Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. New Neighbor

Aku melihat keluar jendela, menatap rumah besar kosong di sebelah rumah. Sekarang rumah itu sudah ditempati oleh satu keluarga yang cukup dipertanyakan kewarasannya karena menempati rumah tersebut. Kemungkinan tetangga baru kami akan menjadi tetangga aneh yang berteriak setiap malam atau memasang wajah ketakutan setiap pagi menjelang. Berita terakhir yang aku dengar mengenai rumah itu adalah penghuninya yang selalu pindah atau pergi sebelum satu bulan mereka tinggal disana. Mereka langsung pergi tanpa mengatakan apapun, meninggalkan rumah itu tanpa memedulikan kerugian yang akan mereka tanggung. 

Sejujurnya aku tidak heran kalau mereka langsung meninggalkan tempat itu tanpa peduli kerugiannya. Rata-rata orang yang membeli atau menyewanya pastilah orang berada. Apabila dilihat dari keuntungannya jelas terlihat betapa keuntungan yang mereka dapat apabila mereka dapat membeli dan bertahan hidup di dalamnya. Kalau tidak, jangan cari mati. Meski tidak tau apa yang salah, aku sudah lama hidup di sebelah rumah itu. Jadi, jelas aku akan mempertanyakan kewarasan tetangga baruku saat ini.

Mereka datang semalam, tetapi aku tidak membantu mereka sama sekali karena aku malas dan kelelahan dengan tugas sekolah yang menumpuk. Meski aku tahu saat ini sedang weekend, tetapi sekolah tidak akan membebaskan muridnya begitu saja. Akhirnya dengan segenap niat yang tersisa. Aku hanya mengintip dari sela-sela jendela, melihat ayah juga tetangga lain yang ikut membantu. Terkadang aku sering berpikir kalau ayah merupakan orang yang aneh karena mengikuti hal seperti ini. Dia suka merepotkan dirinya sendiri padahal dirinya sudah lelah dengan masalah pekerjaan dan masalah rumah. Lalu tersenyum ramah kepada semua orang dan mengeluarkan amarah kepada keluarganya di rumah karena muak dengan semua orang disekitarnya.

Memangnya hanya dia yang muak dengan semua orang? Aku juga muak kepadanya dan orang-orang, hanya saja aku akan dibunuh kalau menunjukkannya.

Sebenarnya tadi malam ayah memanggilku dengan suara yang begitu keras, tetapi karena tidak ada sahutan balik akhirnya dia menyerah. Lagipula kenapa mereka pindah saat tengah malam? Kenapa tidak pagi-pagi saja? Kalau aku membantu mereka insomniaku akan semakin menjadi-jadi. Jika bagiku tidak tidur sama sekali adalah hal yang wajar, bayangkan kalau aku membantu mereka. Tubuhku hanya akan berakhir remuk dan sakit parah. Lalu, aku tidak  akan bisa tidur sampai keesokan hari. Beberapa saat aku memikirkan insomniaku. Aku teringat sekelebat ingatan buruk yang biasa hadir setiap malam kembali menghantuiku. Ingatan yang berangsur-angsur berubah menjadi mimpi itu dan aku sering terjebak disana. 

Aku lebih baik melakukan hal lain agar trauma ini tidak memburuk.

Aku beranjak dari jendela menuju tempat tidurku dengan sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding. Menggambarkan seorang wanita abad ke-16 dengan wajah yang terlihat ramah tanpa senyuman, duduk di kursi kebesarannya sembari membawa secangkir teh ditangannya. Saat aku merebahkan diri, aku kembali memandang langit-langit kamar yang begitu polos dengan pandangan muram. Aku menghembuskan napas kasar menyadari bahwa aku tidak berniat melakukan apa-apa.

Tanganku meraih telepon genggam di atas laci di sebelah kasur. Aku kembali menatap notifikasi dari guru pribadiku yang semakin merajalela. Mereka tidak pernah berhenti mengirimkan beberapa kompetisi memuakkan yang harus dipersiapkan dengan matang setiap minggunya. Untuk apa aku mengikuti perlombaan ini kalau aku tidak akan memakainya? Kakek membiayai sponsor untuk beasiswa bagi orang-orang yang lulus tes. Ayah dan ibu jelas tidak tertarik apabila kompetisinya tidak berbau akademik. Keluargaku? Tidak ada yang peduli. Masa depanku? Mereka yang memilih. Kalau aku tidak ingin, aku selalu punya cadangan dan planning mengenai apa hal yang akan aku lakukan.

Kenapa semua tanggung jawab jatuh kepadaku? Entahlah,  mungkin kalau bukan karena bajingan itu aku tidak perlu menerima semua ini. 

Setidaknya sisi positifnya, kakek sudah menjanjikanku untuk meneruskan perusahaannya. Kalau tidak aku benar-benar pergi dari sini. Untuk apa bertahan di rumah yang hampir setiap saat kosong? Lebih baik aku menempati apartemenku di tengah kota sendirian. Aku mampu membelinya dengan uang tabunganku dan aku akan pulang setiap weekend untuk makan malam. Itu merupakan gagasan yang lebih baik daripada hal ini.

"Athena! Tolong berikan ini kepada tetangga yang baru datang!" teriak ayah dari lantai bawah.

Waktu yang sangat tidak tepat untuk membangunkan monster malas seperti aku.

"Ya, Ayah! Tunggu sebentar!" ucapku menghirup napas dalam, mengumpulkan niat untuk bangun. Sebelum teriakan itu menginterupsi lagi.

"Kau kalau sudah bilang sebentar tidak dilakukan. Cepatlah, Athena!" teriakannya yang semakin keras membuatku memutar bola mataku.

Akhirnya seperti biasa aku beranjak dan melakukannya sembari menggerutu.

Dengan segera aku mengambil jaket hitam dan turun ke bawah. Ayah dan ibu menatap aneh ke arahku. Kenapa lagi? Memakai boxer, baju kebesaran yang agak kusut, dan tambahan jaket adalah sesuatu yang normal, bukan? Lagipula semuanya berwarna hitam.

"Kau seperti gelandangan, Athena. Sana ganti bajumu!" kritik Ibu sembari memandangku seperti serangga yang baru keluar dari tempat sampah.

Aku yang tidak memiliki semangat hidup, menghela napas berat. "Hanya di samping rumah untuk apa memakai pakaian yang menyusahkan kalau ada yang nyaman," ucapku sembari menatap mereka aneh.

"Merepotkan saja! Padahal hanya di samping rumah!" batinku.

"Cepat ganti bajumu!" ucap Ibu dengan suara tegasnya.

"Aku akan keluar sekarang atau tidak sama sekali."

"Terserahlah, berikan ini. Lalu, setidaknya kau berkenalan dengan anak-anak mereka. Salah satunya seumuranmu," ucap Ibu.

Aku mengeryitkan dahi,"Siapa yang punya niat berkenalan? Kenapa juga aku harus berkenalan?" batinku menjerit di dalam pikirkanku. Aku benar-benar tidak memiliki tenaga untuk berinteraksi.

Setelah keluar dari rumah aku hanya melihat jalan besar di depan rumah yang begitu kosong. Lingkungan rumah yang sangat mengangumkan. Aku benar-benar terlihat seperti tinggal di pemakaman yang berisi rumah besar dengan penghuni yang hampir tidak bersuara sama sekali atau lebih parahnya mereka memiliki ruangan yang kedap suara yang dipertanyakan kegunaannya. Aku bahkan tidak yakin apa suaraku bisa terdengar hingga kawasan rumah di sebelahku. Bahkan anak-anak yang biasanya bermain hanya tiga atau empat orang dengan jangka waktu kurang lebih dua jam dan ditambah lagi mereka bukan anak dari perumahan ini. Lalu mereka akan kembali lagi ke rumah masing-masing pada pukul lima sore. Sekarang tentunya mereka tidak bermain di luar dikarenakan cuaca yang begitu mendung.

Dimana anak-anak dari perumahan ini? Sebagian besar hanya anak rumahan yang seharian menetap dirumah seperti aku atau anak-anak yang aktif bersosialisasi sehingga mereka sering pergi keluar. Seperti pergi mengikuti les khususnya, berkunjung ke rumah temannya atau lebih buruknya clubbing. Aku jadi ingat, dua hari yang lalu terdapat party di salah satu rumah yang terbilang cukup dekat dari rumahku. Mereka mengundangku dan aku langsung menolaknya karena lingkungan tersebut tidak cocok untuk orang yang benci kebisingan. Lalu, beberapa jam setelah party itu diadakan polisi datang kesana menangkap beberapa remaja yang kau tau, agak berbahaya karena berkelahi ketika mabuk. 

Jadi, kalian bisa bayangkan seberantakan apa orang-orang yang ada disekitarku dan aku beruntung karena masih memiliki akal untuk berpikir. Lingkungan yang terlihat selaras dengan pemakaman di ujung kota yang bukan hanya ditempati oleh orang mati, tetapi juga remaja gila yang aku pertanyakan kewarasannya. Aku tidak ingin bilang kalau aku juga sangat waras, tetapi kau tau maksudku, bukan?

Dengan menenteng tas yang ibu berikan. Aku berjalan ke arah rumah mereka sambil menggerutu kesal. Lingkungan rumah kami di isi oleh rumah-rumah besar. Jadi, aku harus mengeluarkan effort lebih karena jaraknya lumayan jauh. Besok aku akan menyuruh Samuel saja kalau ada hal seperti ini. Menyusahkan saja. Rumah yang ditempati oleh tetangga baru ini terbilang rumah yang paling besar dan juga yang paling tua. Jadi jarak antara pintu rumahku ke pintu tetanggaku membuatku muak dan kesal karena terasa begitu jauh.

Saat ini aku sudah berada di depan rumah tetanggaku dan hal yang paling menyebalkan adalah menunggu. Aku sudah memencet bel rumah tersebut lima kali, tetapi tidak ada yang membuka pagar tersebut. Akhirnya aku memutuskan untuk menggeser pagarnya dan masuk ke dalamnya. Memang tidak sopan, hanya saja kaki dan pita suaraku sudah pegal menunggu sepuluh menit sembari berteriak permisi. Tidak ada salahnya menerobos masuk terlebih dulu.

"Setidaknya, aku melakukannya dengan sopan. Meski tidak sepenuhnya sopan," batinku.

"Permisi!" ucapku dengan suara yang lumayan keras.

Aku mengetuk pintu sembari menunggu beberapa saat. Akhirnya, pintu rumah tersebut terbuka. Menampilkan anak laki-laki seumuranku dengan warna rambut brunette. Aura yang melingkupinya terasa begitu dingin. Saat dia membuka pintu lebih lebar dan menatap lurus kearahku. Aku menyadari bukan hanya auranya yang begitu dingin, tetapi suhu ruangan di dalamnya sangat dingin. Bahkan suhu rumahnya lebih dingin daripada suhu di luar. Kenapa mereka tidak menyalakan penghangat ruangan? Apa mereka tidak akan terkena hipotermia kalau berlama-lama tinggal di sini? Aku benar-benar seperti orang bodoh saat memikirkannya karena dingin yang tidak wajar ini.

Terserah mereka sajalah, selama bukan aku yang terkena hipotermia. Aku tidak perlu mengurusi urusan orang lain.

"Ada keperluan apa kau sampai masuk ke dalam sini?" ucap laki-laki di depanku.

"Ini dari orang tuaku," ucapku lalu melanjutkan. "Aku tidak tau apa isinya sih, makanan mungkin? Intinya selamat menikmati!" Menerbitkan senyum setengah ikhlas karena aku lelah menunggu sepuluh menit lalu menemui orang sejenis ini.

Caranya memandang terlihat sangat menusuk, memangnya aku melakukan apa padanya? Apa jangan-jangan karena aku masuk begitu saja ke rumahnya? Aku harus berpikir lebih positif. Mungkin memang postur wajah alaminya memang begitu? Namun bisakah dia mengubah ekspresi wajahnya sedikit. Aku yang sudah tidak niat untuk mengantarkan, menjadi tidak nyaman.

Ditambah lagi disuruh berkenalan? Sungguh big no.

"Intinya berpura-puralah Athena," ucapku kepada diriku sendiri.

Sudah beberapa detik aku berdiri dan dia tidak mengajakku berbicara ataupun mencoba berkenalan. Akhirnya, aku memutuskan membalikkan tubuhku sembari berjalan lurus menuju pintu keluar.

Sampai suaranya menginterupsi langkahku. "Athena ... kau Athena bukan?" panggilannya membuat langkahku berhenti. Aku yang sudah setengah jalan keluar dari rumahnya berbalik, menaikkan sebelah alisku.

"Ayahku mengatakan sesuatu, ya?" kataku, menatap miris kearahnya. Jangan bilang ayah cerita mengenai aku. Tidak masalah sejujurnya, tetapi dia hanya mengingat hal buruk yang aku lakukan. Jadi itu akan sangat memalukan dan miris.

"Tidak, ayahmu hanya bilang kalau dia punya satu anak perempuan dan satu anak laki-laki," ucapnya dengan wajah dan cara bicara yang begitu datar.

Aku tau kita sama-sama tidak niat berkenalan, tetapi bukankah ini berlebihan? Menahanku saat aku ingin merebahkan diri di kasurku. Dia tidak perlu bersikap formal kepadaku. Aku hanya ingin pergi dari sini.

"Lalu dari mana kau tau namaku?" Mataku menatapnya waspada. Bisa saja dia stalker aneh atau lebih parahnya pembunuh bayaran. Hidupku tidak pernah normal sejak awal, kemungkinan seburuk apapun dapat terjadi.

Tidak ada jawaban.

Dia ternyata menyebalkan, ya? Kalau aku sudah berteman lama dengannya, sedari tadi aku sudah mencekiknya atau melemparkan kepalanya dengan susu kotak. Agar otaknya kembali berjalan lancar.

"Aku hanya ingin memberikan ini kepadamu." Dia menyerahkan selembar surat kepadaku.

"Sebuah surat? Mengapa dia memberiku sebuah surat?" batinku, memandangnya dengan tatapan aneh.

"Surat yang tersesat ke rumahmu?" Aku bertanya lagi. Seingatku teman penaku sedang banyak tugas jadi tidak mungkin dia mengirimkan surat lagi. Lagipula sekarang ada telepon seluler untuk apa mengirimkan surat? Mungkin teman penaku mengirimkan sebuah print official karakter fiksi yang sedang aku idolakan.

"Coba tebak." 

Laki-laki itu segera berbalik dan menutup pintu rumahnya. Aku hanya memandang pintu rumahnya sembari menaikkan sebelah alis, lalu memandang surat di tanganku secara bergantian. Aku mengerutkan dahiku menatap pintu rumahnya dengan tatapan aneh. Seperti biasa orang aneh lagi, bedanya yang satu ini seperti tembok kamarku yang rasanya ingin aku injak sampai menghilang dari dunia.

"Buang atau tidak, ya?" batinku.

Saat aku membalik suratnya tertera sebuah nama 'Callister'. Tertulis dengan kaligrafi yang begitu indah dengan tinta yang masih basah. Ngomong-ngomong ini namanya atau dia ingin aku mengantarkannya ke orang yang bernama Callister? Siapa orang di perumahan ini yang bernama Callister?

Apabila hal ini merupakan sebuah perkenalan. Jujur saja ini adalah adalah perkenalan paling aneh yang pernah aku ketahui. Kalau dia ingin mengantarkan surat ini melalui aku. Dia meminta tolong kepada orang yang salah. Aku saja tidak tau nama tetangga di sebelah rumahku. Bagaimana dengan orang yang bernama Callister? Akhirnya, aku hanya mengangkat bahu dan berjalan keluar dari rumahnya. Menutup pagarnya kembali lalu menghembuskan napas berat.

Aku tidak tau ada orang yang lebih aneh daripada aku.

Memangnya ada orang yang ingin berkenalan dengan sikap seperti itu? Setelah berpikir beberapa saat. Aku takut untuk mengetahui isi di dalamnya. Pikiran buruk mengenainya mulai menghantuiku. Pada akhirnya aku tidak begitu peduli dan mulai menerka apa isinya. Hanya secarik kertaskan? Cuma surat biasa. Tidak akan ada suatu hal aneh di dalamnya, bukan?

Lagipula memangnya kertas bisa membunuhku? Tentunya tidak mungkin.

Sangat tidak mungkin.

_____

hope you all enjoy it
.
.
.
don't forget to vote and comment.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro