Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2.2 Perjalanan

"Kau dapat menyerap Anathema, secara tidak langsung menyembuhkan mereka. Tapi konsekuensinya, kau harus menanggung kutukan itu di dalam tubuhmu. Sementara aku dapat memakannya. Tapi tidak bisa kalau masih berwujud Anathema atau merasuki manusia." Azazel menjelaskan. "Intinya, ketika kutukan itu telah berubah menjadi gumpalan energi di dalam tubuhmu, maka aku dapat menyerap dan memakannya."

"Jadi aku tidak perlu takut hilang kendali lagi?"

"Benar. Tapi kau harus tetap pada batasnya. Karena ketika aku menyerap energi kutukan itu, rasanya akan sangat menyakitkan, Mara. Tubuhmu tidak akan kuat jika terlalu sering merasakannya."

"Syukurlah. Syukurlah."

Azazel membantu Mara berdiri dan mereka melanjutkan perjalanan, membelah hutan pinus untuk mencapai Desa Annamoe. Matahari sudah terbenam kala mereka masih di tengah rimbunnya pepohonan, membuat penglihatan menjadi begitu terbatas.

"Kita beristirahat di saja hingga matahari terbit!" ujar Azazel, menghentikan langkah.

Mara hanya mengangguk mengerti. Ia melirik sekitar, gelap dan sunyi, sesuatu yang tidak asing untuknya.

"Kemarilah!"

Seruan Azazel menyentak lamunannya. Entah sudah berapa lama ia berdiri terpaku menatap ke kejauhan, sebab ketika tersadar, sebuah api unggun sudah menyala tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tidak ada percakapan malam itu. Mereka hanya duduk terdiam di depan kobaran api, menghangatkan diri sekaligus tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Kau kedinginan." Azazel duduk di sampingnya, memperhatikan tangan Mara yang bergetar.

Mara ikut melirik tangannya sendiri, lalu mengepalkannya. Ia saja tak sadar jika sedang kedinginan. Tubuhnya tersentak saat Azazel menggenggam kedua tangannya dan menggosok-gosokkannya hingga menimbulkan hawa hangat yang nyaman.

"Tidak mengantuk?" tanya Azazel.

Sedikit mengangguk, Mara berucap, "Sedikit."

"Berbaringlah, aku akan berjaga." Azazel berkata seraya mengubah posisi duduknya. Ia menekuk satu kaki dan mengisyaratkan untuk Mara berbantal pada pahanya.

Tanpa ragu, Mara menuruti. Ia memang sudah sangat lelah. Tak butuh berapa menit hingga akhirnya terlelap. Entah bagaimana, ia merasa begitu nyenyak, tidak dingin atau gelisah. Rasanya seperti tertidur bersama sang Ibu.

Saat matahari akhirnya menampakkan diri, mereka melanjutkan perjalanan menembus hutan dan berhenti di sebuah rumah kayu yang besar. Halamannya luas, tidak berpagar, tak pula terawat. Daun kering bertebaran, serta rumputnya tinggi tak beraturan.

"Mungkin kita dapat beristirahat di sini," ujar Azazel. Tangannya mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada sahutan. Ia mencoba mendorongnya dan tidak terkunci.

Derit nyaring terdengar dari engsel berkarat. Di dalam sangat pengap, seperti sudah lama tidak ditinggali. Ruangan luas itu hanya diisi satu perapian dan sebuah sofa merah tua yang sudah robek di beberapa bagian, busanya juga ada yang mencuat keluar. Di bagian kanan ada pintu lain, tapi mereka memilih menaiki tangga kayu menuju lantai dua terlebih dahulu, bunyi derit ketika diinjak memberi kekhawatiran kalau bisa saja salah satu anak tangganya jebol.

"Hati-hati melangkah!" seru Azazel.

Di lantai atas terdapat sebuah kamar yang tergembok. Mara menuju koridor sebelah kiri dan membuka jendela satu-satunya di sana. Udara segar akhirnya masuk, seakan membersihkan pernapasan yang dipenuhi debu. Cahaya masuk dan menyorot ke dalam, memberi penerangan lebih.

Derak keras terdengar, Azazel berhasil membuka pintu kamar dan memasukinya. Mara ikut di belakang, di dalam sana ada sebuah kamar yang menjadi satu-satunya tempat layak huni. Bersih dari debu, lengkap dengan ranjang, meja, dan lemari.

Mara membuka lebar jendela di dekat meja kayu kecil, membuat ruangan itu lebih terang. Dari sana mereka dapat melihat jalan setapak menuju pemukiman. Akan tetapi, ada satu pemandangan yang membuat Mara terpaku. Di ujung sana, di atas pemukiman itu ada gerombolan monster hitam yang melayang, berputar seperti mengepung sesuatu.

"Aneh, apa yang mereka lakukan di sana?" tanya Azazel. Ia sudah berdiri di belakang Mara, ikut mengintip ke luar jendela. "Kau beristirahatlah di sini, aku akan memeriksanya."

"Aku ikut!" Mara bergegas turun, mengikuti Azazel. Baru saja sampai di tengah tangga, pintu utama terbuka. Seorang wanita masuk. Sebuah keranjang anyaman terikat di punggungnya.

"Apa yang kalian lakukan di rumahku?" hardik wanita itu. Keranjang berisi sayuran diturunkan dengan kasar. Ia mengeluarkan sebuah sabit dari dalamnya, menodong mereka berdua. "Tidak ada yang layak dicuri di sini. Pergilah!"

"Kami bisa menjelaskannya." Azazel mengangkat kedua tangan seraya menuruni tangga. "Saat datang, pintunya tidak terkunci dan keadaan rumah seperti tidak berpenghuni. Jadi kami pikir dapat bermalam di sini."

Wanita itu mengamatinya dari atas sampai bawah, memastikan tidak ada senjata tajam yang disembunyikan. Tidak lama ia menurunkan sabit dan berkata, "Ah, ini memang kebiasaan burukku. Jarang mengunci pintu saat ke ladang." Ia mengangkat keranjangnya lagi tapi Azazel lebih dulu meraihnya.

"Biar saya bantu. Sebagai permintaan maaf."

Wanita kurus berambut pirang itu mengangguk dan mengisyaratkan agar mengikutinya ke satu-satunya pintu di ruangan itu--dapur. "Apa yang kalian cari di desa ini?" tanyanya seraya menyusun sayur dan kentang ke tempat penyimpanan.

"Kami ... sedang mencari seseorang." Bohong Azazel. Mengatakan yang sebenarnya pun tidak ada gunanya. Tak akan ada yang percaya jika mereka bisa melihat wujud asli Anathema dan sedang berburu untuk memusnahkan kutukan itu. "Maaf atas kelancangan kami."

"Tak apa, aku mengerti."

"Terima kasih, Nyonya ...."

"Oh, panggil saja Elga!" bibir tipis pucatnya mengulas senyum. Dua gelas terhidang di atas meja, ia mempersilakan mereka duduk. "Maaf jika hanya ada ini, kalian mau?" Ia menawarkan sebotol minuman non-alkohol dari olahan sari apel. "Buatanku."

"Magner!" Mara langsung meraihnya. Dulu beberapa kali Leon membawakan minuman itu, apalagi ketika musim panas terlalu menyengat. Rasanya yang manis dan menyegarkan benar-benar menjadi penyelamat.

"Jika kalian tidak keberatan tidur di bawah, menginaplah!" ucap Elga. Ia tersenyum saat melihat Mara menandaskan satu gelas penuh minum itu.

"Anda sungguh mengizinkan kami menginap?"

"Tentu. Kalian pasti lelah setelah melakukan perjalanan panjang menembus hutan."

*****


Elga turun dari lantai atas, membawa dua buah selimut tebal. "Pakailah!" Ia memberikannya pada Mara yang sedang duduk di atas sofa dekat perapian. "Malam biasanya lebih dingin, hidupkanlah perapiannya!"

"Terima kasih banyak, Elga." Azazel tersenyum lembut, ekspresi andalannya sejak memulai perjalanan panjang. "Kami berutang budi."

Wanita 40 tahunan itu tertawa renyah, mengibaskan tangan sambil berkata, "Jangan berlebihan!" Kemudian ia kembali ke atas, meninggalkan Mara dan Azazel yang duduk dalam diam.

Di luar sana sudah gelap sejak beberapa jam yang lalu. Mara yang mengantuk duduk meringkuk di sofa, matanya sesekali terpejam tapi tiba-tiba terbuka, tersentak--jelas menahan kantuk.

Azazel berdiri dan mengelus rambutnya sekilas. "Tidurlah di sofa, biar aku di bawah!" ujarnya. Ia menyalakan kayu bakar di perapian. Memberikan cahaya serta kehangatan dalam ruangan luas yang kosong itu.

Mara merebahkan tubuh, menghadap ke Azazel yang duduk membelakanginya. Hanya butuh waktu beberapa detik baginya untuk benar-benar terlelap. Rasa lelah karena berjalan seharian menjadi penyebab terbesar. Selama ini Mara hanya di dalam ruangan kecil tanpa bisa ke mana-mana atau melakukan apa pun. Satu-satunya hal yang melelahkan hanya setelah membantu menyembuhkan Anathema.

Tengah malam, Mara terbangun karena suara geraman. Ia menoleh dan mendapati Azazel--yang entah ikut terbangun atau memang belum tidur--sedang duduk bersandar di kaki sofa tempat Mara berbaring. Mereka saling berpandangan ketika geraman itu kembali terdengar.

Gebrakan dari lantai atas membuat mereka terlonjak, sontak Azazel berdiri diikuti Mara, mereka mengecek ke atas dan terkejut saat berpapasan dengan Elga yang berdiri di atas tangga sambil membawa lentera kecil, memberi pencahayaan remang.

"Maaf, aku membangunkan kalian. Hanya ingin ke kamar kecil," ucap Elga cepat.

Azazel mengangguk mengerti. Ia melirik pintu kamar Elga yang tergembok. Padahal hanya ke kamar mandi, tapi mengunci serapat itu. Namun, ia menyimpan keanehan itu untuk dirinya sendiri dan kembali turun.

"Lanjutkanlah tidurmu. Aku akan berjaga!" kata Azazel setelah mereka kembali ke depan perapian.

"Kau tidak tidur?"

"Tidak. Aku sudah terlalu lama tidur hingga rasanya lelah untuk terpejam."

Mara tidak mengerti apa yang pemuda itu maksud, tapi kantuk mengalahkan rasa penasarannya. Alhasil ia kembali terlelap. Suara geraman juga lenyap, meninggalkan bunyi jangkrik yang nyaring di luar sana.

Paginya, aroma lezat dan suara perut yang bergemuruh membangunkan tidur nyenyak Mara. Ia tidak menemukan siapa pun, hingga langkah membawanya ke arah dapur dan menemukan Elga sedang memasak di atas tungku. Entah apa yang dibuat tapi wanginya menggiurkan.

"Ke mana Azazel?" tanya Mara, mencicit.

Elga menoleh sebentar dan menjawab, "Katanya ingin ke desa untuk melihat-lihat. Duduklah, aku sedang menyiapkan sarapan!"

Mara menggigit bibir, tangannya meremas gaun. "Aku akan menyusulnya."

"Dia bilang, kau tunggu di sini saja. Dia akan kembali."

Tidak enak menolak dan tak tahu alasan apa yang bisa digunakan, Mara akhirnya duduk. Perutnya memang lapar tapi ada rasa tidak nyaman saat hanya berdua dengan Elga. Ketidak-hadiran Azazel membuatnya merasa sendiri.

"Apakah kalian pasangan kekasih?" Pertanyaan Elga yang tiba-tiba mengagetkan Mara, gadis itu lantas menoleh dan gelagapan untuk beberapa saat.

"Bu-bukan."

"Saudara?"

Mara menggeleng.

"Teman?"

Kali ini Mara benar-benar terdiam. Ia juga tidak tahu hubungan mereka. Saat mengajaknya pergi bersama, Azazel hanya berkata kalau mereka memiliki masalah yang sama dan punya satu penyelesaian yang serupa. Ia juga bilang membutuhkan kekuatan Mara untuk menyelesaikan tugas 'penebusannya'.

"Aku membutuhkanmu." Itulah yang Azazel katakan ketika Mara bertanya mengapa mengajaknya. Sebuah kalimat sederhana yang mampu meluluhkannya.

"Kenapa diam?" Elga tersenyum menggoda. Ia menaruh sepiring Boxty--pancake yang terbuat dari kentang yang diparut halus--di hadapan Mara. "Jika bukan kekasih, saudara, atau teman. Lalu apa? Masih ragu dengan perasaan sendiri? Padahal kalian terlihat serasi." Elga terkekeh melihat raut kebingungan Mara.

Serasi? Mara tidak tahu apa maksud kata itu, tapi kalau ditanya siapa temannya, mungkin dia bisa menjawab dengan cepat, 'Leon.' Namun, kalau Azazel ....

*****

Elga baru saja pergi ke ladang, meninggalkan Mara sendirian duduk di teras kayu, menanti kepulangan Azazel. Perasaannya tidak nyaman saat melihat ke langit, monster hitam beterbangan hilir mudik. Sesekali berputar di atas atap rumah, lalu pergi. Begitu sejak satu jam yang lalu.

"Apa kalian muncul karena aku?" tanya Mara pada udara hampa. Tidak ada jawaban, tentu saja. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Monster hitam itu tidak pernah mencoba merasukinya, pun Mara tak bisa melakukan apa-apa pada mereka. Hanya dapat melihat dan merasakan kecemasan tentang 'siapa lagi korban kali ini'.

Suara langkah mengalihkan perhatiannya. Azazel telah kembali, dia sedang berjalan mendekat dengan penampilan yang ... lusuh dan berkeringat. Mara berlari menyambutnya dan langsung bertanya, "Apa yang terjadi di sana?"

Azazel menggeleng pelan. "Tidak ada Anathema, hanya saja banyak Shadow yang mengitari desa. Ini aneh."

"Shadow?"

"Ah, aku lupa menjelaskannya. Aku menyebut monster hitam itu sebagai Shadow."

Mara mengangguk mengerti. Sejenak terdiam, lantas teringat sesuatu. "Kau benar. Di sini juga banyak. Mereka suka berputar-putar di atas atap rumah!" seru Mara seraya menunjuk dua Shadow yang melayang ke arah mereka--tepatnya ke arah rumah Elga.

"Mereka Seperti mencari atau menunggu sesuatu." Azazel menengadah untuk melihat ke arah tunjuk Mara. "Aku sudah berkeliling hutan untuk mencari 'Inti Anathema' tapi tidak menemukannya. Warga desa juga berkata bahwa sudah beberapa bulan ini tak ada yang dirasuki."

"Apa Monster--maksudku Shadow di sini tidak berminat pada manusia?" tanya Mara.

"Mana mungkin. Mereka itu makhluk yang tercipta dari kutukan iblis yang dulunya menguasai neraka."

Mara mengangguk mengerti. Selama ini dia juga merasa begitu. Setiap kali ada Shadow, pasti akan ada korban yang berjatuhan. Mereka tidak pandang bulu, memakan dan merasuki siapa pun yang ada.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro