Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07. ☕ Sunrise dan Kopi Pesagi ☕

Tetes demi tetes air kopi yang jatuh dari filter Vietnam drip ke dalam gelas sudah seperti jam pasir penghitung waktu. Tetesan air dan kopi yang telah terekstrak itu turun secara teratur, tak seperti jantungku yang berdegup tak beraturan.

Aku mengangkat wajah—beralih dari segelas kopi Vietnam drip di atas meja—dan bertemu dengan sepasang mata itu. Masih tak percaya bahwa pemilik sepasang mata itu baru saja mengutarakan perasaannya kepadaku.

Itu mustahil. Aku menutup mata rapat-rapat, membukanya lagi, dan menutupnya kembali. Pada akhirnya aku benar-benar membuka mata lebar-lebar. Hanya mimpi. Sebuah mimpi yang mampu membuat jantungku berdesir hebat hingga ke dunia nyata.

Cahaya mentari pagi yang menyusup dari pintu tenda membuatku mengerjap berulang kali. Aku yang berbaring dalam posisi miring pun lantas bangkit. Soal mimpi itu aku tak ingat secara detailnya. Yang kuingat, Andaru yang sedang duduk di seberang meja, tiba-tiba saja mengucapkan kata-kata itu.

"Itu hanya mimpi, hanya mimpi," ucapku lirih. Mustahil lelaki model Andaru menyukaiku. Ingat, semua lelaki bernama Andaru itu berengsek, Sallu!

Semalam obrolan Andaru dan teman-temannya—yang membahas mengenai foto Instagram dan YouTube—mengantarkanku ke alam mimpi. Pagi ini aku kembali mendengar obrolan Andaru dan yang lainnya saat terbangun. Entah apa lagi yang mereka bahas, aku hanya mendengar samar-samar.

Aku menggeliat, melipat selimut yang membungkus tubuhku semalam, lalu bangkit. Ah ya, Raina yang malam tadi berbaring di sebelahku sudah tak ada. Sepertinya perempuan itu telah bergabung dengan yang lain. Dua pertanyaanku: mengapa Raina tak membangunkanku? Apakah dia masih menganggapku sebagai perebut orang yang sedang dia dekati?

Sebelum menghampiri Andaru dan teman-temannya, aku membasuh muka lebih dulu. Rambut kuikat seperti biasa, lalu kurapikan poni tipisku. Benar saja, Raina memang berada di dekat Andaru. Keduanya sedang asyik mengobrol.

Berjarak sekitar satu meter dari Andaru dan Raina, ada juga si Aciel, Bahi, Shofwanul, dan Caka. Mereka semua membelakangiku, menikmati keindahan matahari terbit.

"Pagi, Sal," ucap Aciel ketika menyadari kedatanganku. Yang lain pun ikut menoleh. Termasuk Andaru yang sedang bersedekap di sana.

Aku buru-buru memalingkan wajah ketika bertemu dengan mata Andaru. Tatapan mata itu lagi!

"Mimpi indah semalam, ya?" Aciel mengedipkan sebelah matanya.

Ah, indah dari mana? Bermimpi Andaru bilang suka bukanlah sesuatu yang bisa disebut indah, bukan?

"Kuharap kamu bermimpi Abang Andar ...." Aciel berhenti bicara sejenak. "Ehm, maksudku, memimpikan si Badboy."

Kok, Aciel bisa tahu?

Tiba-tiba saja sebuah ranting mengenai kepala Aciel. Aku ikut terkejut.

"Aduh! Siapa, sih?" Aciel memutar badan sambil menggosok-gosok kepalanya.

Tebakanku, Andaru-lah pelakunya. Lelaki itu pasti tak terima dengan ucapan Aciel barusan.

"Cuma bercanda, Bro! Santai sedikit, lah," gerutu Aciel pada Andaru.

Andaru mengganti posisi tangannya. Dia berkecak pinggang sambil memalingkan wajah.

Shofwanul—yang pagi ini kembali bersama kamera kesayangannya—pun bicara. "Hei, lanjut tidak foto-fotonya ini?"

Caka langsung menyahut, "Lanjut, lanjut! Aku lagi ya yang foto sama sunrise?" Lelaki itu langsung saja mengambil posisi paling depan. Dia berdiri menyamping dan mengangkat tangan kiri. Seolah-olah matahari berada di telapak tangannya itu.

Ketika Andaru dan teman-temannya sedang memperhatikan Caka yang berpose bak model, aku membentangkan kedua tangan. Kembali kuhirup udara khas puncak Gunung Pesagi. Rasa nyaman, damai, dan tenteram bercampur jadi satu dalam diriku. Aku begitu meyukai suasanan seperti ini. Ah, andai saja udara ini dapat kubawa pulang.

Sejenak kupejamkan kedua mata. Namun, bayangan Andaru yang tiba-tiba melintas dalam benak membuatku langsung membuka mata lebar-lebar. Ah, mengapa aku malah memikirkan lelaki itu? Aku menunduk, memperhatikan tangan yang kemarin digenggam kuat oleh Andaru. Saat mengangkat wajah, di mana aku melihat Andaru yang masih mengobrol dengan Raina, tiba-tiba kurasakan sesuatu mengganjal dalam hati. Sebenarnya ada apa denganku?

Sesegera mungkin kualihkan pikiran ke ponsel. Benda itu tertinggal dalam tenda. Aku lekas berbalik badan untuk mengambilnya. Sempat terdengar olehku, Aciel yang memanggil Andaru. Saat berjalan dua atau tiga langkah, mendadak aku berhenti. Seseorang memanggil namaku dan ... jelas-jelas itu adalah suara Andaru. Ya Tuhan, Andaru memanggilku? Ada apa? Apa lagi yang lelaki itu inginkan dariku?

"Tunggu sebentar!"

Alisku menyatu cepat. Ucapannya mengingatkanku pada kejadian di Rain Coffee malam itu. Tanpa mengatakan apa pun, aku memutar badan.

"Bisa ... buatin kita kopi?" tanyanya.

Aku meremas ujung sweter yang kukenakan.

"Bisa, kan?" tanyanya, memastikan.

"Ba–baiklah."

"Oke," katanya. Singkat sekali. Lalu, dia menjauhiku dan kembali ke sisi Raina.

Aku membatalkan rencana untuk ke tenda, lalu mengambil peralatan kopi yang dibawa oleh Raina kemarin. Tanpa kuduga, Aciel membantuku menyiapkan semuanya. Mulai dari menyalakan kompor, cup, dan memasukkan gula ke dalamnya. Bahkan, dia memperhatikan dengan cermat saat aku melakukan penyaringan ampas kopi dengan saringan kain.

Aciel meraih satu cup dan meminum kopi di dalamnya. Disusul pula oleh Bahi, yang tak lupa mengucapkan terima kasih padaku. Terus Caka, Shofwanul, dan yang terakhir adalah Andaru.

"Ssst, Ssst!" panggil Aciel pada Shofwanul yang masih berdiri di dekatnya. Lagi-lagi Shofwanul tak peduli sehingga Aciel memanggil lebih keras. "Ssstboy!" Barulah Shofwanul menoleh. "Entar kupanggil Ular lagi nih, mau?"

"Kenapa?"

"Fotoin aku, dong!" pinta Aciel pada Shofwanul sambil mengangkat cup berisi kopi. "Foto di depan tenda."

Shofwanul menyetujuinya. Bersama Aciel, dia bergerak ke depan tenda yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari posisiku sekarang. Aciel duduk bertongkat lutut di sana, lalu menyeruput kopi. Tak lama kemudian, dia memanggil Bahi agar ikut bergabung dan berfoto bersamanya.

Sambil duduk di sebatang pohon tumbang, aku tersenyum melihat tingkah Aciel dan Bahi. Tanpa kusadari tiba-tiba Shofwanul mengarahkan kameranya padaku. Langsung saja kuhalangi kamera dengan tangan ketika dia mengulangi untuk kedua kalinya.

Mungkin karena melihat sikapku yang tak mau difoto, lelaki itu mendekat dan mendarat di sebelahku. Dia mengarahkan kameranya padaku sambil berkata, "Lihat nih, hasil fotonya. Bagus, kok."

Apakah Shofwanul mengira bahwa aku tak mau difoto karena takut hasilnya jelek? Sama sekali tidak. Aku hanya merasa tak nyaman saja.

Coba menengok ke kamera, aku melihat foto diriku sendiri. Uhm, memang bagus, sih.

"Tidak mengecewakan, walau aku masih amatiran," ucap Shofwanul.

Aku membentuk lengkungan di bibir. "Iya, bagus."

Lelaki di sampingku ini ikut tersenyum. "Terima kasih," ucapnya. Dia kembali memperhatikan kamera digitalnya. Baru sekitar dua menit lelaki itu fokus dengan kamera, dia pun bicara lagi. "Kamu suka fotografi?"

Aku mengangguk. "Suka, kenapa?" Kali ini aku yang bertanya.

"Tidak apa-apa." Shofwanul hanya berkata demikian. "Mau lihat foto-foto yang berhasil aku dapatkan?" Dia menawariku.

Aku mengangguk lagi. Akhirnya Shofwanul menyerahkan kamera digitalnya padaku. Sebelum itu, dia memberitahuku fungsi dari tombol-tombol yang ada pada kamera.

Aku benar-benar takjub dengan foto-foto yang diambil oleh Shofwanul. Tanganku berhenti lama pada beberapa foto. Di antaranya foto Andaru yang berjabat tangan denganku dan foto tatkala aku menabrak Andaru. Tuh kan, kubilang juga apa. Mereka mengabadikan setiap momen. Ingin sekali rasanya kuhapus foto-foto ini. Menjengkelkan!

"Kalau kamu mau lihat-lihat foto yang berhasil aku dapatkan sebelum ini, kamu bisa cek ke akun Instagram kita." Shofwanul memberi tahu.

Aku berpaling dari kamera. Benarkah?

"Nama akunnya @lanang_limo. Follow saja, entar aku follback."

Aku mengangguk.

"Oh ya, kamu tidak mau difoto?" tanyanya sambil memperhatikan wajahku. "Kalau kamu yang berdiri di sana," Shofwanul menunjuk ke arah Andaru dan Raina, "kayaknya bagus. Bentuk wajah kamu itu pas kalau di kamera."

Oh, ya?

"Mau?" tanya Shofwanul lagi karena aku tak kunjung memberikan jawaban.

Apakah aku harus menjawab "Baiklah", atau justru "Maaf ya, aku tak mau difoto"?

Belum juga kujawab, Shofwanul meletakkan cup, lalu berdiri. "Ayo!" katanya penuh semangat. "Aku fotoin. Sesekali juga!"

Aku bangkit perlahan. Ah, aku ini sulit sekali menolak permintaan orang lain.

"Aman. Nanti hasil fotonya kukirimkan ke WhatsApp kamu, baik itu foto yang sebelum dan sesudah diedit."

Kami berhenti tak jauh dari Andaru dan Raina. Walau sudah berusaha bersikap biasa saja, rasa tak nyaman itu tetap saja muncul.

Beberapa kali Shofwanul memotret diriku dengan kameranya. Aku sendiri hanya mengikuti instruksi. Dia memintaku berpose layaknya sedang menyentuh matahari, seperti dapat menyentuh kumpulan awan yang ada di seberang sana, dan seperti hendak menyeruput kopi. Yang membuatku kaget, Shofwanul meminjam cup kopi milik Andaru dan memberikannya padaku hanya untuk sebuah foto.

Rasa tak nyaman makin menjalar ke seluruh tubuhku. Apalagi saat Aciel, Caka, dan Bahi menghampiri kami. Jujur saja aku bertambah gugup karena diperhatikan.

Tiba-tiba saja Aciel menarik lengan Andaru dan membawa lelaki itu ke sampingku. Tepatnya menjauhkan Andaru dari Raina. "Fotoin kita bertiga," pintanya pada Shofwanul.

Dengan cepat Shofwanul mengabulkan permintaan Aciel. Bersyukur sih, Aciel yang berada di tengah. Jika saja Andaru ..., ah, entah bagaimana diriku.

Baru saja berpikiran begiitu, Aciel mendorong Andaru ke sisiku hingga lengan kami bersentuhan. Kemudian, dia mengambil tempat di antara Shofwanul dan Caka sambil berucap, "Foto prewedding, foto prewedding!"

A–apa? Prewedding? Aku dan ... Andaru? Tidak, tidak, aku tidak mau! Namun, Shofwanul sudah mengambil foto kami berdua. Entah bagaimana hasilnya, semoga saja tidak bagus.

"Kalian belum pernah dengar kan, kalau ada pasangan yang mau married ambil foto prewedding-nya itu di puncak gunung?" Aciel kembali membahas foto prewedding.

"Belum," kata Caka.

Apa-apaan, sih? Aku langsung saja menjauhi Andaru yang sedang bersedekap dan menatapku dengan tatapan yang ... tak dapat kuartikan. Apakah dia juga merasa tak nyaman? Ataukah hanya kesal pada Aciel saja?

***

Kami bertujuh sepakat akan turun sebelum pukul sembilan pagi. Aciel, Bahi, Caka, dan Sofwanul memutuskan turun dulu ke tujuh sumur untuk mengambil air. Ya, untuk bekal minum kami di perjalanan nanti.

Awalnya aku mengikuti keempatnya dengan membawa botol minumanku yang juga sudah kosong. Lagi pula, yang tinggal hanya ada Andaru dan Raina. Aku tak mau jadi racun nyamuk di dekat mereka. Lebih-lebih bila Raina menganggapku sebagai pengganggu. Namun, ketika sudah berjalan mengikuti Aciel, Bahi bicara padaku.

"Kamu balik saja ke tenda." Begitu katanya. "Botol minum kamu biar aku yang isi. Takutnya kamu kenapa-kenapa kalau ikut turun."

Kupikir-pikir, perkataan Bahi ada benarnya juga.

"Satu lagi, tolong jaga Raina, ya," bisiknya sebelum berlalu dari hadapanku.

Aku yang hendak mengucapkan terima kasih, malah terdiam. Lalu, aku kembali ke tempat semula dengan kening berkerut sembari bertanya-tanya dalam hati. Sekhawatir itukah Bahi terhadap Raina? Berarti dugaanku benar. Aku yakin sekali ada cinta segitiga di antara Andaru, Raina, dan Bahi. Kalau begitu, bagaimana dengan Raina dan Bang Itzan? Ah, aku jadi bingung.

Langkahku mendadak berhenti tatkala mendengar suara Raina yang jaraknya beberapa meter saja dariku. "I love you, Andaru ...."

Hah? Aku tak salah dengar, kan? Raina nembak Andaru? Ini yang namanya menyatakan cinta berlatar puncak gunung? Cukup kreatif, sih.

Hanya saja, kenapa aku tak terima? Seperti ada sembilu yang menancap ke lubuk hatiku. Aku menghela napas berat, tertunduk, dan menatap dedaunan di dekat sepatu yang bergerak karena diterpa angin.

Hei, Secangkir Kopi. Bisakah kau menebak hati seseorang hanya dari tangannya yang meracikmu?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro