Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2.1 Kau, Aku, dan Kutukan

Pagi di musim panas hari itu begitu cerah, seharusnya dapat menjadi pengawal hari yang menyenangkan. Namun, tidak bagi Desa Glendalough. Tidak ada yang tersisa selain puing dan jalanan kosong penuh darah.

Di bagian tertinggi Glendalough, Azazel dan Mara berdiri di depan dua kuburan yang tanahnya masih baru. Ada setangkai bunga lily putih tersandar pada batu nisan yang seadanya-hanya batu biasa sebesar tiga kepalan tangan-di masing-masing makam. Mereka baru saja selesai mengadakan upacara pemakaman sederhana untuk Margareth dan Leon.

Mara tidak lagi menangis, seperti janjinya pada sang ibu untuk tidak menunjukkan kesedihan itu. Ini adalah perpisahan. Ia telah menerima ajakan Azazel untuk membantu melenyapkan seluruh monster hitam pemicu Anathema. Maka setelah berpamitan, ia mengikuti langkah Azazel untuk menyelesaikan tugas pertama mereka di Desa Lembah Dua Danau, Glendalough.

Mereka kembali ke tempat 'Inti Anathema' yang berhasil dihancurkan Azazel sebelumnya. Di atas pohon besar itu terdapat sebuah retakan dimensi yang hanya dapat dilihat oleh mereka berdua. Ada aura hitam disertai semburan api dari celah kecil itu.

Setelah semua monster hitam dimusnahkan, butuh banyak waktu bagi sebuah retakan untuk membentuk kembali kutukannya. Azazel bersyukur, keputusannya membantu Mara lebih dulu bukan kesalahan.

"Dengan menutupnya, Anathema akan lenyap dari desa ini," jelas Azazel.

"Bagaimana caranya?" Mara menoleh, menuntut penjelasan lebih.

"Hanya aku yang dapat melakukannya."

Tidak mengatakan apa pun lagi, Azazel menyentuh pohon besar itu. Energi berwarna merah mengalir dari telapak tangannya, masuk ke dalam pohon dan naik menuju puncak. Di atas sana energi terkumpul dan menjalar ke sela retakan. Aura hitam berhenti menguar, celah kecil menuju neraka perlahan menutup dan tidak berselang lama akhirnya lenyap. Azazel menarik napas dalam, mengeluarkannya perlahan. Mencoba menstabilkan energi yang terkuras sangat banyak.

"Selesai," gumam Azazel. Peluh berbulir di pelipisnya, sisa energi yang ia dapat dari memakan kutukan di tubuh Mara langsung lenyap tak bersisa.

Matahari sudah di atas kepala kala mereka kembali ke desa. Semua orang telah mati, habis termakan Anathema. Menjadikan tempat yang kemarin begitu ramai, kini sepi. Suara dedaunan yang bergesekan karena angin berembus menjadi terdengar jelas saking tak adanya suara lain.

Mereka berdua terus berjalan, melewati biara dan katedral yang kondisinya tidak jauh berbeda. Terus turun hingga sampai di padang rumput yang membentang luas. Ini pertama kali Mara pergi jauh. Seharusnya ia bahagia, tapi kepedihan yang tertinggal menghalangi senyumannya.

"Kemarilah!" ajak Azazel, tangannya terulur dan disambut tanpa ragu oleh Mara. Mereka jalan bergandengan, menuju danau di depan sana.

Kedamaian saat itu seakan menghapus jejak tragedi yang telah terjadi. Bahkan ketika Mara berbalik ke belakang untuk melihat kenangan yang tertinggal, tidak ada yang tertangkap inderanya. Hanya pemandangan indah; rumput hijau, langit biru dengan awan berarak, serta burung yang terbang melintas di atas mereka. Satu-satunya yang menjadi penanda bahwa di belakang sana ada tempat yang ia tinggali adalah puncak menara katedral yang terlihat dari kejauhan serta tebing tinggi tempat ibunya dan Leon dimakamkan.

"Dunia ini sudah terlalu mengerikan karena ancaman Anathema. Maka kita sebagai manusia, jangan menjadi ancaman lain bagi sesama!" Kalimat terakhir ibunya terngiang. Mara mengangkat dan menatap kedua telapak tangannya. Tiba-tiba ia jadi berpikir, mungkin saja dirinya bukanlah pertolongan tapi ancaman lain. Sosok yang ikut andil memusnahkan manusia. Jangan-jangan dia memang bentuk lain sebuah kutukan.

"Tidak apa, Mara. Jika kau merasa begitu berdosa, maka akan kutemani menebusnya hingga perasaan menyiksa itu lenyap," kata Azazel dengan nada yang sangat lembut, mengalun indah di samping Mara. "Dan ketika saat itu tiba, kita akan kembali ke sini dengan sebuah senyuman."

Mara menoleh, agak mendongak untuk melihat pancaran dari mata biru Azazel. Tidak ada harapan berbinar dari warna serupa langit musim panas itu, tapi kelembutan yang memerangkap membuat hatinya menghangat. Menurutnya, mungkin tak apa jika mereka memilih bersama.

"Kemari!" Azazel meraih tangan Mara dan menarik sang gadis untuk memasuki air danau.

Mara berjengit ketika sensasi dingin menyentuh kakinya. Mereka terus maju hingga air sudah sepaha. Azazel berbalik, merentangkan tangan, lalu menjatuhkan diri ke belakang.

Mara refleks menjangkau tapi malah ikut tertarik dan mereka terbenam. Ketika air melahap tubuhnya, kesadaran itu datang sepenuhnya.

Azazel berdiri tanpa melepas pegangan pada Mara. Mata biru itu terpaku pada gadis yang menatap kosong di sampingnya. Tidak lama, isakan terdengar dan Mara menangis. Ia merengkuh, membiarkan sang gadis menangis dalam dekapannya.

"Aku membunuh mereka semua. Ini salahku!" isak Mara di sela tangisnya.

"Tidak, Mara. Semua di luar kendalimu."

"Tapi gara-gara aku yang tidak dapat mengendalikan kutukan ini, mereka mati!" Mara meremas kemeja basah Azazel, membuat satu kancingnya tanggal dan tenggelam. "Mereka benar, aku tidak jauh berbeda dengan Anathema, sebuah kutukan."

"Tidak. Kau bukan kutukan!"

"Aku yang membuat monster hitam itu menyerang desa. Aku-" ucapan Mara terpotong kala Azazel menutup bibirnya menggunakan tangan dan ber-hus beberapa kali.

"Kau bukan kutukan, tapi pertolongan. Kau satu-satunya manusia yang dapat menyembuhkan Anathema. Benar-benar harapan di tengah keputusasaan." Azazel mengusap punggung Mara untuk menenangkannya. "Jika kau yang seperti ini disebut kutukan, berarti aku disebutnya melapetaka." Ia tertawa getir.

Setelah seharian menjelajahi Glendalough, mereka memulai perjalanan. Melewati gerbang desa, mengikuti jalan setapak hingga tiba di persimpangan. Azazel tetap menjadi penuntun, mengambil jalur ke Utara melewati papan kayu bertuliskan Annamoe. Tidak jauh berjalan, terdapat jembatan kayu yang di bawahnya mengalir sungai berbatu.

Mara menghabiskan beberapa menit untuk berhenti di tengah jembatan. "Az, apa kutukan ini benar-benar dapat dihentikan?" tanyanya, tanpa mengalihkan perhatian dari sungai di bawah sana.

"Tentu saja," jawab Azazel cepat. "Ada delapan retakan yang tersebar. Aku sudah menutup tiga di antaranya termasuk yang ada di Glendalough. Sisa lima lagi maka semua akan berakhir."

"Apa dengan begitu rasa yang menyesakkan ini dapat hilang?" Mara menoleh pada Azazel, membuat mata mereka bersirobok sebab pemuda itu tidak pernah melepas pandangan darinya.

"Aku tidak bisa menjanjikannya. Sejujurnya, ini adalah caraku untuk menebus rasa bersalah seumur hidup. Sesuatu yang tidak tahu dapat kutebus dengan cara apa." Sudut bibirnya terangkat. "Kita ... sama-sama tidak punya pilihan lain, bukan?"

"Kau benar. Tidak ada pilihan lain," gumam Mara. Senyuman yang beberapa hari lalu selalu terpancar, kini sudah tidak ada. Meskipun terlihat menyedihkan, tapi Azazel tidak akan pernah protes atau menyesalkannya. Sebab menurutnya, lebih baik menangis ketimbang tersenyum meski hati merasa sakit.

"Sekarang katakan padaku, sebenarnya kau itu apa?" tanya Mara kemudian.

"Cepat atau lambat kau akan mengerti. Tentang siapa atau apa aku."

*****

"Lihat!" Mara menunjuk ke arah lapangan rumput berpagar kayu di tepi jalan setapak yang mereka lalui. "Banyak sekali." Dia berbelok, memasuki lapangan hijau untuk mendekati segerombolan domba.

Azazel setia mengikuti Mara. Dia senang gadis itu jadi lebih bersemangat dari sebelumnya. "Jangan lari, nanti dombanya takut dan kabur!" tegurnya saat Mara mulai berlari.

Gadis bergaun kuning-labu itu benar-benar berhenti berlari tapi langkahnya jadi lebih cepat. Rambut merahnya yang tergerai bergerak kiri-kanan. Gerombolan domba menyadari kehadirannya dan menatap terpaku. Gadis itu membungkuk untuk mengelus salah satu dari domba yang berhasil digapainya. Karena gerakan tiba-tiba itu mereka lari menjauh.

"Hei, apa yang kalian lakukan pada dombaku?" sorak seseorang dari kejauhan. Ia berlari tergopoh menuju Mara dan Azazel. "Mau mencuri dombaku, hah?"

"Maaf, kami hanya ingin melihat-lihat." Azazel maju dan menenangkan lelaki bertopi seperti koboi itu.

"Kalian bukan orang sini, kan."

"Benar, kami datang dari-" ucapan Azazel terhenti ketika monster hitam melayang mendekat dari arah hutan pinus. Dengan cepat ia menarik lelaki tua itu agar menghindar tapi gagal.

Lelaki itu berdiri menunduk. Bahunya bergetar, ketika mengangkat wajah, mulutnya menganga dengan taring mencuat serta air liur menetes seperti anjing. Ia menerjang Azazel tapi tidak berhasil. Matanya yang melotot dan berurat merah menatap Mara, mengincarnya.

Mara mundur, wajahnya memucat. Ia memang terbiasa dengan Anathema, tapi kali ini berbeda. Sebelum mereka meninggalkan Glendalough, Azazel sudah mengatakannya, 'setiap kali kau menyembuhkan Anathema, kutukan itu berpindah ke dalam tubuhmu dan jika sudah penuh maka akan meluap dan mengundang monster hitam lebih banyak.' Mara tidak mau kehilangan kendali seperti hari itu. Sebab setiap kali terjadi, nyawa orang kesayangannya menjadi korban. Dulu ayahnya, lalu ibu dan juga Leon. Mara tidak mau berakhir sendirian seumur hidup.

Azazel menghela napas, cahaya merah berpendar di telapak tangan kanannya. Pedang merah muncul dan ia segera lari menebas Anathema yang sudah bersiap untuk menerkam Mara. Kepala itu putus. Darahnya memercik ke wajah Mara yang putih-pucat.

"Kenapa tidak menyembuhkannya?" tanya Azazel tanpa niat menuntut. Pedangnya sudah menghilang sedari tadi. Ia mendekati Mara yang terduduk lemas di depan mayat Anathema.

Mara menggeleng, lalu menengadah untuk menatap pemuda tinggi di hadapannya. Mata hijaunya bergetar, menyiratkan ketakutan tanpa perlu mengatakan apa pun.

"Kau takut hilang kendali seperti waktu itu?"

Mara mengangguk.

Azazel tersenyum dan berlutut. Ia mengeluarkan sebuah sapu tangan putih dan mengusap darah yang menodai wajah Mara. "Tidak perlu takut. Aku akan mencegah hal itu terjadi!"

"Ca-caranya?"

"Kau tidak ingat kejadian malam itu?" tanya Azazel. Mara menggeleng dan ia melanjutkan ucapannya, "aku menyerap dan memakan kutukan yang ada di dalam tubuhmu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro