
7. Karena Kamu Cantik
Klinik Putra Waspada
Nayla membaca kembali nama tempat yang memesan nasi kotak buatannya.
Sepuluh kotak nasi ayam bakar dan sepuluh kotak nasi ayam goreng serta capcay spesial untuk Dokter Akmal.
Apa-apaan ini? Nayla tercengang. Haruskah diberi keterangan untuk dokter Akmal?
Nayla hanya bisa menggeleng. Akhir-akhir ini hidupnya seakan berputar-putar di sekitar laki-laki bernama Akmal.
Sebuah notifikasi kembali masuk di gawai Nayla. Masih dari nomor yang sama.
HARUS MBAK NAYLA SENDIRI YANG NGENTERIN.
Mata Nayla melotot membaca pesan tersebut. Kenapa harus dirinya sendiri yang mengantar. Biasanya juga tukang ojek. Dia memang pernah mengantarkan sendiri, tapi itu karena tukang ojek langganannya sibuk.
Bunyi notifikasi kembali terdengar dan masih dari nomor yang sama.
KALAU TIDAK, MAKA TIDAK AKAN DIBAYAR.
Bolehkah, dia menolak saja orderan tersebut? Tapi, jika dia menolak, sama saja menolak rejeki.
Nayla sedikit bingung, tapi akhirnya dia meng-iya-kan dan menyanggupi membuat pesanan tersebut untuk besok siang.
"Rejeki tidak boleh ditolak," gumamnya sendiri.
Lagipula kalau hanya mengantarkan sendiri, bukan hal yang sulit atau terlalu berat baginya. Hanya saja baru kali ini ada yang memesan makanan darinya disertai pesan khusus. Ada-ada saja, batinnya sambil tersenyum.
Ah, daripada terus memikirkan hal tersebut, lebih baik Nayla bergegas pergi ke pasar untuk berbelanja bahan untuk pesanan itu besok.
****
Tepat pukul sepuluh pagi, pesanan untuk Klinik Putra Waspada sudah selesai. Dan pesanan khusus Dokter Akmal pun sudah dibungkus tersendiri.
Dia menarik napas dan tersenyum lega kemudian bergegas menuju kamar mandi. Nayla perlu mengguyur tubuhnya dengan air. Setidaknya, saat mengantarkan makanan, tidak ada bau ayam bakar melekat di badannya.
Setengah jam kemudian Nayla sudah siap dengan setelan tunik dan celana jeans warna biru. Rambutnya hanya dikucir biasa. Sedikit olesan bedak dan liptin. Sudah cukup. Nayla tidak suka berdandan terlalu berlebihan.
Setelah menelepon taksi online. Dia bergegas menuju tempat penjemputan. Kedua tangannya menenteng dua buah kresek besar berisi makanan buatannya. Meskipun panas matahari begitu menyengat, tak menyurutkan langkah Nayla menuju lapangan sepak bola.
Nayla mengusap peluh di dahi, setelah masuk dalam mobil. Taksi pun berjalan menuju lokasi tujuan.
Kurang lebih empat puluh lima menit, taksi yang ditumpangi Nayla sudah tiba di depan Klinik. Dengan cekatan, wanita berbaju tunik warna peach tersebut turun lalu mengambil dua kresek berisi masakannya dengan hati-hati.
Nayla menarik napas panjang sebelum masuk ke dalam.
"Mbak Nayla, ya?" sapa seorang perawat yang dulu pernah juga membantunya.
"I-iya," balas Nayla kikuk.
" Yang mana pesanan untuk Dokter Akmal?" tanya perawat tersebut.
Nayla dengan cepat mengeluarkan sebuah kotak yang sedikit berbeda ukuran dari yang lainnya.
"Yang ini, Bu," ucap Nayla seraya menyerahkan kotak tersebut. Namun, perawat tersebut malah menolaknya.
"Mbak Nayla sendiri yang harus nganter ke ruangannya Dokter Akmal."
"Hah?" Nayla sukses membuka mulutnya karena terkejut.
Kenapa harus dirinya sendiri yang mengantar?
"Kok saya, Bu?" tanya Nayla yang masih heran.
"Ya, karena Dokter Akmal sendiri yang minta. Saya permisi dulu, mau bagikan makanan ini. Jangan lupa punya Dokter Akmal dianterin," ucap perawat tersebut sambil tersenyum kemudian berlalu dengan membawa dua kresek makanan hasil tangan Nayla.
Nayla masih terpaku di tempatnya. Dia bingung, dan masih bertanya-tanya dalam hati. Kenapa mesti dirinya yang mengantar? Bukankah tugasnya, hanya sekadar mengantar sampai klinik?
Nayla menarik napas panjang. Matanya memindai sekeliling. Tidak ada orang yang mengindahkan keberadaannya. Seolah dia tidak terlihat. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Dan Nayla masih menimbang-nimbang untuk mengantarkan makanan yang sejak tadi dipegangnya ke ruangan Dokter Akmal.
Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, Nayla memutuskan untuk segera mengantarkan makanan tersebut. Tubuhnya sudah letih, sejak subuh sudah berkutat dengan peralatan dapur. Dirinya butuh istirahat, jangan hanya karena urusan antar-mengantar ini memangkas waktu istirahatnya.
Tanpa perlu bertanya lagi, kaki Nayla melangkah menuju ruangan Dokter Akmal. Itu karena dia pernah menemani Irma untuk periksa.
Dengan hati-hati Nayla mengetuk pintu kayu berwarna cokelat di depannya. Sebuah suara bariton menyuruhnya untuk masuk.
"Siang, Dok. Maaf menganggu," ucap Nayla sopan setelah masuk lalu menutup pintu.
"Selamat siang," jawab Akmal dengan bahasa yang masih formal.
"Maaf, saya ke sini mau mengantarkan makan siang," ujar Nayla sambil meletakkan kotak makanan yang berisi capcay di meja.
"Saya sudah tahu, terima kasih." Akmal tersenyum. Tangannya mengambil kotak tersebut kemudian membukanya.
Nayla diam. Ekspresinya sulit untuk dibaca. Sepertinya, dia sendiri yang sejak tadi kebingungan. Apalagi, setelah mendengar ucapan Akmal.
Dokter tampan di hadapannya ini, sudah tahu kalau dirinya mengantarkan makanan. Jangan bilang, kalau pesan khusus itu dikirim langsung oleh laki-laki berkacamata di depannya ini.
"Dokter sudah tahu?" tanya Nayla penasaran.
"Tentu saja, karena saya yang meminta langsung."
Oh. Astaga. Benar, dugaan Nayla, tapi kenapa? Masih ada rasa penasaran di benak Nayla.
"Tapi, kenapa?"
"Maksudnya?" tanya Akmal sambil mengeryitkan dahi.
"Ya, kenapa Dokter meminta saya untuk mengantarkan sendiri?" Nayla memperjelas kalimatnya.
"Ya, karena saya mau dan ingin kamu yang mengantarkan langsung."
Nayla sukses melongo dengan pernyataan dokter di depannya ini. Hah? Apa-apaan ini? Dengan santainya bilang kalau, dia ingin dan mau.
"Apa kamu keberatan?" tanya Akmal seperti orang yang tidak berdosa sama sekali.
"Bukan begitu?" balas Nayla bingung. Dia ingin marah karena sepertinya dokter di depannya ini sedang mempermainkannya, tapi dia juga bingung kenapa harus marah. Bukankah, wajar jika pelanggan meminta suatu hal khusus. Dan dia harus bisa bersikap profesional agar Si pelanggan tidak kabur. Lagipula, permintaan itu masih tahap normal.
Akmal tersenyum. Dia tahu jika wanita yang sedang berdiri di depannya ini bingung. Melihat ekspresinya saja, Akmal merasa gemas sendiri.
"Kamu bingung, kenapa saya meminta sendiri untuk kamu yang nganterin?" tanya Akmal.
Nayla spontan mengangguk.
Akmal kembali tersenyum. "Itu karena saya ingin melihat kamu."
"Hah?"
Tolong siapa saja. Nayla ingin memeriksakan telinganya. Sejak tadi, sepertinya, dia sedang dipermainkan.
"Iya. Saya ingin melihat kamu," lanjut Akmal dengan ekspresi serius.
Nayla menggeleng. "Maaf, tapi saya masih bingung? Kenapa Dokter ingin melihat saya?"
Astaga. Akmal semakin gemas melihat wajah Nayla. Andaikan tidak terhalang meja, pasti tangannya sudah mencubit pipi wanita di depannya ini.
"Karena kamu cantik."
Mata Nayla mengerjap beberapa kali. Astaga, tolong siapa saja. Antarkan dia ke dokter THT untuk memeriksakan telinganya.
"Sepertinya, Dokter salah minum obat," ucap Nayla yang sudah bisa menguasai dirinya.
Akmal menggeleng lalu tersenyum.
Nayla tidak bisa terus-menerus berada di dalam ruangan ini. Dia butuh udara segar karena sadar telah dipermainkan.
"Tugas saya sudah selesai, saya permisi dulu," pamitnya dengan tegas karena tidak ingin bicara panjang lebar lagi dengan Dokter di depannya ini.
"Tunggu," cegah Akmal sebelum Nayla keluar dari ruangannya.
Nayla menoleh tanpa mengucapkan apa-apa. Tampak raut wajah kesal.
"Kamu tambah cantik kalau sedang bingung dan kesal seperti itu."
****
"Cantik itu relatif tergantung setiap individu yang menilai. Tapi bagiku, kamu itu cantik luar dalam sejak dulu."
~ Akmal~
****
Astaga, nih dokter somplak amat seeeehh. Langsung aja gassss....
Makin lama nih dokter makin bucin aja. Masih mau baca gimana somplaknya nih dokter???
Masukin cerita Andaikan Jodoh di perpustakaan kalian untuk mendapatkan notifikasi. Karena mungkin akan sering update nih.
Happy reading
Peluk Cium
Dokter Bucin🥰
HK , 14 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro