[12] dreamer
Ditemani dengan Julian di kedai kopi kemarin, rupanya hanya membuat Junia terbakar amarah. Usai mengatakan dirinya akan berjuang di kontes menyanyi—demi bisa duet dengan Isyana Sarasvati—ia menelepon Kevan, dan menyuruh lelaki itu untuk segera mendaftar.
Sekarang Junia merutuki sifat gegabahnya, setelah ini pasti hubungannya dengan Citra semakin memburuk. Terlepas dari sifat menyebalkannya, Citra tak lebih dari seorang anak yang kesepian. Ia merupakan teman yang baik, selalu ada saat Junia kesusahan.
Junia tak bisa memungkiri, ketika ia terjatuh, Citra orang yang pertama kali mengulurkan tangan, membantu dan merangkul, menjadi pendengar tanpa menghakimi.
Katakan, siapa yang tak ingin punya sahabat yang demikian?
Sudahlah. Setiap masalah pasti ada solusinya. Kalau Junia berusaha, ia pasti bisa duet dengan Kevan, dan berbaikan dengan Citra. Asal Junia mau berusaha.
Ya, berusaha.
Gadis itu menghela napas, sebelum tidur baiknya lepaskan semua perasaan jengkel dan memaafkan orang yang menurutnya menyinggung.
::::
"Nia, untung semalem lo langsung telepon gue. Setelah gue kabarin Mas Anhal, kita jadi peserta terakhir yang daftar. Gila, ya, sebanyak itu yang daftar." Kevan menyambut kedatangan Junia di kelas dengan kalimat demikian, lelaki itu duduk di meja Junia, dan mengatakannya dengan cukup keras seolah semua orang harus mendengarnya.
Gadis itu tak langsung menjawab, ia melirik Citra yang menatapnya tak suka.
"Lagunya, kan, mesti bikin sendiri, Nia. Kita ada waktu dua mingguan, mau tentang apa lagunya?" ucap Kevan lagi.
"Gue belum kepikiran, lo ada ide?"
"Ada, dong! Gue punya dua konsep, sih. Nanti gimana lo enaknya yang mana."
Sembari menggaruk tengkuk, Junia bergumam, namun ia sendiri tak tahu apa yang digumamkannya.
"Iya, Nia? Lo bilang apa barusan?" Kevan memastikan, lelaki itu mendengar Junia bersuara. Ia tahu Junia ragu, tetapi karena kontes ini bukan untuk main-main, baiknya ia harus mengusahakan agar Junia yakin dengan keputusannya. Siapa tahu, barusan Junia mengutarakan idenya. Maka dari itu ... sungguh, kali ini bagaimana pun konsep yang Junia inginkan, akan Kevan lakukan.
"Kita bahas nanti lagi aja, Kev. Bentar lagi bel masuk," jawab Junia.
Meskipun curiga bahwa Junia menyembunyikan sesuatu, Kevan tetap menuruti jawaban gadis itu. Hingga ia berlalu setelah menatap Junia sesaat.
Junia baru duduk di bangkunya usai Kevan meninggalkan kelas. Di sampingnya, sudah ada Julian yang memperhatikan gerak-gerik gadis tersebut. Masa bodoh, Junia masih kesal dengan lelaki di sebelahnya. Ucapan Julian semalam terlalu angkuh, dan Junia tak bisa untuk tidak tersinggung.
"Itu yang disukain temen lo sampe ribut? Gila, gue kira cowoknya sekelas Thomas Sangster."
Junia tahu, lelaki di sebelahnya ini sedang mencoba untuk membahas Kevan. Sayangnya, Junia tak tertarik. Bahkan untuk sekadar memberikan respons berupa gerakan pun, Junia enggan.
Entah sejak kapan Julian memiliki mulut yang pedas, atau memang cowok itu bermulut pedas. Mungkin Junia baru tahu sebab lelaki itu menggunakan topeng, dan kini baru terbongkar wajah aslinya. Tetapi, di awal-awal mereka bertemu pun, Julian memang suka mengatakan hal-hal yang menyinggung. Mungkin saat ini mereka semakin kenal, dan Julian semakin asal bicara.
"Mestinya lo cuek aja, Jun. Nih, ya, kalau lo mau ngelakuin sesuatu yang baik, gak usah mikirin apa-apa lagi selain niat dan tujuan lo," ujar Julian lagi.
Kali ini, Junia mengalah. Ia mengembuskan napas sebelum berputar ke kanan menghadap Julian. "Thanks for advance, tapi gue nggak butuh komentar dari lo."
"Ya elah, jangan liat siapa yang ngasih lo advance, Juni. Liat makna apa yang diucapin sama orang itu."
"Iya, Julian," sahut Junia acuh tak acuh. Setelahnya, ia bergumam, "Merasa paling benar!"
::::
Studio musik menjadi ruang pelarian Junia ketika jam istirahat. Entah sampai kapan ia akan menyendiri, mengurangi interaksi dengan orang-orang, bahkan Olla dan Angel.
Jemarinya menari-nari di atas tuts piano, mengalunkan melodi syahdu, yang menenangkan hatinya. Kemudian ia merasa lega, dan merasa siap menghadapi dunia dengan memberikan senyum terbaiknya.
Permainan musiknya lantas berhenti ketika pintu kaca studio musik dibuka dengan kasar, dan suara dari langkah kaki yang terburu-buru mendekat ke arahnya.
Segera Junia menghela napas, menutup kembali tuts piano, sebab ia yakin, bahwa ada yang harus Junia hadapi dengan kesabaran.
"Gue nggak paham sama lo, Ni!"
Citra.
Perempuan berambut sepinggang itu berdiri dengan angkuh di hadapan Junia, tangannya dilipat di depan dadanya, dan rautnya sangat tidak bersahabat.
"Mestinya itu yang gue bilang buat lo, Cit. Gue nggak paham sama lo. Coba lo tanya diri lo sendiri, apa yang bikin lo takut kehilangan Kevan, sementara dia aja nggak ada di sekitar lo," ujar Junia.
Perkataan tersebut sebetulnya ia tahan dalam benaknya, agar tidak sampai ke telinga Citra. Saat pikirannya tengah kalut sekarang ini, Junia tak bisa menyimpannya lagi. Citra tak bisa terus-terusan menambah daftar permasalahannya.
"Gimana Kevan bisa sama gue kalau lo terus ada di sekitarnya?" balas Citra. "Lo bisa ngalah nggak, sih, Ni?"
"Dari zaman jebot juga gue nggak ada unsur sengaja deketin Kevan, Cit. Bahkan kalau gue bisa pun, mending gue beda dunia sama Kevan. Biar lo puas, gue juga bebas dari tuduhan gak jelas yang lo buat."
"Maksud lo apa ngomong kayak gitu?"
Enggan mengacuhkan Citra, Junia lantas berlalu usai membuang napasnya. Ternyata meluapkan keluh kesah soal Citra tidak membuat keadaan berubah. Gadis itu tetap dengan egonya, bahwa Junia adalah penghalang antara dirinya dan Kevan.
Pun dengan yang tengah dipikirkan Junia saat ini, soal kontes menyanyi yang terpaksa harus dengan Kevan, kontes menyanyi yang—baru ia sadari—bentrok dengan jadwal ujian kenaikan kelas, ditambah kontes tersebut adalah kesempatannya untuk menggeluti dunia tarik suara, yang belum tentu akan datang lagi di lain waktu.
Itu semua agaknya lebih penting Junia pikirkan ketimbang perdebatan yang terus Citra galakkan kepadanya.
"Abis maen drama di dalem?"
Satu lagi masalah Junia: kehadiran Julian. Tidak, kehadiran lelaki itu tak masalah, justru mulut pedas lelaki itu lah, yang menambah pening di kepalanya.
Bayangkan, Julian rupanya tengah berdiri di depan pintu ruang musik—entah sejak kapan—dan menyambut Junia dengan pertanyaan sinis.
"Bukan urusan lo," tukas Junia sebelum melenggang pergi.
Sepertinya, Julian begitu gigih berusaha demi menyampaikan isi pikirannya kepada Junia. Ia mengejar gadis itu, menyeimbangkan langkah Junia yang lebar-lebar.
"Juni, Juni. Mestinya lo fokus sama kesempatan yang ada, bukan mikirin yang belum tentu ada," ucap Julian.
"Serah lo!"
"Jun, lo sadar, kan, mimpi lo ketinggian? Ibaratnya sekarang lo nemu tangga, ya pake dulu aja. Urusan tangga itu punya siapa, bisa belakangan."
Junia menghentikan langkahnya di depan pintu toilet khusus siswi. "Mimpi gue nggak ketinggian, otak lo aja yang terlalu pendek!"
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro