03. ☕ Senyum di Secangkir Kopi ☕
Dari suaranya, lelaki itu terdengar bersungguh-sungguh. Hanya saja aku menduga, sebenarnya dia bukan ingin berkenalan denganku, melainkan dengan Nana. Ini seperti pepatah "Tak ada rotan, akar pun jadi". Sayangnya, aku tak suka dijadikan cadangan. Walau tak munafik jika lelaki bernama Andaru ini tinggi dan tampan. Ah ya, satu lagi, hidung bangirnya itu pas di wajahnya yang oval.
Melihat teman-teman Andaru yang tersenyum, aku merasa ini hanyalah sebuah lelucon. Lelaki bertopi itu bahkan mengarahkan kamera digitalnya ke arahku dan Andaru. Apakah mereka merencanakan ini sekaligus ingin mengabadikannya ke bentuk video? Akan kupastikan aku tidak akan mengikuti rencana mereka.
"Namaku Sallu," jawabku.
Aku hanya tersenyum yang dipaksakan, tanpa menyambut uluran tangan lelaki itu. Saat aku berbalik, terdengar tawa meledak di balik punggungku. Aku menoleh ke belakang sebelum tiba di dekat pintu booth, kulihat lelaki yang bernama Andaru itu bersandar di punggung kursi. Dia mengangkat dagu sambil menatapku tajam.
Aku berpaling cepat dari wajah Andaru. Ketika melihat aktor yang memiliki tatapan tajam seperti itu dalam film, aku merasa gemas sendiri. Akan tetapi, saat hal itu benar-benar terjadi di depan mata, aku justru bergidik.
Raina baru selesai membuat kopi Vietnam drip saat aku melewati pintu booth. Dia menaruh kopi hasil buatannya ke atas nampan, lalu lanjut membuat kopi krimer.
Sebelum meracik kapucino kacang hijau, melintas sesuatu dalam pikiranku. Aku meraih tisu dan membaca kembali tulisan yang ada di sana. Ah ya, mungkin yang memesan kopi Vietnam drip adalah Andaru. Pantas saja Raina berusaha menyediakan kopi Vietnam drip sebaik mungkin dengan kedua tangannya sendiri.
Kulupakan persepsi itu dengan segera. Kuambil gelas plastik dan kapucino sasetan. Khusus untuk kapucino kacang hijau dan kapucino hangat, di Rain Coffee baru menyediakan sasetan. Aku ingat kata Bang Itzan ketika itu.
"Mudah-mudahan tahun depan ada penambahan modal."
Bang Itzan ingin usaha Rain Coffee-nya ini memiliki cabang, menu baru, dan peralatan kopi yang lebih lengkap.
"Bagaimana pendapat kamu tentang Andaru? Kan, kalian tadi sudah kenalan." Pertanyaan Raina membuatku menoleh sejenak, lalu mengambil alat pengocok koktail stainless steel dari rak di belakangku.
Suara Raina membuatku merasa tak nyaman. Apalagi melihatnya bertanya tanpa berpaling dari kopi krimer yang sedang diracik.
Aku tak menjawab, malah lanjut memasukkan dua sendok kacang hijau, susu kental 45 cc, es batu kira-kira setengah gelas plastik, lalu mencampurkan ketiga bahan itu dalam alat pengocok. Begitu alatnya terasa dingin di tangan—yang artinya ketiga bahan sudah tercampur rata, aku pun menuangkannya ke dalam gelas plastik. Kemudian, aku mencampurkannya lagi ke dalam kapucino dan susu cair.
"Jam berapa berangkat besok?" Aku mengalihkan topik pembicaraan sambil meletakkan dua biskuit cokelat ke atas minuman kapucino kacang hijau.
"Mungkin sekitar pukul delapan pagi," jawab Raina. "Bagaimana? Semuanya sudah siap, kan?" Dia meletakkan secangkir kopi krimer di sebelah kopi Vietnam drip.
Aku mengangguk, lalu meletakkan pula kapucino kacang hijau di atas nampan. Ketika hendak meraih nampan, Raina juga melakukan hal yang sama.
"Biar aku saja," kataku. "Tidak enak kalau dilihat Bang Itzan."
Raina adalah teman Bang Itzan, yang artinya dia adalah tamu. Sepatutnya diperlakukan seperti tamu. Bukan malah diminta ikut bekerja, kan? Ya, walaupun Raina sudah terbiasa menyeduh kopi dan berhadapan langsung dengan pengunjung.
Raina tak mengatakan apa pun hingga aku kembali ke meja yang dihuni oleh kelima lelaki itu. Saat teringat dengan tatapan lelaki bernama Andaru, aku mulai cemas dan memegang nampan kuat-kuat. Namun, di sisi lain aku tak enak bila tugas ini dilakukan oleh Raina. Biarkan Raina yang menjadi baristanya malam ini, sedangkan aku jadi pramusaji saja.
Ketika menyuguhkan dua cangkir kopi dan satu gelas plastik kapucino di atas meja, tanpa sengaja mataku berserobok dengan Andaru. Aku langsung memutar wajah ke arah lelaki yang berambut hingga ke tengkuk itu seraya tersenyum tawar. Baru kusadari dia juga berkumis.
"Sudah lama kerja di sini?" tanya lelaki berambut panjang itu, yang membuatku terkejut.
"Sudah." Hanya itu jawabanku. Singkat sekali.
Memangnya apa yang harus kujawab selain itu? Baru malam ini aku melihat wajahnya. Lagi pula, aku tak bisa menceritakan apa pun tentang hidupku pada orang yang baru kutemui.
"Kenalkan, namaku Aciel." Lelaki itu mengulurkan tangan.
Kudengar salah seorang temannya berdeham, seperti menggodai Aciel. Aku hanya menatap tangan lelaki itu karena tidak tahu harus merespons apa. Hingga aku pun berbalik badan dan membiarkan tangannya menggantung di udara.
Sama seperti sebelumnya, kudengar tawa di balik punggungku. Bahkan, aku mendengar salah seorang berkata, "Sabar, Ciel, sabar. Mungkin dia bukan jodohmu."
Kuayunkan kaki untuk kembali ke booth. Raina yang sedang duduk sambil memperhatikan ponselnya langsung mengangkat wajah.
"Sal, boleh diganti lagunya?" tanyanya, melirik ke arah speaker.
"Boleh." Aku lekas memutuskan koneksi bluetooth ponselku dari speaker. Lagu Helena Louis "Kamu dan Kopiku" pun berakhir. Tak lama kemudian, berganti dengan lagu D'Bagindaz "Suka Sama Kamu".
"Aku gabung sama mereka bentar ya, Sal," kata Raina. Dia melirik ke arah meja yang dihuni oleh kelima temannya itu. "Mau ngobrolin soal besok."
Aku mengangguk. Baru saja Raina tiba di meja itu, Bang Itzan muncul dari samping dan ikut bergabung.
Rumah Bang Itzan sendiri ada di belakang, berjarak sekitar sepuluh meter dari booth. Bang Itzan dua bersaudara. Adiknya, Ghea Kedua, sudah menikah dan memiliki seorang putri berusia hampir empat tahun.
Kediaman Ghea berada tepat di sebelah rumah orang tuanya, terpisah oleh pagar tembok. Jadi, untuk makanan berat di booth seperti siomay serta tekwan, ibu dan adik Bang Itzan-lah yang menyiapkan. Begitu juga untuk makanan ringan, seperti kue cuchuk, kue kumbang luyang, dan kue buak tat.
Dua mobil berhenti di depan Rain Coffee. Ada lima orang yang turun dari dalamnya dan berjalan menuju kedai. Bang Itzan lekas menghampiriku untuk membantu.
Terkadang kami bergantian tugas. Ada saatnya Bang Itzan yang menjadi barista dan aku jadi pramusaji. Begitu pun sebaliknya. Hanya saja aku belum siap disebut seorang barista. Kemampuanku belum seberapa dalam meracik kopi.
***
Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kelima teman Raina telah ke belakang setengah jam yang lalu. Sementara itu di kedai, pengunjung terakhir sudah pulang. Malam ini Rain Coffee ramai. Biasa sih, malam Minggu. Beruntung Raina juga membantu. Hanya saja aku tetap merasa lelah sebab berada di tempat yang ramai.
"Sal, pulanglah," kata Bang Itzan ketika aku mengembalikan cangkir kotor ke dalam wastafel. "Besok pagi kan kamu mau berangkat ke Pesagi."
Aku lega mendengarnya. "Iya, Bang," jawabku.
"Cangkir dan piring kotor biar aku yang urus," kata Bang Itzan lagi. Dia malam ini mengenakan celana jins panjang serta kaus kasual berlengan pendek.
Aku mengangguk. Ingin kutanyakan pada Bang Itzan, dari mana dia mengetahui bahwa aku ingin sekali mendaki gunung? Namun, pertanyaan itu hanya mampu bertahan dalam benak.
Raina pun bicara padaku setelah meraih ponselnya. "Ke belakang yuk, Sal!" ajaknya. "Kita ambil peralatan yang dibawa sama Andaru."
Astaga, Andaru lagi! Teringat dengan sorot mata Andaru itu, rasa cemasku kembali muncul. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa ketika Raina menarik lenganku. Aku pun buru-buru mengambil tas dan ponsel.
Kami melewati lampu-lampu gantung, mengayunkan langkah di jalan berbatu yang menurun, dan tiba di depan sebuah rumah minimalis bercat putih.
Raina berkata padaku. "Besok pagi-pagi sekali, kita siapkan kopi bubuk, gula, sendok, dan cup untuk kopi hangat."
Untuk diracik dan diminum di puncak gunung, kan?
"Baiklah," kataku.
Ketiga teman Raina, termasuk lelaki bernama Aciel itu, sedang duduk di beranda rumah. Mereka menatapku seperti mengatakan "Hai, Sallu!" yang membuatku kikuk.
Ketika aku menginjak teras, ponsel Raina berdering.
"Ibuku telepon," kata Raina. Dia lalu berbalik badan dan menjauhiku sekitar tiga meter.
Aku berdiri seorang diri di hadapan ketiga lelaki ini. Kata Raina, lelaki yang bermata sipit sering dipanggil Koko dan yang berwajah bulat dengan rambut cepak bernama Bahi.
"Aku ... mau ... ambil tas gunung," kataku dengan suara pelan. Kuharap ketiga lelaki ini mendengarnya.
"Oh." Aciel tampaknya orang yang ramah. "Masuk saja, tanya sama Andaru," sambungnya sambil melirik ke arah pintu yang terbuka lebar.
Perlahan aku mengayunkan langkah. Tak terdengar suara siapa pun di dalam. Biasanya Uak—ibu Bang Itzan—sudah tidur setelah isya.
Ternyata Andaru dan seorang lelaki yang memakai topi bisbol sedang duduk di sofa sambil memperhatikan kamera digital. Kata Raina, lelaki yang suka memakai topi itu bernama Shofwanul.
Andaru menoleh dan aku pun melirik ke arah pintu depan dengan memegang tas selempang erat-erat.
"Aku ... mau ambil peralatan mendakinya," ucapku membuka obrolan. Aduh, seharusnya bilang, "Maaf, aku boleh ambil peralatan mendaki untuk besok?".
Aku berusaha menarik sudut bibirku. Sallu, Sallu ....
Andaru menyerahkan kamera pada lelaki di sebelahnya. Dia pun berdiri dan menghadap ke arahku. Aku sangat cemas saat melihat sikapnya itu. Kuharap Raina cepat muncul di sini.
Tanpa kuduga, Andaru mengulurkan tangannya dan berucap, "Namaku Andaru. Kamu?"
Astaga, pertanyaan dan adegan yang sama. Tampaknya lelaki bernama Andaru ini orang yang pantang menyerah. Dia mengangkat kedua alis tebalnya, dengan tatapan yang berbeda. Ada sedikit kekecewaan di wajahnya itu. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.
Aku meneguk ludah dan membiarkan tangan Andaru menggantung di udara untuk kedua kalinya. Lagi pula, sepertinya ini tak penting. Selain merasa seperti "cadangan", bukankah tadi aku sudah menyebut namaku di depan booth dengan sangat jelas?
Untung saja Raina muncul di pintu. Mendengar suara Raina, Andaru pun menurunkan tangannya dengan tatapan yang lebih tajam lagi. Seakan-akan dia hendak memakanku hidup-hidup. Kuharap dia bukan tipe lelaki yang mudah marah dan suka balas dendam. Mengerikan sekali memikirkannya.
"Mana tas gunung buat Sallu?" tanya Raina sambil bergantian menatapku dan Andaru.
"Di sana, di dekat tasku," jawab Andaru sambil menunjuk ke dekat rak televisi.
Raina segera mendekati rak dan berseru, "Wow! Trekking pole-nya model carbon fiber!" Dia pun meraih sebuah tongkat yang sering digunakan oleh para pendaki. "Ini tongkat mahal!"
Tongkat mahal? Keningku berkerut.
Saat Raina sibuk memperhatikan benda-benda di dekat tas gunung itu—yang aku sendiri tidak tahu apa namanya, Andaru menoleh ke arahku sambil menyeringai. Seolah-olah dia mengancam dalam diamnya, "Awas kamu, Sallu!".
Ya Tuhan, aku ingin segera pulang dan terlelap supaya dapat melupakan senyum itu. Namun, sesampainya di rumah, aku malah tak bisa tidur. Ingin sekali rasanya menelepon Karey untuk menceritakan kejadian hari ini. Akan tetapi, aku batalkan saat menyadari kalau sekarang sudah hampir tengah malam.
Aku pun membuat status WhatsApp dengan menuliskan kalimat 'Semoga senyum itu tak muncul di cangkir kopiku esok pagi'. Sepersekian detik kemudian, aku menghapusnya karena takut orang lain akan berpikiran bahwa aku sedang jatuh cinta. Yah, walaupun yang dapat melihat status WhatsApp-ku hanya orang tertentu saja.
Bahkan, aku memprivasinya dari nomor Bang Itzan. Entahlah, aku tak nyaman jika Bang Itzan melihat. Hingga akhirnya aku mengunggah foto yang di-download dari Google. Sebuah foto secangkir kopi latte, di mana kumpulan gelembungnya membentuk senyuman.
☕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro