Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[5] as a neighbor, as a friend

Setelah pertemuan tidak mengenakkan di kamar masing-masing kemarin sore, pagi ini menjadi canggung yang teramat membuat resah bagi Julian dan Junia.

Sudah jadi teman sebangku, jadi tetangga dekat pula. Sungguh, balkon kamar Julian benar-benar menghadap jendela kamar Junia. Seolah-olah menjadi teman sebangku saja tidak cukup mendekatkan mereka.

"Gue masih syok, baru kali ini tetanggaan sama temen sskolah," ujar Junia tiba-tiba. Pelajaran belum dimulai, bel masuk juga lima menit lagi baru akan berbunyi. Tetapi, semua murid sudah rapi di tempatnya.

"Gue juga masih nggak percaya lo bukan setan."

"Lo ngeselin juga, ya," ketus Junia. Mereka saling menoleh, Julian melempar senyum jahil, sementara Junia malah sinis.

"Kok lo bisa jadi tetangga gue?"

"Bisa, lah. Pertanyaan lo ngaco banget," geram Julian. "Nama lo siapa, sih?"

"Ya Tuhan, lo pikun atau emang belom tau?"

"Gue pikun, puas?"

Junia terkekeh. Manusia di sebelahnya agak jutek ternyata, padahal wajahnya sangat ramah. Tak bisa berbohong juga, Julian punya suara yang indah ketika bernyanyi.

"Juni. Gue Junia."

"Oh, yang kodrat namanya lahir di bulan Juni." Keduanya lalu terkekeh, mengingat ucapan Olla di kantin. "Coba gue liat name tag lo."

"Modus lo, ya, liat-liat name tag?!"

"Idih, najis! Kemaren aja lo tanktop-an depan gue."

Astaga! Mengingat kejadian kemarin sore, malu sekali! Seketika Junia merutuki kecerobohannya, saat ia langsung membuka jendela tanpa memperhatikan penampilannya dulu.

"Mana maskara lo beleber, rambut berantakan. Juni, Juni," sambung Julian.

"Ya udah, gak usah dibahas. Lo malah ngerokok kemaren, masih di bawah umur juga."

"Gue, sih, nggak malu ngerokok. Malah keliatan keren."

"Dih, keren dari mana? Keliatan kayak tukang parkir, sih, iya!"

"Sssstt, ah! Mana name tag lo?"

"Ngapain, sih, minta name tag?"

"Mau liat aja."

"Gak ada! Modus!"

"Name tag lo, kan, pin betuknya. Ya bisa dilepas dulu dong, Juni."

Akhirnya Junia menuruti apa yang dikatakan Julian. Ia melepas name tag miliknya, lalu menyerahkan pada Julian—entah untuk apa.

"Oh, nama lo Junia Alishara. Gue kira Juniarti," katanya sambil mengembalikan name tag tersebut.

"Lo minjem name tag buat tau nama lengkap gue doang?"

Julian mengangguk.

"Apa faedahnya? Random banget. Astaga, Julian. Lo bisa tanya gue padahal," omel Junia seraya memakai kembali name tag di bagian dada sebelah kanannya.

"Buat sebagian orang, termasuk gue, nama lengkap itu privasi, Juni."

"Udah tau privasi, kenapa lo kepo?"

"Lo sadar gak, sih, nama lo sama gue mirip?"

"Nyadar. Cuma, yaa ... emang kenapa? Toh kebetulan doang. Lagian gak mirip-mirip amat."

"Gue penasaran. Siapa tau lo kembaran gue yang diculik, atau dijual."

"Lama-lama lo bikin orang cepet kena stroke, ya?"

"Julian Fardha Arditama."

"Hah?"

"Nama lengkap gue."

"Gak penting, anjir!"

::::

Sekarang adalah hari Jumat, hari yang dikenal sebagai gerbangnya akhir pekan. Sama seperti kemarin, Julian langsung ke rumah sepulang sekolah. Lagi-lagi bosan menyelimuti sorenya, padahal belum ada seminggu ia tinggal di Jakarta. Namun rasanya, ia ingin segera kembali ke rumahnya di pulau Dewata.

Merokok di balkon sambil memainkan gitar menjadi pilihan.

Sebetulnya bisa saja Julian berkeliling Jakarta, mencari tempat untuk melampiaskan kebosanannya. Tetapi, sungguh, ia memikirkan Onti Eca bagaimana nantinya.

Sendiri di rumah untuk waktu beberapa jam saja, Julian sudan merasa sepi. Apalagi Onti Eca? Ditambah, ia kurang pandai bela diri. Kalau ada orang jahat, bagaimana?

Bukannya Julian berpikiran buruk, tetapi yang namanya kejahatan, kan, selalu mungkin terjadi. Juga, ia dititah tinggal di sini bukan untuk mencari relasi atau hiburan, melainkan memang untuk menemani bibinya tersebut.

Sore beranjak petang, empat batang rokok sudah menguap bersama pernapasannya. Biasanya, ia jarang merokok. Hanya sekali dua kali, kalau pikirannya sedang kalut; atau butuh inspirasi. Berbeda dengan sekarang ini, dalam dua hari ia sudah menghabiskan sebungkus rokok.

Memang, jika dibandingkan dengan yang lain, sebungkus rokok dalam dua hari belum ada artinya. Namun, Julian yakin, jika sang mama mengetahui hal ini, ia sudah dikarantina di kamarnya sendiri. Lalu mungkin ia akan dijejalkan pengetahuan tentang bahaya rokok.

Ah, tak apa, lah. Untuk saat ini, Julian belum menemukan "pengganti" rokok. Suatu saat juga ia akan berhenti, sebab ia juga tak mau terkena dampak buruk dari rokok di masa mendatang.

Julian sedikit terlonjak ketika mendengar jendela di seberang balkonnya terbuka, refleks ia menolehkan kepalanya ke sana, sembari membuang puntung rokok pada asbak di depannya.

"Ouw, selamat bangun tidur cosplayer kunti," ujar Julian ketika menangkap Junia menggeliat di balik jendela yang terbuka, gadis itu sepertinya baru bangun tidur.

Seketika Junia juga terlonjak. Ia langsung memperhatikan pakaiannya. Tanktop hitam dengan rok seragam pramuka, ia rasa tak begitu masalah. Tali tanktop yang ia gunakan juga cukup lebar—menutup pakaian dalamnya yang lain.

"Sumpah gue nggak biasa banget. Lo ngapain di situ, sih?" sahut Junia. Gadis itu lantas duduk di meja belajarnya yang tepat terletak di bawah jendela. Menenggak air putih, lalu mengikat rambutnya.

"Suka-suka gue, lah. Ini rumah gue, bebas mau di mana juga."

Julian melanjutkan permainan gitarnya, memetik pelan sambil menggumamkan lagu yang sesuai dengan melodi yang ia mainkan. Sementara Junia, gadis itu menopang dagu dengan kedua tangannya yang bertumpu pada meja belajar. Menatap Julian sambil mendengarkan dengan saksama, apa yang cowok itu mainkan.

"Ikat aku, di tulang belikatmu. Biar kurebah dan teduh, sambil dengar ceritamu ... ceritaku ...."

Sontak, Julian menoleh ke kiri—kamar Junia. Gadis itu menyanyikan sepenggal lagu yang melodinya tengah Julian mainkan. Siapa yang tidak terkejut?

"Lo bisa nyanyi?" tanyanya, retorik.

Junia mengedikkan bahu. "Gitar lo agak fals, kurang setem sedikit."

"Bahasa lo kayak yang pro aja, ya."

"Memang," jawab Junia dengan angkuh. Kemudian gadis itu beranjak dari tempatnya. Ia kembali lagi dengan camilan, snack yang dibelinya di minimarket sepulang sekolah tadi. "Anyway, gue masih penasaran. Lo pindahan dari mana? Terus, kenapa lo malah pindah sebelum ujian kenaikan? Gak sayang?"

"The power of duit dan orang dalem. Gitu intinya, lo terlalu kepo."

"Dih, kayak sendirinya nggak kepo-an aja!"

"Lo sendiri, kenapa sering muncul kayak setan?"

"Lo demen banget ngatain gue setan. Heran," sahut Junia. Sebetulnya, Junia paham mengapa Julian sering menyebutnya demikian. Junia sadar, kehadirannya acap kali mengejutkan lelaki tersebut. Mungkin sebab itulah, Julian mengejeknya seperti setan.

Kemudian Junia meraih pulpen bergambar kelinci, san bersiap untuk melemparkannya pada Julian. "Oh iya, Panjul, ini pulpen lo. Mau gue balikin, kemaren hampir aja diambil adek gue."

"Simpen aja, sih. Pulpen doang."

"Tar aja dah, gue balikin."

"Gak usah, udah. Biar lo gak minjem-minjem lagi."

"Beneran, nih?"

"Ck. Iya, Juni."

"Thanks, deh. Gak nyangka, dibalik tampang lo yang sok keren ternyata demen kelinci."

Keduanya saling diam, sebelum akhirnya suara melengking tiba-tiba merusak diam di antara mereka.

"IAAANN, PULPEN KELINCI WARNA MERAH PUNYA ONTI MANA?! ITU DIKASIH GEBETAN GUE, TAU!"

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro