[11] terpantik
"Jul, gue nggak bisa lewat jam setengah sembilan, ya."
Mendengar peringatan halus itu, Julian melirik arloji. Masih setengah delapan malam, artinya ia hanya memiliki waktu satu jam berada di luar rumah—nongkrong.
"Lo ada jam malam juga?" tanya Julian, maklum, rasa keingintahuannya begitu tinggi.
"Iyalah, gue anak cewek dari strict parents. Nggak, deh, nggak sampe over, cuma yaa, agak protektif aja."
Julian mengangguk-angguk paham. "Gue juga gak boleh lewat dari jam sembilan."
"Bohong banget, mana ada cowok kayak lo punya jam malam?"
"Dih, gak percaya?"
"Ya nggak, lah."
Junia melenggang masuk ke dalam coffeeshop, setelah meributkan pepesan kosong di depan pintu. Julian menyusul, dengan perasaan jengkel kepada Junia.
Sepertinya, gadis itu sudah terbiasa berkunjung kemari. Terbukti Junia menyapa akrab beberapa barista, dan waiters sebelum memesan menu. Bahkan, ia juga merekomendasikan menu yang menurutnya 'harus Julian coba' sembari mendeskripsikan rasa dari sajian yang dijajakan.
"Gue nggak terlalu doyan kopi, Jun," keluh Julian.
Sontak, Junia menatap lelaki itu heran. "Lo ngerokok kuat, ngopi kagak doyan? Nanggung banget idup lo."
"Ya, kan, beda. Kopi diminum, rokok diisep."
"Isep lolipop aja mending, deh. Pake ngejelasin 'beda' segala. Ya udah, yang non-kopi paling susu atau jus. Lo mau apa?"
"Teh tawar anget aja, Jun. Ada gak?"
"Bener-bener. Gue pesenin milk tea aja, lah! Lo kira ini angkringan apa?!" Junia berkata sedikit membentak, kemudian ia menyampaikan pesanan mereka agar segera dihidangkan, meninggalkan Julian yang terkekeh-kekeh.
Sengaja, ia bertanya soal teh tawar. Semata agar Junia kesal. Meskipun ... ia memang menginginkan teh tawar saat ini.
Tanpa menunggu lama, hidangan mereka disajikan. Selama itu juga, belum ada percakapan lagi diantara keduanya. Mereka sama-sama sibuk dengan ponsel—Julian bermain game, sedangkan Junia membuka media sosial.
Julian selesai dengan permainannya, meski berakhir dengan predikat MVP, namun hal tersebut tetap tak mengurangi kebosanannya.
Lelaki itu pun menyesap minuman yang tersaji, melahap makanan ringan, lalu menyesap minumannya lagi. Ia melirik Junia, yang masih juga memasang wajah stres sambil menggenggam ponsel di tangan kanan, dan tangan kiri menopang kepala.
"Jun, kita kayak orang yang mau mabok, gak, sih?" Julian mengujarkan tanya.
"Lo aja yang mikir gitu."
"Lo keliatan stres banget."
"Lo pikir, lo keliatan bahagia?" Akhirnya Junia meletakkan ponselnya, lalu menyesap es kopi miliknya.
"Ya abis, lo bayangin aja, Jun. Gue terpaksa pindah ke Jakarta. Di rumah cuma berdua, di sekolah nggak ada kenalan. Ya gabut, lah!"
"Makanya kenalan, kerjaan lo kalau gak ngurung di kelas, ya ke kantin. Di kelas juga cuma main game mulu, gimana mau dapet temen?"
"Ngapain gue kenalan, akhir Juli juga gue balik lagi ke Bali."
Junia tersentak—kaget, "Sekarang udah awal Juni, Panjul. Bentar banget?"
"Lo pengen gue tinggal di sini lebih lama?" tantang Julian.
"Gak gitu!" sergah Junia cepat-cepat. "Ngapain gitu, lho, udah pindah akhir semester, balik lagi awal semester. Emang idup lo nanggung banget, Jul."
Julian tak ingin langsung menjawab, ia menghela napas lalu kembali menyuapkan camilan ke dalam mulutnya. Setelah jeda agak lama, akhirnya lelaki itu kembali bercerita. "Onti gue ada kerjaan di sini, dua bulanan doang. Dia adek kesayangan Papa, ya wajarlah, umurnya aja beda lima tahun sama gue. Ditambah, pas dia kecil Nenek sama Kakek udah meninggal. Jadi emang Papa yang ngurus Onti dari kecil. Udah kayak anak sendiri, lah, intinya."
"Onti tuh ... tante lo?"
"Nyokap gue," ketus Julian menyampaikan sarkasnya. "Iya, dong, Juni. Masa piaraan gue."
"Oala, serapan dari aunty, ya? Anjir, baru connect otak gue. Terus, lo kepaksa nemenin Onti lo itu di Jakarta?"
Lagi, Julian menghela napasnya panjang. "Ya mau gimana lagi? Gue juga sayang banget, sih, sama dia. Khawatir kalau sendirian di sini. Yaa, namanya juga dari kecil udah bareng."
"Kalau sayang banget, mestinya lo nggak ngerasa kepaksa, Panjul. Namanya sayang, cinta, gitu-gitu mah rela ngelakuin apa aja tanpa inget bilang 'ya mau gimana lagi?'. Kalau gitu artinya ... rasa sayang lo itu mesti dipertanyakan."
Sembari bertepuk tangan pelan, Julian berdecak kagum. "Keren, keren. Pakar cinta."
Dengan raut yang tak ramah, Junia memutar bola matanya.
"Kalau lo stres kenapa, Jun?" tanya Julian.
"Emang muka gue keliatan stres, banyak beban, menyedihkan?"
"Enggak juga, sih. Emosi banget, gue, kan, cuma nanya." Julian berdecak.
"Lagian lo kepo amat, sih, jadi orang."
Dalam hati, Julian bertanya. Memangnya betul ia kepo?
"Tapi, Jun. Dari jawaban lo, nunjukin banget lo tuh lagi stres."
Usai melahap makanan ringan, Junia menatap Julian dengan tajam—tak suka. Meskipun kali ini yang dilontarkannya bukan sebuah tanya, tetapi Junia merasa tersudutkan, dan apa yang dikatakan Julian mengarah pada pertanyaan utama lelaki itu—apa yang membuat Junia stres.
Junia tak bisa mengelak kalau ia memang sedang tidak baik-baik saja, namun ia juga tak mau menyatakan bahwa saat ini dirinya sedang memikul beban.
"Lo bisa cerita, Jun. Nih, ya, menceritakan perasaan bisa mengurangi beban. Begitu kalau kata umat peduli mental health."
Gadis itu berdecak, "Emang. Dan lo termasuk umat kepo, bukan peduli."
"Yee, dipeduliin malah gitu."
"Bodo amat!" sergah Junia, ucapannya itu menjadi pengantar keheningan untuk beberapa saat yang menyelimuti keduanya.
Memyibukkan diri dengan ponsel menjadi pilihan, baik Junia maupun Julian. Sampai bosan kembali datang, dan gadis berambut sebahu yang pertama mengekspresikan kebosanannya.
Ia meletakkan ponsel di atas meja sambil mendesah berat. Persoalan yang di hadapinya hari ini, kembali merajai pikirannya.
"Masalah gue sederhana. Gue suka nyanyi, tapi gak didukung orang tua. Walaupun, mereka tetep ngasih gue peluang buat jadiin nyanyi sebagai hobi iseng. Gue fans berat Isyana, ada kontes nyanyi yang hadiahnya bisa tampil sama Isyana. Tapi, kontes itu, mesti duet. Kevan satu-satunya yang siap nemenin gue, tapi ...."
Julian terus menatap gadis di hadapannya yang bercerita dengan menggantung. Gadis itu berdecak, lalu mengusap wajahnya. Julian yang memang sudah penasaran, akhirnya memancing Junia untuk bicara lagi. "Tapi?"
"Tapi gue ... tapi kalau sama Kevan, cuma ngundang masalah," Junia menyahut lesu.
"Lo takut dilabrak temen lo lagi?"
Junia mengernyit, kenapa Julian tahu? Dia, kan, belum ada saat kejadian itu.
"Mestinya gue nggak kenal orang kayak lo, Jun. Ribut di kelas, gara-gara cowok pula. Cringe banget! Terus, lo malah takut kejar mimpi lo cuma karna drama ABG labil," tutur Julian angkuh.
Sungguh, perkataan Julian sangat menyebalkan. Menyentil amarah yang Junia simpan di dalam dada, supaya tidak meledak.
Sambil menatap Julian tak suka, gadis itu menggebrak meja. "Gue gak serendah yang lo pikir, ya, Panjul! Liat aja, besok gue duet sama Isyana! Dan lo gak pantes lagi gue kenal!"
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro