16. Disguised
Aku menatap lurus ke arah papan tulis putih yang menggantung di dinding sembari menahan sakit. Tanganku rasanya perih, sakit, dan terbakar di saat yang bersamaan.
Sebelum ini aku sering terluka dan mengabaikannya dengan mudah karena hanya terasa sakit sedikit. Tidak peduli sepanjang apa luka tersebut menganga lebar di kulitku, aku juga tidak masalah.
Tetapi ini sungguh perih dan juga membakar kulit.
Aku pernah luka bakar sebelumnya. Sakit memang tetapi luka ini sepuluh kali lebih buruk. Aku bisa meneteskan air mata sekarang juga tetapi aku tidak ingin memancing perhatian orang-orang. Juga tidak sopan kalau aku izin keluar kelas saat guru tersebut belum memperkenalkan diri.
Aku tidak ingin terkena masalah, tetapi di saat yang bersamaan aku ingin memukul tanganku karena rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.
"Athena?" ucap suara tidak asing yang tak lain adalah Callister.
"Apa?" ucapku dengan suara yang begitu pelan karena takut kalau dia akan menyadari bahwa sesuatu yang aneh terjadi padaku.
"Kau baik-baik saja?" ucapnya, terdengar khawatir.
"Aku baik-baik saja." ucapku, mencoba tersenyum kecil menghibur diriku sendiri.
"Kalau kau sakit, segeralah ke ruang kesehatan. Nanti aku akan menyampaikannya." Aku menaikkan sebelah alis mendengarnya ucapannya.
"Aku baik-baik saja, tidak perlu ke ruang kesehatan." ucapku menetralkan suaraku agar terlihat normal.
Lagipula darimana dia tau aku kesakitan? Bahkan semua orang di kelas tidak ada yang menyadarinya. Apa mungkin karena tangan kiriku yang bergetar?
Callister tidak berbicara lagi setelah mendengar jawabanku tetapi aku dapat merasakan tatapannya yang semakin intens dari balik punggungku.
Ketika seorang perempuan akhir dua puluhan, masuk dengan jubahnya yang menjuntai begitu panjang. Bersamaan dengan bunyi alas sepatu nyaring yang dikenakan olehnya. Juga wajah rupawan yang di dukung dengan mata rubah yang menatap kami dengan tatapan mengintimindasi. Suara para siswa yang sedang berbincang berubah menjadi senyap secara bersamaan.
"Selamat pagi, anak-anak. Perkenalkan saya Clark, wali kelas kalian. Saya harap kita semua dapat bekerja sama dengan baik." ucapnya dengan senyuman yang mengandung banyak arti di dalamnya.
Aku membelalakkan mata saat melihatnya tersenyum ke arahku. Dengan segera aku tersenyum canggung dan mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Selamat pagi, Ms. Clark." ucap para siswa serempak kecuali aku, tentu saja.
"Silahkan perkenalkan diri kalian masing-masing." ucapnya dengan senyuman yang diarahkannya kepadaku.
Karena tatapan yang sangat menggangu. Aku mencoba mengalihkan perhatian ke arah lain. Aku menatap kedua tanganku yang memiliki bekas keunguan lebam panjang, luka lama yang sudah mulai tidak terasa sakitnya.
Lalu aku memeriksa luka aneh yang berada di punggung tangan kiriku. Tanganku memerah, mengitari sebuah luka sayatan yang membentuk pola abstrak aneh. Untungnya darah yang keluar tidak begitu banyak, tetapi rasanya sangat menyakitkan.
Luka ini juga terlihat tidak wajar. Aku mendapatkan luka yang lebih parah di lengan bawahku dan punggungku akibat cambukan, tetapi rasa yang ditimbulkan luka kecil ini sungguh menyiksa.
Aku kembali menatap lurus ke depan, menahan sakit yang menjadi-jadi. Bukannya bertambah tenang. Aku malah bertambah kesal saat menyadari hal ganjil pada Ms. Clark.
Dia terlihat seperti orang yang akan kakek bayar dengan harga tinggi hanya untuk mengawasi aku. Kalau kakek benar-benar menyuruhnya untuk mengawasiku. Berarti luka di lengan bawahku tidak akan pernah sembuh, karena aku akan dipukul menggunakan rotan setiap kali aku gagal dalam salah satu mata pelajaran atau tes.
Aku tidak terlalu sering gagal tetapi tetap saja dipukul itu sakit.
Saat giliranku dipanggil. Aku segera berdiri dan tersenyum kecil. "Nama saya Cathleen Athena Eart, salam kenal." ucapku menggunakan suara yang ramah.
"Salam kenal, Cath." ucap beberapa orang menyambutku dengan ramah.
"Panggil saja Athena." ucapku, menerbitkan senyum paling ramah yang pernah aku tampilkan.
"Oke, Athena!" ucap salah seorang perempuan dengan semangat membara.
Aku tersenyum kepadanya sembari memegang tangan kiriku yang masih bergetar. Aku kemudian kembali duduk dengan tenang seperti biasa.
Setelah semua orang selesai memperkenalkan diri aku berdiri perlahan dan bergegas berjalan ke arah Ms. Clark. Perbuatanku membuat perhatian hampir sebagian kelas menuju ke arahku.
"Ms. Clark maaf aku terlihat tidak sopan, tetapi bolehkah aku ke toilet sekarang?" ucapku dengan tutur kata yang sopan.
"Oh, tentu saja boleh tetapi jangan terlalu lama." ucapnya tenang tetapi aku menyadari keganjilan dalam suaranya.
"Tentu, Ms. Clark." ucapku, menundukkan diri sembilan puluh derajat sebelum akhirnya membalikkan badan.
Aku menutup pintu kelas dengan hati-hati dan menghembuskan napas kasar. Beberapa saat aku tidak menyadari apapun, tetapi saat tangan kananku merasakan cairan keluar semakin banyak dari tangan kiriku. Saat itulah aku menjadi semakin panik.
Aku langsung berlari ke ruang kesehatan yang jauhnya sanggup membuat napasku berhembus tidak beraturan. Saat aku mendekati ruang kesehatan. Aku menyadari suatu hal.
Sial!
Ada orang di dalam.
Darah yang aku rasa semakin banyak membuatku tidak memiliki pilihan lain.
"Permisi." ucapku menggeser pintunya menggunakan tangan kananku yang memiliki bercak darah yang lumayan banyak.
"Oh, silahkan masuk." ucap seorang perempuan dari dalam.
Saat aku menemukan sebuah wastafel dengan segera aku berlari dan membuka kerannya. Perempuan tersebut yang awalnya duduk dengan tenang di atas kasur pasien, langsung membelalak.
"Astaga, Tuhan! Kenapa kau bisa terluka!?” ucapnya, setengah menjerit.
Mana aku tau lukanya darimana. Aku saja bertanya-tanya sedari tadi. Aku hanya menghembuskan napas kasar sembari mengibaskan tangan kiriku yang terasa perih.
Setelah berpikir beberapa saat mengenai alasan yang dibumbui dengan sedikit kebohongan. Aku segera menceritakannya meskipun terdengar tidak masuk akal.
"Aku ingin memotong kertas menggunakan cutter dan penggaris. Lalu aku menggunakan menjepit di bagian atas dan tangan kiri untuk menahan kertas di bagian bawah. Kadang-kadang aku memang agak tolol. Jadi aku tidak sengaja menyayat tanganku." ucapku, menatapnya dengan tatapan datar.
"Kenapa kau tidak terlihat panik!?" ucapnya, terlihat panik.
"Aku panik hanya saja wajahku memang begini." ucapku, tersenyum miris.
"Sini aku bersihkan!" ucapnya, membuatku menggelengkan kepala.
"Aku bisa melakukannya sendiri. Aku ingin minta tolong ambilkan alat-alatnya. Aku takut darahnya akan menetes." ucapku.
Perempuan yang dilanda kepanikan itu dengan cepat menyerahkan peralatannya ke meja kecil yang letaknya berada di sebelah wastafel.
"Terima kasih, maaf aku tidak nyaman kalau ada yang melihat lukanya. Apa kau bisa membalikkan badan?" ucapku, setengah meringis ketika air tersebut terkena langsung dengan darahku.
"Baiklah, tetapi hati-hati." ucapnya segera membalikkan badan.
Aku memberikan antiseptik pada bagian luka, lalu memperbannya menggunakan kasa steril secara telaten. Saat perban tersebut sudah mulai menutupi bagian luka di punggung tanganku. Perempuan itu kembali berbalik dan menatap perban di tanganku.
"Kau sering terluka, ya?" ucapnya, saat dia melihat perbanku.
"Darimana kau dapat pemikiran seperti itu?" ucapku.
"Perbannya rapi sekali." ucapnya, membuatku meringis.
Apakah otaknya sehabis membentur sesuatu?
"Perban rapi bukan berarti aku sering terluka, bukan? Bisa saja aku mengikuti organisasi yang memiliki hubungan dengan kesehatan." ucapku, tidak mengalihkan pandanganku dari perban di tanganku.
"Oh ... ya, maaf kalau aku banyak tanya. Kebanyakan temanku disini tidak bisa mengobati diri mereka sendiri." ucapnya, terlihat merasa bersalah.
"Tidak apa-apa." ucapku, tanpa berniat membuka pembicaraan lain.
"Siapa namamu?" tanya gadis itu.
"Athena." ucapku singkat.
"Namaku Nailea, salam kenal!" ucapnya dengan senyum lebar.
"Terima kasih, Nailea. Aku pergi dulu." ucapku, meninggalkan ruang kesehatan.
Aku mulai berjalan cepat ke arah kelas. Sepanjang jalan, aku tidak merasa tertarik untuk melihat kesekelilingku. Beberapa saat kemudian tidak terasa, aku sudah sampai di depan kelas. Saat aku ingin membuka kenopnya. Seseorang sudah terlebih dahulu membukanya.
Seorang laki-laki dengan rambut berwarna coklat gelap berdiri di hadapanku. Ekpresi wajahnya terlihat menahan sakit. Sebelum aku memundurkan langkahku. Dia sudah terlebih dahulu mendorong bahu kiriku dengan kasar.
Wajahku menatap punggungnya yang mulai menjauh dengan pandangan kesal.
"Permisi." ucapku sembari tersenyum.
Aku segera memasuki kelas dan mendudukkan diri di kursiku. Tanpa banyak bertanya, Del menjelaskan apa saja tugas yang diberikan oleh Ms. Clark secara rapih dan berurutan. Setelah aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Suara decih seseorang mengganggu pendengaranku.
"Katanya tidak ingin ke ruang kesehatan." ucap Callister, dengan senyum miring.
"Cal, jangan mengajakku bertengkar ini masih pagi." Aku memutar bola mataku.
"Menurutku ini sudah siang." ucapnya, dengan senyum kecil yang terasa menyebalkan.
"Ini masih jam sepuluh, Cal." ucapku kesal.
"Yang berarti sudah siang." ucapnya dengan senyum miring yang terukir di wajahnya, membuatku ingin segera mencekiknya.
"Terserah, Cal." ucapku lelah, menopang daguku menatap ke arah papan tulis yang berisi tulisan aneh milik Ms. Clark.
"Athena, kau tau tidak?" Aku memutar bola mataku.
"Tidak." ucapku kesal.
Dia tidak memperdulikannya dan tetap melanjutkannya. "Auramu semakin kuat setiap harinya." ucapnya.
Aku tidak mengindahkan perkataannya dan fokus kepada hal lain. Sebelum perempuan di perpustakaan itu berdiri di sebelah Ms. Clark. Juga salah seorang laki-laki yang tampak seumuran menatapku dengan tatapan meremehkan.
Aku sempat terdiam beberapa saat, ketika menyadari tak ada seorang pun yang melihat mereka. Sebelum akhirnya tubuh mereka menghilang menjadi debu.
"Nanti kalau mengundang makhluk tidak dikenal, seperti saat di karnaval bagaimana?" ucap Callister, membuatku membelalakkan mata.
"Callister jangan bercanda." ucapku dengan serius.
"Aku tidak bercanda, serius. Kalau kau tidak percaya aku akan menunjukkannya nanti." ucapnya.
"Serius, kau akan menunjukkannya?" ucapku tidak yakin.
"Ya, tetapi dengan syarat kau harus menemaniku ke gedung tahun kedua." ucapnya tersenyum miring.
"Callister, aku juga serius akan membantingmu setelah ini." ucapku dengan nada serius.
"Memangnya kau bisa?" ucap Callister meremehkanku.
Aku tersenyum miring, "Lihat saja nanti."
_____
I am sorry for the late update. Hope you still enjoy this chapter.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro