Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[2] temu yang semu

Junia sudah menduga bahwa pagi hari ini pasti terjadi konflik, namun sungguh, ia tak menduga kalau yang terjadi adalah konflik yang seolah-olah sangat pelik. Dirinya malu bukan kepalang, menjadi tontonan seisi warga kelas. Astaga.

Baru Junia mendaratkan bokongnya pada bangku, Citra menghampirinya dengan wajah masam. Bagian ini, sudah Junia duga. Bagian yang mengejutkannya adalah, Citra memaki Junia dengan sebutan-sebutan: tukang tikung, teman munafik, menusuk dari belakang, penggoda, dan sumpah serapah lainnya yang mengarah pada pernyataan bahwa Junia merebut kekasih orang.

Bukan hanya malu dan sakit hati, perasaan kecewa pun merajai dirinya saat ini. Bayangkan saja orang yang sudah membersamainya sejak awal penerimaan murid baru di SMP, sampai sekarang mereka di pengujung semester genap kelas XI, sampai hati mengatakan hal-hal yang sangat tidak pantas.

Usai memaki sambil berteriak, Citra berpaling. Ia melangkah menuju meja paling pojok, di sudut kanan. Duduk bersama anak perempuan penyendiri—Sutisyah.

Seisi kelas menghening. Canggung menyelimuti ruangan. Belum pernah ada keributan di SMA Prajaparna ini sejauh mereka bersekolah.

Sejak keributan berlangsung, Olla diam di tempatnya, ditahan-tahan untuk tidak mengambil tindakan oleh kawan sebangkunya—Angel. Sebab Angel tahu, jika Olla bertindak, keadaan akan semakin sulit.

Ketika Citra sudah senyap, Angel lengah. Olla beranjak, menghampiri Citra sembari menggebrak mejanya.

"Gue muak, ya, sama lo. Muak, anjing! Denger gue, Citra! Lo tuh cuma naksir sendirian, cowok itu kagak doyan sama lo! Dan lagi, lo pikir Juni bakal gaet lelaki jenis begitu? Kagak, jing, kagak!"

Keributan—babak kedua—yang dimulai oleh Olla kembali menarik atensi warga kelas. Angel menghampiri Olla, membujuk gadis itu supaya tenang dan kembali ke tempatnya.

Pun dengan Junia, merasa Olla membela dirinya, ia juga turut membujuk Olla supaya menenangkan diri di tempatnya. "La, udah napa, La. Gue gak apa-apa, kok. Emang gue yang salah."

"Mulut lo enteng banget ngaku salah, Ni! Ini anak, nih, emang baperan. Overproud sama cowok yang dia taksir, caper! Kalo lo ngalah terus-terusan, dia bakal mikir dunia ini pusatnya di dia!" Olla berteriak sembari menunjuk Citra di sampingnya. 

Matanya melotot tajam, menatap Junia dengan murka. Wajahnya memerah, dan napasnya menderu. Olla tak suka melihat Junia terus disalahkan oleh Citra. Ya, permasalahan ini bukanlah yang pertama, tetapi saat inilah yang paling panas.

"Udah, La. Lo tenang dulu napa, jangan ngomong sambil marah," ucap Angel.

"Diem lo, Ngel. Gue marah sambil mikir!" sembur Olla pada Angel. "Gini, ya, Citra. Lo tau dari jaman jahiliah, si Kevan sama si Juni emang partner duet. Lo kenal Kevan dari siapa emang kalau bukan dari Juni?"

Citra sejak tadi hanya diam, memberengut, menahan marah dan tangis sampai-sampai wajahnya memerah sampai ke telinga. Bibirnya bergetar, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari gadis tersebut.

"Dari semalem udah gue bilangin jangan cari perkara, lo malah kekeh sama kecemburuan lo yang gak guna. Inget, Citra, lo tuh bukan siapa-siapanya Kevan. Apa kalau si Kevan nganter cewek lain, lo bakal labrak cewek itu juga? Gila lo, ya. Gak abis pikir gue."

"La, udah, La. Astaga. Malu. Udah mau bel!" Junia kembali menengahi.

Angel mengangguk setuju, "Iya, La. Nanti lagi kita omongin pas udah adem, ya."

Mungkin karena pendapat kedua sahabatnya itu, Olla menimbangkan keputusannya. Ia melirik arloji, kurang dari sepuluh menit lagi bel berdering.

Tindakan yang diambil berikutnya ialah, menggebrak kembali meja Citra sebelum kembali ke tempat duduknya. Disusul oleh Junia, yang tak tahu harus berkata apa di situasi sekarang.

Tinggal Angel, gadis yang rambutnya dihias bandana itu mengusap bahu Citra sebelum menyusul Olla ke tempat mereka duduk.

Seisi kelas memang tidak heran dengan watak Citra yang mudah tersinggung, juga Olla yang mudah meledakkan amarahnya. Sebagian besar dari mereka sudah saling kenal sejak SMP. Sehingga mereka pun hanya memperhatikan, dan menggunjing di belakang.

Tak ada yang berani mencampuri urusan seorang Olla, dan tak ada pula yang mau berurusan dengan Citra.

::::

Hari Kamis ini, adalah hari pertama Julian bersekolah di sekolah barunya—yang sementara. Mulanya lelaki itu akan langsung masuk ke kelas, melakukan perkenalan secara informal, sebelum diantar wali kelasnya untuk perkenalan dengan sopan.

Akan tetapi, saat kakinya baru menginjak ambang pintu, ia harus menyaksikan seorang perempuan tengah memaki anak perempuan lainnya.

"Munafik lo! Dasar tukang tikung! Ngakunya temen tapi nusuk dari belakang, cewek penggoda kayak lo pantes banget disebut murahan! Bitch!"

Oh, astaga. Bahkan Julian rasanya mampu menirukan bagaimana anak perempuan berambut sepinggang itu memaki temannya.

Kesan pertamanya untuk kelas ini adalah, cukup mengerikan. Women support women hanyalah mitos, dan stop bullying pun sekadar slogan.

Julian terus menyaksikan, menunggu kiranya bagaimana akhir dari keributan tersebut. Setidaknya, ketika ia datang dan melakukan pembelaan—sebagai sesama manusia—ia cukup memahami masalahnya.

Sayangnya, kepala sekolah—orang dalam kenalan sang papa—mengenalinya. Julian pun diajak bicara, menjauh dari ruang kelas yang akan dimasukinya. Sebab, keduanya memang belum saling bertemu, apalagi mengenal.

Remaja lelaki itu pun enggan menolak, ia rasa perlu lebih menghargai kepala sekolahnya karena diizinkan pindah ke sekolah di ujung semester ini. Meskipun Julian yakin, rupiah turut mengambil peran dalam mutasi dirinya.

::::

"Saya Julian, dari Bali."

Perkenalan yang kelewat singkat. Wali kelas dan guru mata pelajaran sampai mengerutkan alis, mungkin heran sebab tak ada lagi beberapa patah kata yang keluar dari mulutnya.

"Sudah, Julian?"

Lelaki itu mengangguk sebagai jawaban. Sebetulnya, setelah menyaksikan keributan tadi, Julian sedikit bingung akan mengenalkan apa saja tentang dirinya. Belum lagi, percakapannya dengan kepala sekolah yang membuat pikirannya buyar.

Ah, lagipula ia hanya dua bulan di Jakarta. Tak perlulah, memberikan kesan yang begitu indah, apalagi kalau hanya berakhir lupa.

"Baik Julian, silakan duduk di bangku yang masih kosong. Sepertinya ... hanya tersisa di bangku sebelah sana. Tidak apa-apa, ya, duduk dengan perempuan," ucap sang wali kelas, yang lagi-lagi dihadiahi anggukan oleh Julian.

Ia lantas berjalan, duduk di samping perempuan berambut sebahu yang barusan mendapat teriak cacian.

Wali kelasnya sudah meninggalkan ruangan, tinggal guru mata pelajaran mengambil alih. Saat itu juga, ia mendesah pelan.

Mengapa harus duduk di bangku paling depan, bersama murid yang barusan terlibat keributan?

Ya ampun. Semoga saja, perempuan di sampingnya ini bukan seseorang yang sengaja mencari keributan untuk secercah perhatian.

Semoga, Julian tidak menyaksikan keributan lainnya.

Dan semoga, Julian tidak akan terlibat dalam permasalahan gadis di sebelahnya.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro