Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part. 3

Setelah Ella turun di perumahan mekar beberapa saat lalu. Tidak ada obrolan yang dikeluarkan mulut Cheria. Ia tersenyum tipis seraya menoleh sekilas pada laki-laki yang dia. Namun, Andra sama sekali tidak memedulikan keberadaannya sama sekali.

Cheria pindah tempat duduk sebelah Andra. "Ra," panggil Cheria sedikit menyenggol lengan Andra. "Rumah lo di mana? Soalnya perhentian terakhir perumahan setia."

"Kenapa?"

"Ya, berarti kita searah, dong? Perumahan setianya jalan apa? Blok berapa? Nomor rumah? Atau nomor WA sekalian juga boleh."

Andra memandangnya tidak minat dan kembali memasang earphone-nya. Saat mengetahui laki-laki itu tidak merespons, Cheria menyenggol lengan Andra beberapa kali.

"Ra, jangan lama-lama pake headset-nya. Nanti kalo gue ngomong makin nggak denger," tuturnya.

"Earphone," sahut Andra tanpa menoleh gadis itu.

"Iya, gue tau kali. Tapi, emang bedanya apa? Bukannya sama aja?" tanya Cheria memancing obrolan dengan laki-laki itu.

"Cari sendiri."

Padahal niat Cheria agar mereka ada obrolan, rasannya suasana terasa kembali sepi. Hanya ada mereka berdua juga sopir angkutan kota ini. Biasanya memang sudah agak sepi karena perumahan tempat tinggalnya itu perhentian terakhir angkutan ini.

Sekitar beberapa meter sebelum pintu masuk Perumahan Setia. Terlihat lima orang Ibu-ibu siap naik ke angkutan kota Cheria dan Andra berada. Cheria melepaskan satu earphone Andra dan berbisik. "Mending kita turun di sini. Nanti bakal repot, gue tau mereka bakal naik ini."

"Masih jauh?"

"Tuh, samping minimarket, depan bengkel." Sembari menunjuk pintu masuk perumahan. "Yuk," ajak Cheria.

Saat Cheria hendak turun, Andra melihat kepala gadis itu hampir terbentur bagian atas pintu angkutan. Tanpa berpikir panjang dengan cepat Andra menahan dengan tangan hingga membuatnya meringis kesakitan.

"Kenapa? Kejedot, ya?" tanya Cheria sedikit jinjit melihat puncak kepala Andra. "Gue juga sering, kok. Apa lagi kalo udah ngantuk."

Andra mengibaskan tangannya berharap rasa perihnya berkurang. Tidak merespons apa pun, laki-laki lantas melangkah pergi. Sejujurnya Andra bingung, padahal gadis itu yang hampir terbentur tapi kenapa ia tidak merasa apapun.

"Ra, jangan tinggalin, dong," panggil Cheria berlari kecil mengikuti langkah Andra yang lebih besar darinya.

Mereka berdua melangkah beriringan, Cheria berjalan tepat di pinggir jalan raya dan Andra sebelahnya. Sesekali laki-laki mendahului Cheria tetapi terus saja, gadis itu memaksa untuk berada di sampingnya. Sembari berjalan, gadis berambut pendek itu bersenandung ria. Ia mirip sekali dengan anak kecil yang sedang berekreasi bersama teman-temannya.

"Ra, lo tinggal di mana, sih? Dari tadi ikutin gue terus?" tanya Cheria seraya menoleh ke kanan. "Dari depan perumahan, kita bareng terus."

"Lo yang ikutin gue."

"Bukan gue, tapi hati gue yang ikutin," kelakarnya disambung tawaan geli. "Enak kali ya, kalo rumah kita deket. Jadi, kan gue bisa sering-sering ketemu."

Andra menoleh sekilas mempercepat langkahnya. "Berisik banget," gumamnya. Baru kali ini, ia bertemu dengan gadis yang sangat percaya diri. Bahkan, terlewat percaya diri.

Selama hari pertama di sekolah ini, lumayan terbantu karena gadis itu. Tetapi, mulutnya yang tidak bisa diam, membuat telinga sakit. Cheria terus saja melihatnya selama di kelas dan sekarang mereka tinggal di perumahan dan jalan yang sama.

Cheria menepuk pelan pundak Andra. "Ra, lo suka permen karet nggak?"

"Nggak."

"Kalo gue, lo suka nggak?" tanya Cheria membuat Andra tersentak. "Tenang, gue latihan aja, biar nggak deg degan banget gitu. Tapi, kalo lo yang mau tembak duluan, nggak apa-apa juga, sih."

"Terserah."

Cheria terhenti melangkah dan terdiam di bawah pohon mangga. Ia berusaha mencerna perkataan Andra tadi. "Terserah? Itu artinya, gue bebas nembak duluan?" teriaknya tertahan telapak tangan seraya melompat-lompat. "Tuh, kan bener dia itu jodoh gue, si Ella nggak percaya banget sama gue."

Perjalanan dari pintu masuk perumahan cukup jauh. Tidak terasa mereka sudah sampai di jalan kembang tiga. Deretan rumah sebelah kiri dengan cat abu-abu muda itu tempat tinggal Cheria.

"Ra, rumah lo di mana? Perasaan di jalan kembang nggak ada rumah kosong," tanya Cheria seraya berpikir sejenak. "Oh, mungkin lo mau ke jalan pucuk kan? Sengaja lewat sini biar bareng gue."

Andra hanya melirik sekilas. "Lo bilang ke sana itu jalan kembang kan?" tanya Andra seraya menunjuk tepat di belokan ketiga dari langkah mereka. Sebenarnya ada tiang yang tertulis nama jalan, hanya saja sudah terhapus setengah.

Cheria mengangguk kecil. "Lo mau mampir ke rumah gue?"

"Thanks," jawab Andra sebelum beranjak pergi dari sana.

"Astaga, dia bilang thanks sama gue? Gue mimpi nggak, sih?" ujarnya pada diri sendiri seraya melompat kegirangan.

Andra melangkah seraya memperhatikan tiap nomor rumah, yang tertera di atas pintu. Ia merogoh ponselnya terlihat ada panggilan telepon dari sang Bibi. Andra pun menggeser layar ponselnya.

"Halo, Andra. Kamu udah dimana sekarang? Kamu tau cari naik angkot apa kan? Bibi takut kamu kesasar."

Andra terkekeh kecil. "Aku udah gede, Bi. Sekarang aku udah di jalan kembang tiga rumah Bibi yang mana?"

"Bibi lagi masak, nggak bisa ditinggal. Sebentar Bibi telpon Nava dulu, nanti dia samperin kamu."

"Iya Bi."

Setelah mematikan panggilan teleponnya, Andra memasukkan ponsel ke dalam saku baju. Melihat ada tempat duduk kayu yang cukup panjang, berada di bawah pohon. Andra beristirahat dan duduk sejenak di sana.

"Ra, kita ketemu lagi," sapa seorang gadis dengan mulut yang tengah mengunyah permen karet. "Biasanya kalo ketemu lagi gini, itu artinya kita jodoh."

"Lo?"

"Bener kata orang, jodoh pasti bertemu, ya nggak?" candanya terkekeh, sebelum mendaratkan bokongnya di sebelah Andra. "Nunggu siapa, Ra?"

"Nava."

Terdengar kekehan samar dari Cheria. "Siapa namanya? Nava? Pasti yang paling cantik ya? Keliatan dari namanya."

Andra mengangguk kecil. "Lo kenal?"

"Oh, pasti. Gue kenal banget. Mau gue antar? Dia lagi nungguin, tuh," ujarnya menahan tawa. Cheria bangkit berdiri. "Ayo, gue antar."

Andra lantas berdiri dan mengikuti langkah kecil gadis itu. "Yang mana?"

Sembari mengunyah permen karet, gadis itu menunjukkan rumah yang cukup besar. Dengan cat krem, dilengkapi dengan pagar besi berwarna hitam, setinggi dada orang dewasa.

"Ini rumahnya," ujar Cheria tersenyum dengan gigi yang berderet rapi. "Kok, malah diem? Cepet masuk."

"Lo Nava?"

Cheria terkekeh kecil. "Pasti lo kaget kan? Kenapa Tante Indah kenal gue?"

Seperti biasa laki-laki tidak merespons dan langsung masuk tanpa mengucapkan terima kasih atau lainya.

"Kebiasaan banget, tapi nggak apa-apa. Mungkin dia belum terbiasa ketemu gue yang cantik nan baik ini," ujarnya seraya mengibaskan rambutnya.

•••

"Gimana hari pertama kamu sekolah di sini?" tanya Bibi Indah seraya mengeringkan tangannya menuju ruang tamu.

"Ya, gitu, Bi. Siapa cewe itu, Bi?" tanya Andra masih merebahkan punggungnya di sofa empuk berwarna abu-abu terang.

"Cantik, ya? Dia Cheria, Bibi sering panggil Nava. Dia sering bantuin Bibi, Ibunya juga baik. Mereka jual nasi uduk, kalo pagi-pagi."

"Berisik, aku nggak suka."

"Awalnya gitu, nanti juga kamu suka. Dia itu rajin, baik, cantik juga. Cocok banget, jadi mantu," tutur Indah terkekeh kecil.

"Sayangnya, anak Bibi udah nikah, tuh."

"Ya, kamu, dong."

Sejujurnya Andra juga tidak bisa berkilah. Semua kriteria yang disebutkan Bibinya itu, memang benar. Tetapi, dia bukan tipe laki-laki yang mudah menyukai seseorang.

"Aku malas bahas itu."

"Kalo kamu mau lancar move on ya cari yang baru. Tuh, Nava ngapain jauh-jauh. Pas banget depan rumah lagi," ujar Indah sembari menoleh ke kaca jendela. Terlihat rumah berwarna abu-abu sedikit tua dengan pagar hitam yang sedang.

"Kamu ingat nggak, nasi uduk yang kamu bilang enak banget? Nah, Bibi beli sama Ibunya Nava."

Andra hanya mengangguk kecil, kemudian menuju ke salah satu kamar yang terletak di sisi kanan.

"Barang-barang aku masih ada ternyata." Indah melangkah mengikuti Andra dan berdiri di ambang pintu.

Senyuman Bibi Indah terukir melihat Andra yang tampak senang, dia sengaja membiarkan kamar Andra seperti dahulu. Saat anak laki-laki ini datang dua tahun lalu.

"Setelah kamu rapikan buku, mandi. Nanti Bibi ambilkan makan," tutur Indah kemudian menutup pintu kamar Andra.






To be continued.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro