Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1] mulanya

Bloop!

Semua lampu di rumah mendadak padam. Bukan hanya lampu, melainkan semua benda elektronik yang tersambung aliran listrik pun menunjukkan tanda bahwa tak ada sambungan yang mengaliri mereka dengan listrik.

Artinya, ada yang salah dengan aliran listrik.

Junia tidak bisa tidur dengan keadaan gelap, kalau ada yang mematikan lampu di ruangan tempatnya tidur, gadis itu otomatis terbangun. Seperti yang terjadi pada malam ini, keadaan gelap gulita membuatnya harus berjalan sambil meraba, dan mengandalkan rabaan untuk meraih ponselnya yang diisi daya baterai di meja belajar.

Saat layar ponselnya dinyalakan, ia menyipitkan mata untuk mengatur intensitas cahaya yang masuk ke dalam retina.

Pukul 2.49 pagi. Waktu-waktu yang selalu membuatnya waspada. Kembali ia berjalan menuju saklar lampu, setelah ditekan berkali-kali, lampu tetap tak mau menyala.

Bukannya mengecek sekring listrik, ia malah membuka gorden, mengintip rumah tetangga apakah mati juga; atau tidak.

Rumah tetangga di sebelah kanannya, tidak mati.

Tetapi tunggu, bukankah rumah di sebelah kanan itu sudah kosong sejak empat bulan?

Kantuk begitu saja enyah dari dirinya, matanya kini terbuka lebar, dan fokus mengintip dari jendela yang sedikit disingkap gordennya. Siapa tau, di rumah itu ada maling, kan?

Berbekal rasa penasaran dan ponsel dengan kamera yang cukup mumpuni, Junia nekat membuka jendela kamarnya, supaya melihat lebih dekat ada siapa di rumah tersebut.

Sejauh Junia mengamati, tidak ada gerak-gerik mencurigakan. Lampu di lantai bawah rumah tersebut padam, yang menyala hanya kamar di lantai atas. Kamar tersebut memiliki balkon yang menghadap tepat ke jendela kamar Junia.

Tak lama, siluet seseorang nampak berjalan mendekat. Kemudian duduk bersandar di pagar tembok balkon rumah tersebut, membelakangi Junia.

Asap tipis seperti embusan dari perokok menari-nari di udara, orang itu—yang sepertinya adalah lelaki—sedikit menengadahkan kepalanya ke atas sebelum asap tipis itu nampak.

Setelahnya, petikan gitar mulai terdengar. Suaranya yang pelan membuat Junia berpikir lelaki itu hanya bisa menciptakan nada-nada sumbang, namun lama kelamaan, nada-nada gitar itu mulai berirama.

Lelaki itu memetik gitar sambil bersenandung, dan Junia kenal dengan melodinya.

"Take my hands, take my whole life too ... for i can't help, fallin' in love with you."

Lirik terakhir yang demikian itu, tertangkap pendengaran Junia. Seketika hatinya mencelos, hey, lelaki itu menyanyikannya dengan merdu!

"Sopan banget nyanyinya," gumam Junia. Gadis itu gak sadar jika sekarang kedua tangannya mendekap dada. Sedangkan lelaki yang tengah diperhatikannya dari belakang, melanjutkan apa yang ia nyanyikan, bersama iringan gitarnya, sampai selesai.

Asap tipis terkepul lagi, dan lelaki itu menyimpan gitarnya di samping. Kembali merokok, sambil menggumamkan irama-irama musik.

Entah angin dari mana, Junia mendorong jendelanya dengan maksud supaya terbuka. Tetapi, ia lupa kalau jendelanya terkunci. Mata minusnya cukup menyusahkan dalam keadaan gelap seperti sekarang. Berinisiatiflah ia, menyalakan senter melalui ponsel, dan mencoba membuka kunci slot jendela yang sudah cukup tua.

Jendela terbuka, dan sepertinya menimbulkan bunyi yanh cukup mengganggu. Atau mungkin mengejutkan. Sebab lelaki yang sejak tadi memunggungi jendela kamar Junia itu berbalik badan, sambil terkesiap, sampai rokok diantara telunjuk dan jari tengahnya terjatuh.

"Setan!!" pekiknya, refleks.

"Eh, sembarangan banget lo ngatain gue setan!"

"Anjing!"

"Wah, songong ini orang. Heh, lo maling, ya?! Ngaku!!"

Lelaki itu tidak menjawab Junia, ia hanya bergidik ngeri, lalu masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu balkon rapat-rapat, beserta membentangkan gorden yang menghiasi pintu tersebut. Tidak lupa, gitar cokelat kayu tadi ia bawa masuk.

::::

Julian membanting dirinya ke atas kasur, dalam posisi terlentang ia menatap langit-langit kamar, dengan lampu bergaya modern. Ia sudah menelaah desain interior kamar ini, dan menurutnya lebih mirip kamar hotel daripada kamar.

Cat tembok didominasi warna putih, interior didominasi warna cokelat gelap. Lantai vinyl motif kayu, dan kasur king size serba putih. Satu-satunya yang membedakan kamar ini dengan hotel adalah: tidak ada kamar mandi di dalam kamar.

Pintu kamarnya dibuka begitu saja, lantas ia mengucap syukur sebab dirinya sedang dalam keadaan yang tidak memalukan.

Yaa ... keadaan yang tidak memalukan, seperti saat ia berbaring dengan celana selutut dan kaus abu-abu.

"Ian dari tadi Onti panggilin!" Tantenya merengek setelah membuka pintu.

Tidak, Julian bukan berondong simpanan tante-tante. Perempuan yang barusan merengek itu adalah adik dari papa Julian. Usianya hanya terpaut lima tahun dengan remaja lelaki tersebut.

"Kenapa emang? Nggak kedengeran tau," jawab Julian seadanya.

"Gue baru pesen makan, tar lo temenin, ya? Makan di bawah tapi."

"Halah, bukan nemenin. Tapi ngabisin sisaan lo. Ya udah, nanti panggil aja. Masih jetlag."

Perempuan itu menyeringai, lalu kembali menutup pintu kamar sang keponakan.

Keduanya baru datang dari Ubud, Bali. Baru tadi siang tiba di Jakarta.

Julian terpaksa pindah kemari, hanya untuk dua bulan. Dua bulan, untuk menemani tantenya yang biasa ia panggil Onti Eca.

Wanita 22 tahun itu adik kesayangan sang papa. Ia baru selesai menamatkan sarjana, dan baru diterima bekerja di Jakarta. Tetapi, papa Julian yang notabene adalah kakaknya, tidak mau membiarkan sang adik sendirian di ibukota. Meskipun hanya untuk dua bulan.

Iya, dua bulan. Setelah melalui perdebatan panjang antara tante dan papanya, akhirnya Eca meminta agar papa Julian mengizinkannya bekerja di Jakarta hanya untuk dua bulan. Wanita itu ingin tahu bagaimana rasanya hidup jauh dengan keluarga.

Meskipun ... Julian harus tetap mengemban tugas sebagai temannya.

Lalu, apakah Julian menerima keadaan saat ini begitu saja? Tentu tidak! Remaja lelaki itu memberontak, sebelum sang papa benar-benar mengirimnya ke Jakarta. Bagaimana tidak? Dua pekan mendatang adalah jadwal ujian kenaikan kelas, masa ia harus menyampingkan sekolahnya?

Dan dengan kekuatan relasi sang papa, Julian bisa pindah sekolah pada akhir semester ini. Tentu saja, Julian tidak bisa berkutik ketika ayahnya mengambil keputusan.

"Iaan, ayo ke bawah!" Pintu kamarnya diketuk kembali, dan suara Eca terdengar nyaring.

Sambil bergerak dengan malas, ia menemui tantenya. "Cita-cita langsing, kampanye diet, tapi pesen burger malem-malem. Siapa? Eca alias Resya Anisa!"

Eca menatapnya sinis, dan menimpali, "Berisik!"

"Coba gue tanya, lo pesen sebanyak ini biar apa? Ini berapa porsi, Ontiiii?"

"Gue mau klik dua paket, malah kepencet tiga. Biarinlah! Temenin Onti makan, Iaaan."

Dengan kurang berselera, Julian ikut menyantap sate padang di hadapannya. Mungkin karena terbawa pengaruh sang papa, ia tak bisa menentang Eca. Entahlah, Julian seperti iba jika tidak menurutkan wanita itu.

Di tengah suasana makan yang damai, Julian teringat sesuatu. "Eh, Onti, rumah sebelah tuh kosong, ya?"

"Sebelah kanan apa kiri?"

"Sini, nih, yang seberangan sama balkon Ian," katanya sambil menunjuk ke arah barat.

"Ada orangnya, Ian. Gue liat barusan ada motor masuk, pas sore, sih. Kenapa emang?"

"Rumahnya gelap banget. Terus tadi ...."

Belum selesai Julian dengan jawabannya, Onti Eca sudah menyambar, "Diem lo, ah! Jangan cerita horor, udah lewat tengah malem!"

"Gue kira juga bakal horor, ini gue dituduh maling, Ca!"

Perempuan di hadapannya sontak terbahak, "Tampang maling, sih, lo!"

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro