Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Piano

Athena memegang pedangnya dengan erat sembari menangkis beberapa gerakan brutal dari lawannya. Matanya menganalisis dengan baik gerakan lawannya, sedangkan teman-temannya melawan mereka dengan caranya sendiri. Langkahnya yang semakin mundur membuat beberapa orang disekitarnya khawatir. Sampai saat ini dia masih menangkis dengan baik, tidak melakukan perlawanan sama sekali.

Seperti yang biasanya dia lakukan. Dia mengawasi gerakan lawannya sebelum menyerang. Alasannya karena hal ini bukan kompetisi, yang dapat berakhir dengan kekalahan atau kemenangan yang dapat di perbaiki dari hari ke hari. Keadaannya saat ini dapat mengantarkannya kepada kematian.

Karena tidak ada yang tau, apakah pedang lawannya dilumuri oleh racun atau tidak.

"Kenapa, Nona? Tidak bisa bertarung?" ucap lawannya membuatnya berdecih pelan.

Secara jelas Athena bisa mengatakan bahwa dia sudah menguasai dengan sangat baik hal semacam ini karena kakeknya memang mengharuskan. Hanya saja agak aneh melihat sekolah ini di serang dalam waktu singkat dengan korban siswa tahun pertama. Mereka memang tampak ingin menyakiti mereka tetapi tidak sampai membunuh sama sekali. Terlihat seperti sebuah pengalihan terhadap sesuatu yang besar. Spekulasi di otaknya mulai terbentuk tetapi tidak berdasar membuatnya ragu.

Garis besarnya Athena juga tidak memiliki jalan tengah sama sekali terhadap apa yang terjadi hari ini.

"Kau tau, Nona? Kau tidak perlu mengorbankan dirimu seperti ini." bisik lawannya dengan senyuman aneh yang tidak hilang dari wajahnya.

"Karena kalian akan mati cepat atau lambat." ucap lawannya sambil tersenyum miring yang tertutupi oleh tudung jubah yang menutupi hampir keseluruhan wajahnya.

Tatapan Athena yang tadinya begitu datar berubah menjadi tatapan tajam yang begitu menusuk.

"Kenapa kau tidak menjawabku, Nona? Kau bisu?" ucap lawannya membuat Athena terkekeh.

"Aku tidak bicara dengan orang bodoh." ucap Athena, bersamaan dengan senyum tidak tertebaknya.

Lawannya yang merasa geram mulai kehilangan kendali. Sementara dirinya perlahan-lahan menyerang secara bertahap.

Gerakan yang setiap kali Athena lakukan sebelum menjatuhkan lawannya. Membuat kakeknya tersenyum saat melihatnya, meski selalu memiliki akhir yang tidak terprediksi.

Beberapa serangan yang hampir mengenai leher lawannya membuat Athena semakin berniat untuk melukai lawannya. Sayangnya kakeknya tidak memperbolehkannya untuk membunuh. Jadi Athena mengincar bagian tubuh yang lain, yang tidak menyebabkan kematian.

Hanya membuat lawannya tersiksa dan melemah.

Kesempatan yang semakin banyak ditunjukkan kepadanya. Saat itulah Athena tanpa main-main menusuk bagian paha atas lawannya, menarik pedang yang tertancap. Lalu menendang ulu hati lawannya.

Sosok berjubah lain yang mulai menyerangnya, membuatnya harus mengangkat pedangnya lagi. Hingga suara langkah kaki banyak orang mengalihkan perhatian hampir semua orang yang ada disana. Akhirnya salah satu dari lawannya membuka sebuah lingkaran hitam menggunakan sihir.

Sebagai orang yang tidak biasa melihatnya Athena hanya terdiam membisu.

Karena perhatiannya yang teralih. Athena baru sadar salah satu dari mereka melemparkan pisau ke arahnya yang untungnya masih bisa dia tangkis. Kali ini dia hanya beruntung, bahkan tadinya dia tidak yakin waktunya cukup untuk menangkis pisau yang kecepatannya tidak manusiawi itu.

"Athena?" Seseorang menanyakannya dari belakang sehingga Athena membalikkan badannya ke arahnya.

Ternyata Callister berada di hadapannya dengan tatapan yang lebih sayu daripada biasanya.

Tetapi beberapa saat kemudian tubuh Callister terjatuh tepat di dekapannya. Athena yang kebingungan sekaligus panik, bingung harus melakukan apa.

"Callister? Bangun." bisiknya dan tidak mendapat balasan apapun.

"Cal, jangan buat aku panik." ucapnya dengan suara yang terdengar ketakutan dan panik.

Dengan Callister yang masih berada di dekapannya. Kelompok Ale dengan beberapa guru dan senior mendatangi mereka dengan wajah terkejut. Terlebih pedang yang Athena gunakan sudah terlumuri dengan darah dan Callister pingsan di dekapannya membuat Ale menatapnya marah.

"Kau melukainya, Ath?" ucap Ale disertai penekanan membuat dirinya menaikkan sebelah alisnya.

"Bodoh, aku hampir mati melawan pemyusup itu dan kau masih bisa menuduhku!?" ucap Athena dengan nada tak kalah sengit.

"Lalu bagaimana dengan pedang itu? Siapa yang sudah kau bunuh, Ath?" tanya Ale masih dengan nada yang sama.

"Kau masih banyak bicara, Al? Apa tadi harusnya aku menusuk kau bukan penyusup itu?" ucap Athena dengan nada datar disertai nada intimindasi yang tidak main-main. Dia tidak pernah bermain-main dengan apa yang dikatakannya, bahkan jika itu membuat sepupunya sendiri jatuh tersungkur di hadapan semua orang.

Ale yang baru sadar apa yang dilakukannya hanya terdiam membisu lalu meminta maaf. Kelompoknya di belakang menatapnya dengan tatapan tidak bisa diartikan. Akhirnya mulai bergerak untuk membantunya untuk merebahkan Callister dengan dirinya sebagai tumpuan kepala Callister.

Guru dan beberapa senior akhirnya bergerak setelah sekian lama mereka melamun. Baru sepersekian detik Callister di baringkan, hidungnya mulai mengeluarkan darah. Membuat Athena secara spontan mengeluarkan kotak kecil yang berisi tisu dari kantung roknya. Kenapa dia menyempatkan diri membawa tisu di roknya? Karena tisu adalah barang primer baginya, jadi dia selalu membawanya kemana-mana.

Melihat Callister dengan darah yang mengotori pipi, dagu, dan bibirnya. Membuat Athena secara sigap membersihkan darah tersebut dan menutup hidungnya dengan gulungan tisu secara rapi dan tertata dengan baik. Lalu membersihkan wajahnya lagi sampai tidak meninggalkan bekas.

"Athena." ucap seorang wanita dengan paras yang begitu menawan, mematapnya dengan tatapan datar.

"Ada apa?" ucapnya membalas panggilan wanita itu, setengah terkejut karena dirinya terlalu fokus membersihkan wajah Callister.

"Kau tidak perlu mengikuti pemilihan kelas lagi." ucap wanita itu membuat hampir semua orang disana diam membisu.

"Aku tidak mengerti." ucap Athena, menatap lurus ke depan, membelakangi wanita itu.

"Kau sudah memiliki bakat dan keterampilan yang baik dalam bertarung satu lawan satu, bukan? Kau tidak perlu ikut tes. Kami sudah menyediakan kelas pertama untukmu." ucapnya dengan suara yang lembut tetapi terdengar menakutkan.

"Tapi aku tidak ingin kelas pertama." ucap Athena, membuat orang disekitarnya terkesiap.

Bahkan Ale membuka mulutnya lalu menatapnya dengan tatapan, "Kau serius?".

"Kalau begitu kamu masuk ke kelas kedua, tidak ada penolakan. Kalau kamu ingin masuk ke kelas lebih rendah lagi bakatmu sia-sia." ucapnya lalu meninggalkan Athena yang hanya mengigit bibir bawahnya dengan mata yang menunjukkan keterkejutan.

Saat tandu yang dibawa petugas kesehatan juga bantuan beberapa senior datang. Athena membantu mereka meletakkan tubuh Callister untuk dibawa ke ruang kesehatan dan diperiksa lebih lanjut. Meninggalkannya sendirian dengan pikirannya yang masih melayang-layang kepada perkataan yang diucapkan wanita itu juga penyusup tadi.

_____

Hari yang sangat indah selepas penyerangan tidak jelas yang dilakukan sekumpulan penyusup bodoh tadi.

Seharian aku menghabiskan waktu di dalam kamar hingga menunjukkan waktu sembilan malam. Bersama dengan Irish, kami mulai membicarakan hal tidak penting seperti Ale dengan kelompoknya atau senior yang menyatakan perasaannya dengan anak kelas satu yang berakhir dengan penolakan.

Sangat miris.

Aku turut berduka cita dengan senior tersebut.

Kami mengisi waktu dengan membicarakan hal yang kami sukai dan rumor-rumor tidak jelas yang sudah menyebar di sekolah. Juga dengan makanan yang kami order dengan harga yang lumayan karena jauh dari sini.

Soal Callister, aku tadinya sudah ingin menjenguknya tetapi idiot itu tidak memperbolehkanku.

"Athena, ayo tidur. Besok aku masih memiliki tes pemilihan kelas." ucap Irish segera merebahkan diri di atas kasur.

"Oke... Selamat malam, Irish." ucapku malam itu dengan memeluk guling.

Sampai aku sadar, aku tidak bisa tidur.

Saat aku lihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas lewat dan masih tidak bisa tertidur. Akhirnya aku putuskan untuk berjalan-jalan kecil di lorong. Aku agak terkejut mengetahui bahwa aku tidak bisa tidur. Biasanya jam-jam seperti ini aku sudah menguap dengan mata yang hampir menutup.

Aku tau aku gila berjalan keluar di jam selarut ini tetapi aku sering melakukan inj di mansion kakek.

Bahkan menyeludup keluar tengah malam terasa mudah.

Sedaritadi aku berjalan dengan pikiran kosong, entah mengapa kakiku membawaku ke depan pintu ruang musik. Ruangan yang dihindari para murid karena terdapat rumor bahwa ruangan ini terdapat penunggu. Tetapi suara alunan piano dari dalam ruang musik membuatku kebingungan.

Kenapa bunyi pianonya terdengar tidak asing di pendengaranku.

Aku tau lagu apa yang sedang di alunkan oleh piano ini, Trois Gymnopédies, oleh Satie. Tetapi teknik yang dimilikinya dalam memainkan lagu ini memiliki ciri khas sendiri, aku seperti pernah mendengar permainan ini sebelumnya. Tanganku menyentuh kenop pintu yang terasa dingin. Pikiranku diambang kebingungan dan juga penasaran.

Tetapi rasa takutku menang, tentu saja.

Akhirnya aku memutuskan untuk mendengarkannya dari balik pintu. Tiap tuts piano yang ditekan membuatku benar-benar terlarut dalam setiap alunannya. Nadanya, bahkan hembusan angin yang berhembus menyentuh kulitku sangat mendukung saat di senandungkan bersama alunan piano ini. Sampai tuts terakhir berbunyi. Aku memutuskan untuk menepuk tanganku tanpa suara sambil tersenyum.

Semuanya terlihat sepi dan sunyi. Sampai pintu itu terbuka dan menampilkan sesosok laki-laki dengan rambut brunette yang juga membelalakkan matanya ketika mata kami bertemu.

"Athena!?" ucapnya, membuatku berhenti bernapas setelah beberapa saat.

"Callister?" batinku karena aku tak sanggup berucap. Dia saat ini sedang berdiri dihadapanku dengan jarak yang terlalu dekat membuatku kesulitan bernapas.

Aku tadi hampir tidak sadarkan diri kalau yang muncul adalah hantu. Sudah lewat beberapa detik, Callister sama sekali tidak memundurkan langkahnya saat melihatku. Hal ini tidak baik untuk kesehatan jantungku.

Sampai akhirnya aku sadar bahwa ini lebih buruk dari hantu.

_____

Don't forget to eat and sleep well. Kalian adalah alasan aku masih nulis sampai sekarang. Aku bahkan nggak tau masih ada yang mau baca cerita nggak jelas kaya gini.

Jangan lupa vote and comment💕

Makasih banyak yaa, kalian masih sabar sama autornya yang lelet banget (╥﹏╥)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro