17. Agreement
Setelah mengerjakan tugas yang diberikan. Bunyi lonceng berdentang keras, menandakan jam makan siang akan di mulai. Beberapa siswa dan siswi yang sudah muak bersorak senang, sedangkan yang lainnya hanya menghembuskan napas lega. Ms. Clark dengan segera mempersilahkan mereka untuk mengambil makan siang lalu meninggalkan ruang kelas.
Athena yang sudah bosan semenjak tadi hanya memutar-mutar penanya. Lalu beralih, menatap jawaban yang sudah diperiksanya berulang kali hingga dirinya muak. Sembari mengetuk jarinya di meja, dirinya kembali berdecih.
"Athena, kau bisa berhenti berdecih tidak?" ucap Callister dari belakang.
"Tidak." ucap Athena, memutar bola matanya muak.
"Bagaimana aku bisa menyelesaikan ini kalau kau berdecih terus." ucap Callister menatapnya sinis.
"Lagipula kenapa kau harus di dekatku sih!" ucap Athena menatapnya dengan tatapan tajam.
Callister yang tidak bisa memberi komentar mengenai hal itu, memutuskan untuk mengalah. "Jadi untuk persetujuan yang tadi, kau setuju atau tidak?" ucapnya.
"Baiklah, aku setuju. Tetapi kau harus ingat kalau ada suatu hambatan, persetujuan ini di tunda untuk sementara." ucap Athena, dijawab oleh Callister dengan anggukan.
Callister keluar lebih dulu setelah meletakkan kertas tugas di atas meja guru. Setelah menunggu beberapa saat Athena mengikuti langkahnya sembari memastikan jarak langkah mereka terpaut dua meter.
Callister melirik ke arah Athena dengan tatapan kesal. "Kenapa dia malah menjaga jarak dariku? Memangnya berteman denganku dapat membuatnya tertular penyakit gila?" batin Callister sembari menghembuskan napas kasar.
Karena bosan Athena akhirnya mengambil permen karet yang diletakkannya di dalam saku rok sembari menatap sekitar dengan pandangan tidak tertarik. Satu-satunya hal yang membuatnya tertarik hanya suasana aneh yang sangat kental ketika dia berjalan di lorong-lorong asrama. Perhatiannya teralih ketika melihat seseorang menghampiri Callister dengan wajah konyol.
"Hi, Cal!" seru seseorang di depan Callister.
Salah satu teman Callister dengan warna rambut ginger itu terlihat sangat bersemangat menceritakan hal-hal yang sayangnya tidak dapat dia dengar. Melihat sekumpulan orang yang berjalan ke arah Callister, membuatnya tersenyum miris.
"Aku mendapat firasat kalau rencananya akan batal, tetapi aku tidak tau harus secepat ini." batin Athena miris.
Seperti perkataannya tadi, Athena akhirnya bergegas pergi ke perpustakaan untuk mempelajari hal-hal umum di asrama ini. Matanya menatap lurus ke depan. Mengunyah permen karet yang lama-kelamaan kehilangan rasa manisnya.
Sampai suara seseorang mengganggu pendengarannya. Berita buruknya suara itu berasal dari komplotan Callister yang berada tepat di belakangnya.
"Kau Athena, ya?" ucap seorang laki-laki di belakangnya.
Athena berbalik sembari menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa?" Siapapun akan tau dirinya merasa terganggu dengan situasi ini. Dia tidak menyadari kalau dirinya terlihat mengintimindasi hingga membuat komplotan itu diam membisu.
Salah satu dari mereka melihat Athena yang menunggu balasan dari mereka. Membuat orang tersebut berinisiatif untuk menjawabnya, "Tidak ada, dia agak gila. Jangan dihiraukan." ucap laki-laki dengan warna rambut caramel yang memasang wajah datarnya.
Athena mengernyitkan dahinya. Lalu menjawab, "Baiklah kalau begitu." Dirinya segera berjalan santai hingga keberadaannya tidak terlihat lagi.
"Kenapa kau menyukai orang seperti itu?" ucap laki-laki dengan rambut hitam pekat, Daniel, sembari menatap Callister dengan pandangan bingung.
"Sejak kapan aku bilang kalau aku menyukainya?" ucap Callister mengeryitkan dahi.
"Sejak kau bertanya tentangnya?" sahut laki-laki dengan warna rambut caramel, Theo, disetujui oleh anggukan Daniel.
"Aku hanya penasaran, dia terlihat aneh." ucap Callister tenang.
"Aneh? Dia terlihat normal-normal saja." ucap laki-laki dengan rambut berwarna ginger, Cleo.
Daniel tersenyum miring, "Normal darimana? Aku bahkan tidak bisa membaca pikirannya." Theo terlihat terkejut begitu pula dengan teman-temannya yang lain.
"Kalau begitu aku menarik kembali kata-kataku. Mungkin otakku bertambah bodoh setiap harinya." ucap Cleo.
"Kalau aku memaksakan diriku untuk membacanya. Tubuhku dengan cepat kehilangan energi dan kemungkinan terburuknya aku tidak sadarkan diri." ucap Daniel, teman-temannya yang lain menatap jejak kepergian Athena yang terasa begitu kuat.
"Dia benar-benar kuat, ya?" ucap Cleo, tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaannya.
Callister mendengarkan teman-temannya dengan seksama. Sejujurnya dia terkejut akan perihal Daniel yang tidak bisa membaca pikiran Athena. Padahal Daniel merupakan mind reader terbaik yang pernah dia ketahui.
Pikirannya segera teralihkan ketika melihat salah satu temannya, Theo, yang sejak tadi tidak menambahkan pendapat apapun.
Beberapa saat kemudian Callister menyadari sesuatu. "Aku baru sadar. Dimana Alex?" ucapnya sembari memerhatikan sekitar.
"Alex sakit perut akibat memakan makanan bibi." ucap Theo dengan ekspresi prihatin.
"Jadi doakan saja perutnya terselamatkan." ucap Daniel menambahkan.
"Amin." ucap Cleo, membuat Theo menganggukkan kepalanya.
Dalam hati Callister ikut mendoakannya karena rasa makanan bibi yang memang terasa seperti racun yang membuat tenggorokan dan lambung mati rasa.
___
Ale berlari dengan cepat menuju ke perpustakan sembari membawa tas kecil. Dirinya diperintahkan secara langsung untuk mengambil ini di bandara melalui Samuel. Dia tidak ada masalah dengan hal itu, hanya saja paket yang harus diantarkannya adalah masalah besar.
Kenapa mereka tiba-tiba sekali? Sampai-sampai rasa sakit di perutnya menghilang karena dia terlalu terkejut. Padahal tadi rasanya dalam hitungan detik lambungnya terasa seperti akan meledak.
"Harusnya ibu tidak usah mengirimkan makanannya saja. Kadang-kadang aku sampai bertanya. Sebenarnya ibu berniat untuk membuatku senang atau tersiksa karena mulas?" batin Ale, mencoba menahan tangis karena tidak tega untuk mengatakannya di depan ibunya.
Ibunya terlalu memaksakan diri, padahal sejak dulu ibunya itu tidak pandai memasak. Terakhir kali dia memasak sesuatu, makanan itu berwarna ungu kemerahan yang rasanya mampu membuat dirinya diare seminggu penuh. Dirinya menjadi bahan ejekan Athena, Aretta, dan juga kakak tertuanya yang saat itu baru pulang dari Belanda.
Sampai Athena rela menginap di rumahnya dua hari, hanya untuk melihatnya tersiksa. Sungguh kurang ajar.
Matanya menatap lurus, menghiraukan orang-orang yang menatapnya aneh. Biasanya dimana orang itu bersembunyi? Dalam sepersekian detik Ale menemukan jawabannya dan masuk ke dalam perpustakaan dengan keadaan terburu-buru.
Matanya menelisik ke segala arah. Dirinya kembali berlari saat menemukan orang tersebut.
"Astaga, Ale. Kau dikejar pembunuh atau bagaimana?" ucap Athena, terkejut melihat keadaan sepupunya yang tidak normal.
"Kakek memberikanmu ini, penting. Aku bisa bilang ini darurat." ucap Ale menyerahkan tas tersebut.
"Oke." jawab Athena dengan tenang.
Athena membuka tas tersebut yang didalamnya hanya berisi sebuah kotak berbentuk balok dengan warna hitam elegan dihiasi dengan pita putih. Tangannya secara telaten membuka kotak tersebut menemukan sebuah telepon genggam dan botol kecil dengan cairan keunguan didalamnya.
"Ath, apa maksud-
Athena menaruh jari telunjuknya di depan wajah Ale. Dirinya menyalakan telepon genggam tersebut sembari mengecek sedikit.
"Ini sudah disadap." ucap Athena membuat Ale lemas.
"Tentu saja, sejak kapan orang tua itu memberi kelonggaran untuk kita." ucap Ale lelah.
"Dia bahkan sudah menambahkan sejumlah kontak penting. Percuma saja telepon baru kalau jadinya begini." ucap Athena dengan nada muak.
"Setidaknya itu edisi terbaru, Ath." ucap Ale berusaha membawa sisi positif.
"Terima kasih, pendapatmu sangat membantu." ucap Athena menatap teleponnya dengan miris.
Keheningan yang tiba-tiba melingkupi mereka berdua membuat aura di sekitar mereka terasa berat dan menyesakkan. Ale yang mengerti situasi mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Tidak bisakah mereka menunggu beberapa tahun lagi? Bukankah kalian semua masih sekolah?" ucap Ale merasa prihatin.
"Kau tau tidak ada kata menunggu dalam kamus mereka. Mereka ingin memainkan bidaknya dengan cepat, mana mungkin mereka peduli?" ucap Athena menghembuskan napas kasar.
Ale memang membencinya, tetapi di saat yang bersamaan. Apabila dia mendapat tanggung jawab yang sama dengan Athena. Sudah pasti dia meregang nyawa dalam hitungan bulan.
"Semoga kau bisa bertahan, Ath." ucap Ale menatapnya dengan tatapan yang tidak berubah. Ucapannya tidak berarti apapun, dirinya juga tidak dapat melakukan apapun.
"Tentu saja. Siapa tuan rumah tahun ini?" ucap Athena, mencoba untuk menghiraukan kehadiran dua orang makhluk yang duduk bersila tepat di sebelah kanannya.
"Keluarga Collins. Saat ini keberuntungan sedang tidak berpihak kepada kita. " ucap Ale sembari menyerahkan tas lain yang berisi makanan didalamnya.
"Ah, aku tidak bisa membantahnya." ucap Athena terdiam dalam lamunannya. Dia melanjutkan, "Bukankah putri keluarga Collins ada disini?" tanya Athena, menaikkan sebelah alisnya.
"Ya, kalau tidak salah namanya Gea." ucap Ale mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Baiklah, kalau begitu." ucap Athena menganggukkan kepalanya.
Ale segera meninggalkan tempatnya mengurus urusannya sendiri. Athena hanya menghembuskan napas kasar, muak dengan kondisinya saat ini.
Sekarang rasanya Athena ingin memukul kepalanya sendiri karena masalah yang semakin bertambah. Ditambah dua makhluk aneh tersebut yang masih menatapnya dengan tatapan prihatin sekaligus meremehkan.
Makhluk ini benar-benar tidak terlihat oleh siapapun kecuali dirinya dan orang-orang tidak beruntung lainnya.
"Masalahmu banyak juga, ya?" ucap laki-laki yang sama dengan laki-laki yang berada di sebelah Ms. Clark tadi pagi.
"Mau kita bicarakan urusan kita sekarang atau nanti saja?" ucap perempuan di sebelahnya, terlihat tidak peduli.
"Sekarang saja." ucap Athena.
"Oke, kita akan mulai dengan pengetahuan sihirmu karena kau begitu bodoh. Lalu kita akan membicarakan gadis pembuat masalah itu. Bagaimana denganmu?" ucap perempuan tersebut dengan rinci.
"Aku setuju." sahut laki-laki itu.
"Apa gunanya untukku dan mengapa aku harus melakukannya?" ucap Athena dengan tenang.
"Kami akan mengajarkan beberapa sihir kuno penting untuk dirimu yang mungkin akan berguna karena aku tau kau pintar mengatur hal seperti itu." ucap laki-laki tersebut.
"Ditambah juga dengan masalah tadi, aku yakin seratus persen kau akan menggunakannya. Alasan lain kenapa kau harus melakukan ini ada di balik perbanmu itu." ucap perempuan itu menambahkan.
"Memangnya ada apa dengan luka ini?" tanya Athena.
"Itu membuktikan kalau kau itu terkutuk." ucap laki-laki itu dengan senyum mengintimindasi.
Athena menggenggam erat lengan bawahnya, tidak menerima kenyataan tersebut. Sayangnya meski hatinya tidak menerima hal tersebut, logikanya masih berjalan dengan jelas. Sehingga dia akan melakukan sedikit negosiasi karena keberadaan mereka berdua sungguh mengganggu.
"Kalian melakukan ini dengan bayaran lain, bukan?" ucap Athena mengintimindasi.
"Tentu, kau akan ditugaskan dengan yang lainnya untuk menjaga akademi ini." ucap perempuan tersebut. Athena bisa melihat lebih jauh ke dalam matanya yang terlihat tembus pandang itu kalau dia menyimpan rasa prihatin saat melihat keadaannya.
"Baiklah, aku akan melakukannya dengan syarat kalian tidak akan menggangguku di saat-saat tertentu. Juga sebelum sesuatu yang buruk terjadi, kalian harus memberitahuku satu atau dua clue. Aku tidak ingin mati konyol." ucap Athena, kedua makhluk itu hanya menganggukkan kepalanya.
Semua ini dilakukannya untuk bertahan hidup.
Terutama ketika dirinya masuk ke dalam permainan keluarga Collins yang sudah sejak dulu membenci keluarganya, Rothschild.
___
Ga tau aku mau nulis apa, tapi makasih buat yang masih mau baca, stay tuned terus yaa.
Dont forget to vote and comment♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro