohonanan.

Sekitar 30 menit mobil meninggalkan Desa Hujung, di mana aku sedang memperhatikan dua minibus di depan, Bang Itzan yang sedari tadi diam pun bicara.

"Kalian merasa terganggu kalau aku memutar lagu?" tanyanya dengan pandangan tetap fokus ke depan.

Raina tak menjawab, bahkan untuk sekadar mengatakan ya atau tidak. Berbeda sekali dengan sikapnya ketika berangkat kemarin pagi. Rain, ada apa denganmu?

Akulah yang akhirnya menjawab, "Tidak terganggu, Bang. Mobilnya juga kan punya Abang." Aku berniat mencairkan suasana, tetapi ... yah, seperti biasa. Bang Itzan tampaknya hanya butuh satu atau dua kata saja sebagai jawaban dariku.

Bang Itzan lantas mengeluarkan ponselnya dari dasbor, lalu menghubungkan bluetooth ke speaker mobil. Lagu barat yang pernah kudengar—yang tidak kuketahui artinya itu—terdengar lagi. Aku tahu sih arti beberapa katanya, tetapi secara keseluruhannya tidak. Kudengar ada kalimat 'Now I'm shaking, drinking all this coffee' dan 'I'm lost in my imagination'.

Jika kutanyakan pada Bang Itzan "Ini lagu siapa?", tak masalah, kan? Semoga saja Bang Itzan mau menjawab. Yah, walaupun tidak akan ada ucapan basa-basi lainnya, seperti menanyakan, "Bagaimana rasanya mendaki Gunung Pesagi, Sallu?"

"Ini lagunya siapa ya, Bang?" tanyaku setelah menghela napas.

"Lagu 'Comethru', Jeremy Zukcer," jawab Bang Itzan.

Hanya itu, seperti biasa, tak ada kelanjutannya. Misalnya, balik bertanya, "Kenapa memangnya? Kamu suka lagunya, ya?". Bahkan, Bang Itzan tak bicara sepatah kata pun lagi hingga mobil tiba di Kota Liwa.

Di depan sebuah gang, Bang Itzan menghentikan mobil. "Sudah sampai, Rain," kata Bang Itzan pada Raina, yang sepertinya tak menyadari keberadaan kami saat ini. Perempuan di sebelahku ini terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Ya," sahut Raina.

Hanya itu. Raina turun dari mobil tanpa berkata apa pun lagi, atau sekadar tersenyum ke arahku dan Bang Itzan. Selain itu, pintu mobil ditutupnya dengan cukup keras hingga aku terkejut. Raina benar-benar sedang marah. Dia marah pada siapa? Bukan marah padaku, kan?

Aku memperhatikan tas gunung di punggung Raina hingga perempuan itu menghilang di ujung gang. Saat mendengar Bahi bicara di belakang, aku cukup kaget.

"Kenapa kamu lakukan itu pada Raina?"

"Kamu lupa dengan perjanjian kita? Kita berlima dilarang suka, apalagi pacaran sama perempuan yang sama."

Itu suara Andaru.

"Alasan! Kalau kamu tidak suka, jangan dikasih harapan. Itu sama saja dengan kamu mempermainkan dia!"

"Jadi, kamu yang suka sama dia? Kenapa tidak bilang saja terus terang?" Terdengar suara Andaru lagi. "Takut sama perjanjian konyol itu?"

"Apa maksud kamu?"

"Aku lihat dengan mataku sendiri, Bahi! Kamu sedang bersama Raina di sekitaran Jembatan Ampera! Ayolah, jadi lelaki itu yang gentle dikit! Diambil orang baru tahu rasa!"

"Eh? Sudah, sudah. Kok, pada ribut?" Terdengar pula suara Aciel menengahi.

"Kalau aku tidak suka, ya aku bilang tidak suka. Lah, dia ...."

Namun, suara knalpot bising dari sebuah motor yang lewat menghalangi pendengaranku. Aku bergeser dan bersandar pada jok mobil, masih sambil memikirkan bahwa Bahi suka sama Raina dan Raina suka sama Andaru.

Sebelum tiba di rumahku, Bang Itzan bicara. "Sal, nanti sore ke kedai dulu, ya," katanya.

Aku langsung down mendengarnya. Sebenarnya, aku ingin izin tidak bekerja selama dua hari.

"Malam ini saja," lanjut Bang Itzan. Dia berpaling sekilas. "Teman-temannya Raina kan masih di tempatku sampai besok pagi."

"Iya, Bang," sahutku.

"Besok dan lusa kamu boleh libur. Capek juga menemani Raina dan teman-temannya mendaki Pesagi, kan?"

Ucapan Bang Itzan langsung membuatku menoleh. Tumben? Maksudku, tumben bicaranya panjang begitu? Kupikir tadi hanya sebatas mengatakan "Besok dan lusa kamu boleh libur" saja. Jujur, ini membuatku lega.

"Mau dengar lagu 'Kamu dan Kopiku'?"

Hei, ada apa ini? Sikap Bang Itzan padaku berbeda dari biasanya. Aku segera memalingkan wajah untuk menyembunyikan senyum. Aroma apel hijau serta pewangi mobil membuatku nyaman dan rasanya tetap ingin bersandar di sini satu-dua jam lagi.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro