14. Kamu Kangen
Seperti biasa Nayla akan pergi ke pasar pagi-pagi sekali. Dia sudah siap untuk membuka pintu disaat bersamaan ada suara ketukan. Wanita tiga puluh dua tahun itu kemudian bergegas membukanya. Tubuh Nayla membeku seketika saat melihat siapa orang yang berada di balik pintu itu.
"Pagi, Cantik," sapa Akmal dengan senyum manisnya.
Nayla masih terpaku dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Duh, segitunya lihatin saya. Kangen, ya?"
Nayla langsung tergagap dan tersadar, dengan cepat dia bisa mengendalikan diri dengan baik sambil memasang wajah datar.
"Boleh masuk?" tanya Akmal karena Nayla masih berdiri di ambang pintu.
Nayla yang salah tingkah pun segera beranjak masuk. Dia menjadi bingung sendiri.
"Ini oleh-oleh buat kamu," ucap Akmal sambil memberikan sebuah papper bag.
Nayla sedikit ragu untuk mengambilnya, tapi dengan cepat Akmal meraih tangan Nayla untuk segera menerima bingkisan darinya.
"Sudah tiga Minggu lebih kita tidak bertemu, kamu makin cantik saja," goda Akmal sambil mengedipkan sebelah matanya.
Nayla tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi ada perubahan di raut wajahnya. Pipinya sedikit bersemu merah.
"Kok kamu diam saja?" tanya Akmal.
Nayla tidak tahu harus bagaimana mulai berinteraksi kembali dengan Akmal. Ada perasaan campur aduk dalam hatinya. Antara senang dan juga terkejut. Dia masih belum sepenuhnya percaya jika di depannya ini adalah Akmal. Apakah ini mimpi?
Akmal memicingkan mata, "Ada yang salah dengan saya?" tanya Akmal karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya.
Nayla masih bingung. Banyak pertanyaan dalam otaknya yang ingin diutarakan, tapi bibirnya malah terasa kaku.
Wanita itu ingin meluapkan semua pada laki-laki yang sedang duduk di depannya ini. Laki-laki yang terlihat baik-baik saja, padahal Nayla sudah sangat cemas memikirkannya.
Benar-benar laki-laki yang menyebalkan.
Akmal mendekat dan refleks menyentuh dahi Nayla dan langsung membuat yang empunya terlonjak kaget. Seperti tersengat aliran listrik.
"Kamu nggak demam?" Itu bukan pertanyaan, tapi lebih ke pernyataan.
"Saya nggak apa-apa," jawab Nayla seraya menetralkan degup jantungnya yang kini semakin cepat.
Tiba-tiba saja satu gerakan dari Akmal membuat Nayla membatu. Tangannya digenggam oleh tangan laki-laki itu tanpa meminta izin terlebih dahulu.
"Maaf ya," ucap Akmal lembut sambil berjongkok di depan Nayla.
Nayla tidak mengerti kenapa Akmal meminta maaf padanya.
"Maaf karena selama saya pergi, tidak pernah memberikan kabar," lanjut Akmal dengan perasaan bersalah.
"Kamu pasti cemas."
Nayla hanya bisa melongo mendengar kalimat terakhir dari bibir Akmal.
Cemas. Memang dirinya sempat cemas, tapi bagaimana bisa laki-laki di depannya ini begitu percaya diri mengatakan hal tersebut.
"Tidak, saya tidak cemas," elak Nayla sembari memalingkan wajahnya.
Ada senyum tipis tercetak di sudut bibir Akmal melihat bagaimana reaksi yang diberikan Nayla.
"Kamu kenapa ke sini?" tanya Nayla dengan nada jutek.
"Ya karena saya kangen sama kamu."
Nayla berdecih sebal.
"Kamu marah sama saya karena tidak pernah memberikan kabar?"
Jujur Nayla ingin marah, tapi dia masih waras untuk tidak mempermalukan diri sendiri. Dia siapa, hingga berani marah pada laki-laki yang pada dasarnya masih asing untuknya. Dikatakan teman, tapi kok perhatian Akmal lebih dari teman. Dikatakan kekasih kok kesannya semakin berlebihan untuk memaknai hubungan mereka. Nayla bingung.
"Malah melamun," ujar Akmal membuat Nayla tersentak.
"Jawab."
"Apa?"
Akmal mengembuskan napas dalam-dalam. "Apa kamu marah karena saya tidak memberikan kabar selama di Jakarta?"
"Tidak."
Singkat, padat dan jelas.
Akmal tersenyum kecil sekali lagi. Tangannya menggaruk dahinya yang tidak gatal.
"Yakin tidak marah?" godanya.
"Untuk apa?"
"Itu buktinya semakin jutek aja, tapi enggak apa-apa, aku suka. Sudah lama tidak dijutekin sama kamu. Saya kangen."
Nayla terbengong melihat Akmal malah tersenyum dengan lebarnya.
"Duduk."
Akmal yang sedari tadi berjongkok di depan Nayla refleks langsung duduk di lantai.
"Bukan di situ," ujar Nayla jengah dengan sikap Akmal yang seperti anak kecil.
"Saya tidak akan pindah sebelum kamu jawab pertanyaan saya."
"Apalagi?"
"Kamu tidak kangen sama saya?"
"Tidak."
"Yakin?"
"Yakin."
"Apa kamu marah sama saya?"
"Tidak."
"Beneran?"
"Iya."
"Yakin?"
"Iya."
"Yuk nikah!"
"Iya... Eh ...."
Nayla membatu seketika setelah memberikan jawaban secara spontan tersebut. Sedangkan Akmal malah tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengerjai Nayla. Bukan mengerjai dalam artian pura-pura saja. Namun, itu murni dari lubuk hatinya. Akmal serius dengan kalimat terakhirnya.
"Alhamdulillah, akhirnya di-iya-in juga. Jadi kapan kita nikah?"
Nayla mengembuskan napas kasar karena merasa kena jebakan Batman.
Akmal masih belum beranjak dari duduknya di lantai. Dia kembali menggenggam tangan Nayla.
"Kamu pengen tahu alasan kenapa saya tidak memberikan kabar sama sekali selama di Jakarta?"
Nayla hanya diam, takut kalau terkena jebakan Batman lagi.
"Karena itu menyiksa saya."
"Hah?"
Nayla tidak paham, apa maksud dari kalimat Akmal.
"Iya. Semakin banyak saya mengirim pesan atau telepon ke kamu itu malah akan membuat saya tersiksa."
Nayla masih bingung untuk menelaah kalimat yang keluar dari mulut Akmal. Astaga, dia bukan tipe wanita romantis. Lebih baik membicarakan tentang bumbu dapur daripada tentang bahasa-bahasa aneh yang baru saja di dengarnya.
Akmal menangkap raut kebingungan di wajah ayu Nayla.
"Saya bisa saja mengirimkan pesan atau telepon setiap hari, setiap saat malah sangat bisa. Tapi, itu malah membuat saya jadi ingin segera pulang setelah mendengar suara kamu."
"Jadi, saya putuskan untuk tidak menghubungi kamu. Walaupun itu tidak bisa mengurangi rasa kangen saya ke kamu."
Nayla tetap tak bergeming.
"Jujur saya tersiksa berjauhan dengan kamu."
Nayla semakin membatu. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Hati dan perasaannya seolah diaduk-aduk.
"Astaga, malah bengong," Akmal berdecih sebal. Dia sedang mencurahkan segala rasa rindunya, tapi yang dirindukan malah tidak bereaksi sama sekali.
Akmal menarik napas panjang. "Begini kalau rindu cuma sepihak. Bertepuk sebelah tangan."
Akmal kemudian bangkit dari duduknya. Dia kemudian melenggang dengan santai ke arah dapur. Namun, segera kembali setelah tidak mendapatkan apa-apa.
"Kamu tidak masak?" tanya Akmal.
"Belum."
"Kenapa?'
"Saya masih mau ke pasar, tapi tiba-tiba kamu datang," kesal Nayla yang sebenarnya hanya untuk menutupi perasaan bingung dalam hatinya.
"Ayuk, aku antar."
"Tidak perlu."
"Kenapa?"
"Saya masih bisa pergi sendiri."
"Jangan menolak diantar calon suami."
"Hah?"
"Kan tadi sudah di-iya-in untuk pergi ke KUA. Sekalian setelah dari pasar mampir ke KUA."
Nayla memutar bola matanya jengah. Hatinya baru saja diaduk-aduk, tapi sekarang malah diajak bercanda.
"Saya serius."
"Ternyata pergi ke Jakarta tidak malah membuat kamu waras, tapi malah tambah gila."
Akmal malah tertawa mendengar perkataan Nayla.
"Iya, saya gila sama kamu. Saya tergila-gila sama kamu."
"Sinting."
Nayla bergegas meninggalkan Akmal yang masih tertawa dengan sangat kerasnya.
****
~"Bukan Dilan saja yang bilang kalau rindu itu berat, tapi Akmal juga."~
~Akmal
***
Hai-hai
Ada yang kangen Kisah ini?
Maaf kalau lama banget tidak update.
Karena saya baru kerja, jadi masih adaptasi dan membagi waktu untuk menulis.
Selamat Membaca
Vea Aprilia
HK, 13 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro