13. Bookshelf
Aku publish ulang karena ada yang ga nyambung ternyata...
_____
Setelah berpikir beberapa saat. Aku sudah menentukan pilihanku untuk tidak memberitahukan surat ancaman ini kepada Callister. Karena aku pikir ini bukan hal yang patut dibicarakan kepada orang yang baru aku kenal. Terlebih aku tidak tau kapan dan bagaimana caraku diawasi. Aku juga tidak ingin Callister terluka karena kecerobohanku.
Saat ini kami berdua berjalan bersebelahan dengan wajah Callister yang terlihat sangat tertekan. Dia juga tidak banyak berkata-kata semenjak kejadian tadi. Suara yang dapat aku dengar hanyalah langkah kami yang terdengar begitu jelas di lorong karena saat ini hanya kami berdua yang menginjakkan kaki di lorong ini.
Sesuai perjanjian yang kami setujui tadi malam, saat ini kami sedang berjalan ke perpustakaan sebelum makan siang. Meski mood Callister memburuk sepuluh kali lipat dari sebelummya. Dia tetap bersikeras untuk datang ke perpustakaan.
Mengingat hal ini hanya membuatku kesal sendiri. Aku sudah tidak bisa menghitung seberapa banyaknya aku memutar bola mataku dalam sehari.
Aku pikir kalau sekolah ini diserang apa peduliku? Toh, aku sudah mengetahuinya dan hanya kedua sepupuku Arreta dan Ale. Juga teman sekamarku, Irish, yang akan aku selamatkan. Tidak perlu mempersulit diri untuk menyelamatkan orang lain karena tidak ada manfaatnya bagiku. Ditambah aku tidak mengenal mereka sama sekali.
Kenapa juga dia harus peduli? Atau aku yang terlalu egois?
Membayangkan respon mereka setelah kami mengatakan kepada mereka mengenai penyerangan ini hanya membuatku muak. Kami sebagai anak tahun pertama akan di rendahkan seperti orang gila tetapi ketika mereka kesulitan mereka memohon untuk di selamatkan. Untuk apa menyelamatkan orang seperti itu? Menyusahkan saja. Orang-orang yang tidak mengindahkan peringatan tidak perlu di selamatkan.
Kalau kami memaksakan diri kami untuk mereka. Kami hanya akan di manfaatkan sedemikian rupa, tidakkah dia tau itu? Bagaimana kalau mereka yang menyerang memiliki suatu masalah atau mungkin bawahan seseorang sehingga kami akan di pancing ke sana dan di bunuh. Dilihat darimana pun ini hanya sebuah pengalihan dan orang-orang yang pertama menyadarinya seperti kami akan mati terlebih dahulu.
Permasalahan ini membuatku benar-benar lelah.
Aku ingin beristirahat sekarang tetapi sepertinya lengah sedikit saja aku bisa terbunuh.
Karena memikirkan permasalah ini. Rasanya aku ingin memuntahkan sarapanku yang tadi baru kuhabiskan.
Pada akhirnya tadi aku dapat menghabiskan sarapanku setelah menunggu dua orang tersebut bertengkar. Mungkin karena merasa bersalah Callister akhirnya menemaniku makan di tangga dan dia tidak makan sama sekali. Padahal aku sudah menyuruhnya memesan lagi kalau dia mau. Aku juga sudah berinisiatif untuk membelikannya tetapi dia menolak dengan alasan ingin berdiskusi sekarang. Bagaimana aku bisa menolak kalau dia sampai seperti ini.
Beberapa saat aku terjebak dalam pikiranku. Secara tak sadar akhirnya aku sudah sampai di perpustakaan. Callister yang emosinya sedang tidak stabil dengan sigap langsung duduk di salah satu kursi baca. Lalu membenamkan wajahnya di lipatan tangannya.
"Bukankah sudah aku bilang, Callis. Kalau mood-mu sedang buruk. Lebih baik kau melakukan hal yang lain daripada membuat dirimu banyak pikiran karena hal ini." Ucapku, menyilangkan tangan di depan dada.
"Lalu aku bisa melihat diriku yang terbunuh di aula bersama siswa lain, begitu?" Ucapnya tanpa menaikkan wajahnya dari lipatan tangannya. Membuatku memutar bola mataku sambil berdecih.
Yah, bisa kita simpulkan bahwa masalah ini lebih besar baginya karena menyangkut banyak orang. Mungkin hanya hatiku yang tidak terketuk sama sekali untuk menolong mereka karena mereka terlalu payah atau mereka yang tidak berguna.
Aku hanya dapat memijat pelipisku sendiri sambil menghembuskan napas berat saat melihat sebetapa keras dirinya berusaha untuk orang lain.
"Lalu apa yang akan kita diskusikan, sekarang? Kau tau bukan aku tidak tau apa-apa mengenai dunia ini. Prediksiku bisa aku perkirakan delapan puluh persen dapat terjadi tetapi aku tidak bisa hanya menerawang tidak jelas kalau aku tidak tau apa yang terjadi sebenarnya." Ucapku membuatnya akhirnya mengangkat wajahnya lalu menatapku dengan tatapan datarnya.
"Kenapa kau tidak mencari taunya terlebih dahulu? Kau ingin mati tanpa tau apapun begitu?" Ucapnya lalu menenggelamkan wajahnya lagi di lipatan tangannya.
"Cih... memangnya bagaimana mencarinya, Bodoh? Kau kira ini semudah membalikkan telapak tangan." Ucapku, memutar bola mataku lagi. Tentunya Callister lebih memilih diam daripada melanjutkan percakapan tidak berguna ini.
Karena kesal yang berlebihan sebuah ide bodoh muncul di kepalaku. Membuatku mendorong kepalanya kesamping dengan tangan kananku. Tangannya dengan sigap langsung menepis tanganku sebelum akhirnya dia menyerah karena aku tetap melakukannya lagi dan lagi.
"Athena!" Ucapnya merasa terganggu.
"Apa, Callis?" Ucapku dengan suara yang dibuat-buat.
"Ck, baiklah tunggu sebentar! Aku sedang mengumpulkan niat." Ucapnya menatapku sengit.
"Cih, mengumpulkan niat matamu. Kau yang menyeretku kesini malah kau yang bilang begitu. Harusnya aku yang bilang begitu, Gila." Ucapku mendorong kepalanya.
Tidak ada balasan balik, aku akhirnya duduk di sebelahnya sembari bersila di atas kursi yang sedang aku tempati.
"Cal." Panggilku.
"Hm." Balasnya.
"Kenapa kau sepeduli ini?" Tanyaku.
"Hm... entahlah." Ucapnya.
"Kau terlihat terlalu keras kepada dirimu sendiri." Gumamku sembari memerhatikannya.
"Tidak, aku hanya melakukan hal yang biasanya aku lakukan." Ucapnya, membuatku memutar mataku lagi.
"Hal yang biasanya kau lakukan? Maksudmu membiarkan dirimu sekarat hanya untuk menyelamatkan orang lain?" Ucapku heran.
"Kau lupa, ya? Teman-temanku di sini cukup banyak. Aku tidak bisa meninggalkan mereka sendirian di sini pada kondisi seperti ini." Ucapnya membuatku terlihat seperti orang tidak manusiawi.
"Memangnya mereka akan menolongmu kalau kau kesulitan?" Tanyaku.
"Entahlah, aku berteman tanpa meminta balasan apapun." Ucapnya.
Ucapannya barusan membuatku menyadari bahwa dia hanya melakukan apa yang seharusnya teman lakukan. Akhirnya aku menaruh telapak tanganku di puncak kepalanya lalu mengacak rambutnya pelan. Dia hanya diam menerimanya tanpa mengeluarkan reaksi apapun. Aku sudah melakukannya selama beberapa saat sampai menyadari bahwa dia sudah terbawa ke alam mimpi.
Aku dapat mengakui bahwa Callister merupakan teman yang baik dan aku cukup kagum dengan caranya berpikir.
Cara berpikirku agak tidak berhati tetapi aku hanya dapat mengantisipasi agar diriku tidak terjerumus ke dalam hal seperti itu.
Karena Callister yang sama sekali tidak bergerak atau bersuara. Aku mengintip dari sela-sela lipatan tangannya, "Cal, kau tidur ya?" Tanyaku, meski aku tau tidak akan mendapat balasan apapun.
Melihat kondisinya yang terlihat kelelahan. Aku tidak punya pilihan untuk menunggunya bangun. Aku beranjak bangun dari dudukku mencari buku yang sudah aku hafalkan judulnya untukku jadikan bahan referensi tidak langsung mengenai dunia ini.
Tentunya atas saran Gal, aku mana paham.
Tepat saat aku bersender di salah satu rak buku yang sedang aku singgahi. Rak buku ini terdorong oleh berat tubuhku membuatku terjerungkup ke dalam. Setelah aku menyadari bahwa rak tersebut adalah pintu ke suatu tempat yang begitu gelap tanpa adanya cahaya apapun di sana. Aku langsung berdiri sembari menahan pintu tersebut agar tidak tertutup.
Sayangnya, aku hanya dapat menahan pintu tersebut terbuka selama beberapa waktu. Sebelum akhirnya seluruh bagian pintu ini menutup segala akses keluar masuk tempat ini.
"Bisakah sekali saja, hidupku normal sedikit." Batinku menangis di dalam hati.
Aku benar-benar tidak bisa melihat apapun meski cahaya dari sela-sela rak buku terbuka. Serangan panik mulai menimbulkan efek bagi pikiranku, juga tubuhku. Keadaanku yang terjebak di sini sendirian bersama genangan air yang membasahi sepatuku hingga ke dalam kaus kaki. Hanya membuatku merasa tak nyaman.
Ular milikku mulai keluar dari balik jubahku. Selama ini aku menyuruhnya untuk bersembunyi di balik jubahku karena kami tidak diperbolehkan berpisah terlalu jauh. Alasan lainnya adalah aku tidak ingin menjadi pusat perhatian. Karena orang yang memiliki partner ular sangat sulit untuk ditemukan, begitulah kata Irish.
Dia mulai menaikkan kepalanya membiarkan puncak kepalanya mengenai pipiku, mencoba menenangkanku dengan caranya. Pupil matanya yang berbentuk elips memerhatikanku dengan seksama ditengah kegelapan yang sama sekali tidak mengusiknya. Karena aku yakin dia masih bisa melihatku di tengah kegelapan yang begitu membutakan ini.
Beberapa saat aku diam dan menahan rasa terkejutku. Tempat yang aku pijak bergetar membuatku menahan ketakutanku sendiri. Air yang tadinya tenang, mulai bergerak tak tentu arah membuat pijakanku seakan-akan diuji kekuatan dan keseimbangannya.
Tepat saat air di sekitarku mulai surut. Air dan cahaya di depanku perlahan-lahan menyatu dan membentuk siluet dengan warna cahaya keunguan yang terlihat redup. Aku membeku di tempatku, situasi ini tak pernah aku alami sebelumnya.
Saat air tersebut telah membentuk siluet sempurna seorang perempuan. Dengan tubuh yang di bentuk dari air yang mengeluarkan cahaya redup keunguan. Dia mendekatiku hingga aku dapat melihat seluruh wajahnya yang terlihat sempurna meski aliran air yang membentuk tubuhnya tetap bergerak.
"Kenapa kau bisa sampai ke sini?" Ucapnya dengan suara gema yang begitu memekakkan telinga.
"Aku tidak tau." Ucapku, merasakan kakiku yang mendingin dan keringat dingin yang melewati pelipisku di tengah suhu normal yang melingkupiku.
"Ah, sudah di mulai ya?" Ucapnya, membuat napasku terhenti.
"Apa maksudnya—
Sebelum pertanyaanku di jawab olehnya. Dia sudah lebih dahulu mendorongku menggunakan aliran air yang masih tersisa di tempat ini.
"Ingat. Kendalikan emosimu kalau kau ingin melihat dirimu yang sebenarnya." Ucapnya tersenyum kecil, sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
_____
"Athena bangun." Aku mendengar samar-samar suara seseorang di dekatku.
"Kalau kau tidak bangun juga. Aku akan membawamu ke ruang kesehatan." Ucap orang tersebut membuatku berpikir beberapa saat.
Setelah menyadari arti dibaliknya. Mataku terbuka begitu lebar mencari orang tersebut dan yang aku temukan adalah Callister dengan wajahnya yang terlihat lelah, begitu dekat dengan wajahku membuatku terdiam kaku.
"Wajahmu merah, apa kau sedang sakit?" Tanyanya, tetap mempertahankan posisinya tanpa berniat untuk menjauh. Tangannya yang bergerak menyentuh dahiku, membuatku dengan sigap memegang tangannya. Lalu mundur agar dia tidak melakukan itu terlalu lama.
"Dahimu tidak panas. Kau kenapa?" Ucapnya terlihat begitu lelah.
"Ah, aku tidak apa-apa. Bagaimana denganmu? Kau terlihat kelelahan." Ucapku mengalihkan pembicaraan.
Dia terdiam beberapa saat, mungkin menyadari kalau aku tidak ingin membahasnya.
"Ah... tadi ada tes bagian dua, kuis yang dilakukan dalam bentuk fisik kalau kau lupa. Aku tidak ingin mengganggumu hanya karena itu. Jadi aku meninggalkanmu sebentar dengan secarik note tetapi saat aku sampai kau ternyata masih tidur." Ucapnya, menyender ke salah satu bangku di sebelahku mengolah napasnya yang tidak beraturan.
"Bagaimana tesnya? Apakah kau melakukannya dengan lancar?" Tanyaku. kembali ke posisi bersila dia atas bangku.
"Rasanya seperti ingin mati." Ucapnya mengambil napas dalam memandangku lewat lirikan mata tidak mengubah posisinya sama sekali.
Berarti memang seberat itu tesnya. Untung saja aku tidak perlu ikut.
"Masih mau melanjutkan pembicaraan mengenai tadi malam?" Tanyaku, tidak yakin dengan kondisinya yang terlihat buruk.
"Tidak, jam makan siang akan dibunyikan sebentar lagi." Ucapnya terlihat berpikir.
"Jadi kau sudah tidak penasaran lagi?" Tanyaku, membuatnya menatapku tajam.
"Aku masih penasaran tetapi aku tidak ingin kau mati kelaparan." Ucapnya membuatku menaikkan alisku. Sebelum bunyi perutnya mulai menginterupsi pembicaraan kami hingga wajahnya mulai memerah.
Aku terkekeh lalu mendorong bahunya, "Kau tinggal bilang bahwa sebenarnya kau lapar. Tidak perlu menjadikanku sebagai alasan begitu." Ucapku menggunakan nada meledek kepadanya.
"Tidak, aku tidak lapar." Ucapnya, menatapku sinis.
Dia segera berdiri dari tempatnya membuatku mengekor di belakangnya.
"Siapa ya tadi? Orang yang menolak makanan yang aku berikan." Ucapku menekan jari telunjukku di lengan atasnya membuatnya berdesis.
"Siapa? Aku tidak ingat." Ucapnya, membuatku terkekeh.
Saat kami berdua sudah ingin meninggalkan perpustakan. Aku memikirkan suatu hal yang begitu mengganjal dipikiranku.
"Cal, kau mau berkumpul bersama teman-temanmu, ya?" Tanyaku, membuat dirinya berhenti di tempat dan mengalihkan perhatiannya kepadaku.
"Ya? Memangnya kenapa?" Ucapnya, menaikkan sebelah alis.
"Kalau begitu kita harus jalan terpisah." Ucapku, menyadari bahwa aku akan bertemu Ale hanya membuat perasaanku semakin buruk.
"Apa salah satu temanku mengganggumu?" Tanyanya terdengar khawatir.
"Tidak, aku hanya tidak suka jadi pusat perhatian." Ucapku tersenyum kecil lalu mendorong tubuhnya pelan membuatnya berjalan. Arah matanya yang terus menerus memerhatikanku membuatku merasa harus segera pergi.
Callister tau itu bukan hanya salah satu alasanku tetapi aku tidak bisa mempercayainya. Aku tidak ingin dia terkena konsekuensinya kalau terlihat dekat denganku. Jadi aku akan mencari tau semuanya sendiri untuk sementara waktu
Yah, semoga saja aku masih bisa bertahan meski melakukannya sendirian.
_____
Don't forget to vote and comment♥️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro