Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1.3 Ledakan

Anathema adalah jelmaan dari kutukan iblis. Tidak sepenuhnya salah, tapi juga tak semuanya benar. Pada dasarnya kutukan itu bukan membentuk sosok monster melainkan menciptakan sebuah retakan menuju neraka. Energi dari neraka itulah yang akhirnya memperkuat kutukan dan membentuk sosok mengerikan pemakan jiwa manusia.

Retakan itu tidak hanya terjadi di satu wilayah tapi tersebar ke penjuru negeri, menyebabkan sebuah wabah misterius. Sedangkan 'Inti Anathema' merupakan pertanda adanya retakan di wilayah itu.

"Jika aku menghancurkan ini, maka retakan itu akan kelihatan!" gumam Azazel di depan 'Inti Anathema'. Memang terdengar mudah, tapi membunuh Anathema jauh lebih sulit. Mereka adalah makhluk yang dapat beregenerasi. Satu-satunya cara menghentikannya adalah dengan menebasnya hingga terbelah sempurna, lalu memakannya.

Benar! Memakannya.

Telapak tangan kanan Azazel mengeluarkan cahaya merah, kemudian muncul sebilah pedang dari dalam  tangan itu. Anathema yang semula pasif, bereaksi menjadi agresif. Mereka memekik, menerjang, berusaha mencengkeram Azazel tapi dapat dihalau dengan mudah.

Harus dalam sekali serangan, Azazel menebas satu dari puluhan monster hitam itu hingga terbelah dua, lalu mencengkeramnya. Mata kirinya berubah warna menjadi kuning, tangan yang memegang bagian tubuh atas Anathema mengeluarkan cahaya merah dan mengubah makhluk itu menjadi bola kristal berwarna hitam. Tidak menunggu lama, Azazel menelan kristalnya dan bagian lain dari Anathema itu lenyap. Ia melakukan hal yang sama pada yang lain. Tebas, lalu telan!

Namun, Anathema yang masih tersisa, tiba-tiba berhenti—mematung—seperti sedang mendengarkan sesuatu. Lalu menoleh ke arah desa dan terbang meninggalkan Azazel yang sudah memasang kuda-kuda.

"Mereka ... mau ke mana?" Ini pertama kalinya ia melihat Anathema meninggalkan target yang sudah di depan mata. Seolah mereka sedang dipanggil sesuatu.

Namun, bukankah ini menjadi lebih mudah. 'Inti Anathema' dapat dihancurkan selagi penghuninya pergi. Ia langsung bersiap menancapkan pedang ke sarang itu, tapi terhenti sejenak saat mencium aroma darah yang begitu pekat dari arah lain hutan.

"Apa lagi ini?"

Tanpa keraguan, ia menusuk 'Inti Anathema' dengan pedang, cahaya merah muncul dari tangan dan menjalar ke pedang itu. Cahayanya berubah menjadi api dan membakar sarang hitam itu. Ia mencabut pedangnya dan membuat jarak.

Ini adalah kekuatan Azazel, ia dapat memunculkan api neraka yang panasnya berkali lipat. Tatapannya bergetar melihat api itu melahap semuanya, ada rasa takut yang terbesit. Dulu, ia tidak bisa mengendalikan api itu hingga membakar semuanya dan menyisakan penyesalan.

Beruntung Azazel bertemu seorang penyihir bermata sewarna emas, dia membantunya mengendalikan kekuatan dan juga ... memberi kesempatan untuk menebus dosa.

*****

Setelah melakukan penyembuhan sebelumnya, Mara merasakan sakit yang teramat pada kedua kakinya. Rona hitam itu semakin besar tapi tidak ada orang lain yang dapat melihatnya. Sehingga, Mara tidak tahu bagaimana cara untuk meminta pertolongan.

Gadis itu hanya dapat diam, tertidur di pangkuan sang ibu. Setidaknya ada kenyamanan dari setiap belaian lembut itu. Ini adalah saat yang sangat jarang ia rasakan. Sebab penduduk desa tidak membiarkan siapa pun berada satu ruangan dengannya. Takut jika Mara hilang kendali di saat yang tidak tentu. Padahal, lima tahun telah berlalu sejak terakhir ia seperti itu.

"Ma, sampai kapan semua ini berakhir?" gumam Mara, matanya masih terpejam—menikmati usapan di rambutnya.

Alis Margareth menurun, ia menggigit bibir, menahan air yang menggenang di pelupuk mata. Menelan ludah sekali, ia berucap lembut, "Ana, apa pun yang terjadi saat ini kamu harus tetap kuat. Karma baik akan mendatangi mereka yang berbuat baik."

"Tapi kenapa harus aku?"

"Karena kamu diberkahi kekuatan untuk melawan mereka."

Gadis manis itu diam. Ia masih ingin protes tapi sebagian dari dirinya ikut membenarkan. Matanya terbuka dan terkejut saat melihat setetes air mata mengalir di pipi sang ibu.

"Mama kenapa bersedih. Aku baik-baik saja, Ma!" Gadis itu segera bangkit untuk duduk.

Margareth menggeleng seraya mengusap air mata dengan tangannya, lalu tersenyum. "Tidak, mama tidak bersedih. Sungguh."

Dulu, Margareth berkata bahwa ia hanya akan bersedih jika Mara sedih. Sejak saat itu Mara berjanji tidak akan pernah menunjukkan kepiluan sedikit pun. Ia tidak suka melihat orang yang paling disayanginya itu meneteskan air mata, dan mungkin saja tekad itulah yang membuatnya bertahan hingga hari ini.

"Margareth, kau di dalam?" Suara seseorang mengalihkan perhatian mereka.

"Sepertinya Mama harus pergi. Ana baik-baik, ya!" Ia mengelus pipi Mara dan memeluknya. Sangat erat seperti tidak ingin melepaskan, tapi panggilan dari luar memaksanya untuk segera berdiri dan keluar.

Pada akhirnya Mara kembali sendiri di ruang gelap yang hanya ada satu tempat tidur keras. Ia tidak dapat mengintip ke luar karena kaki yang masih sakit. Tatapannya berubah kosong, senyuman pun lenyap seperti tidak pernah merekah sebelumnya.

"Ana?" Leon mengunjunginya lagi hari ini, tidak lama setelah ibunya pergi.

Pemuda itu baru saja berlari sekuat tenaga ke tempat Mara, raut panik terlihat jelas di wajahnya, ditambah napas yang tidak teratur. Jujur ia tidak sanggup mengatakannya, tapi Mara berhak tahu. Namun, ketika mereka sudah bertemu, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Rasa bersalah dan ketidak-bergunaan membuatnya bungkam.

Beberapa waktu lalu, ketika mereka memutuskan untuk melakukan penumbalan, Leon sudah berusaha mencegahnya, tapi tidak ada yang dapat menentang kemauan seluruh penduduk desa. Mereka semua setuju. Mereka dengan senang hati menjadikan Margareth, satu-satunya keluarga yang Mara miliki sebagai tumbal.

"Ada apa?" tanya gadis itu.

Leon melirik ke bawah, begitu gelisah. Bibirnya bergetar, tapi tetap bungkam.

"Leon?"

Tidak ada waktu. "Ana ...."

"Ya?"

"Mereka akan menjadikan mamamu sebagai tumbal!"

Mara terpaku, sekujur tubuhnya mendingin. Harapan kalau Leon akan tertawa dan berkata, 'Aku bercanda.' Langsung melintas, tapi tidak. Sahabatnya itu tidak bercanda. "Ti-tidak!"

"Aku akan mengeluarkanmu!"

"Kenapa ... bukankah aku bersedia membantu kalian. Tapi kenapa ...."

Pintu terbuka lebar tapi Mara masih bergeming. Tangannya bergetar, pun wajahnya berkeringat dingin. Ia ingin melangkah tapi kedua kakinya yang sudah menghitam langsung berdenyut.

"Ana, kau sakit?"

"Leon ... kenapa mama?"

Leon mengusap kasar wajahnya. Tidak ada waktu untuk menjelaskan, tapi Mara harus tahu semuanya. Ia berlutut dan menaikkan Mara ke punggungnya, membawa gadis itu lari menuju tempat persembahan. Di hutan yang arahnya berlawanan dengan tempat ia meninggalkan Azazel sebelumnya.

"Mereka pikir, jika kali ini Margareth yang ditumbalkan, maka efeknya  akan lebih lama. Karena dia adalah mamamu," jelas Leon di perjalanan.

"Tapi mama tidak ada hubungannya dengan kemampuanku!" Mara meremas erat kemeja Leon. Ini tidak benar. Ia merasa tidak adil. Dari sekian banyak orang, kenapa harus dia yang selalu berkorban untuk desa.

Ketika mereka sampai, Mara memaksa turun dan merangkak menuju bibir jurang di depan sana, tempat ibunya dan seorang wanita lain yang bersiap untuk didorong ke bawah. Sedangkan monster hitam berkerumun. Sangat banyak seolah menanti makan malam.

"JANGAN. MAMA!" teriak Mara. Monster hitam itu ikutan mengeluarkan suara nyaring seperti jeritan.

"Ana," lirih Margareth. Matanya tertutup sehingga, tidak dapat melihat wajah anaknya untuk terakhir kali, tapi bukan ini yang membuat air matanya tak terbendung. Melainkan penyesalan mengapa Mara harus melihat akhirnya yang seperti ini.

"Pengorbanan kalian tidak akan pernah terlupakan!" ujar pemimpin ritual—lelaki tua yang mengenakan pakaian serba putih.

"Hentikan. Bukankah Ana telah menolong desa ini selama bertahun-tahun?" bentak Leon. Ia mencoba menerobos tetapi dua pria menahannya, memaksanya berlutut dan diam.

Sedang dua orang pria yang masih muda, maju untuk menggiring kedua tumbal agar semakin dekat ke bibir jurang. Saat sang pemimpin memberi isyarat, mereka mendorongnya.

Mara menjerit, bersamaan dengan Anathema yang beterbangan ke segala arah, lalu menukik tajam mengikuti arah jatuhnya tumbal. Warga desa yang hadir hari itu tidak melihat apa pun. Mereka hanya diam dan mundur, menyatukan tangan di depan dada—berdoa entah pada siapa.

Setelah bertahun-tahun Mara menahan segalanya, akhirnya air mata itu jatuh dengan rasa yang menyakitkan. Begitu kental seolah darahlah yang tengah mengalir dari sudut matanya.

Leon berlari menuju bibir jurang, mengintip ke bawah. Ia langsung berteriak, "PERGI!"

Semua orang berhenti berdoa dan melihatnya. Pemuda itu melambai, mengisyaratkan untuk menjauh dari jurang. Bersamaan dengan itu di belakangnya muncul tangan berurat hitam yang menggapai, mencoba naik.

"Ana!" Leon segera lari menghampiri Mara, hendak menggendongnya tapi ditepis kasar. "Kita harus pergi dari sini!" serunya, panik.

Teriakan terdengar. Di bibir jurang, Margareth telah naik dan berdiri dengan wujud yang sangat mengerikan. Sekujur tubuhnya terdapat urat hitam menonjol. Giginya dipenuhi taring runcing dan kukunya memanjang.

"Ma-ma?" Bibir Mara bergetar saat memanggil. Pandangannya buram karena air mata, tapi kali ini ia mencoba menahannya. Sang ibu tidak boleh melihatnya menangis.

"Kenapa seperti ini?" gumam Leon, agaknya panik dengan keadaan yang tak terduga. Tidak seperti proses penumbalan sebelumnya, biasanya korban tidak akan pernah bangkit menjadi Anathema dan naik ke atas. Harusnya semua selesai setelah mereka dilempar ke jurang.

Mara berusaha berdiri dan Leon membantu—memapahnya. "Mama?"

Makhluk itu melihat ke arah mereka—pada Mara yang menggapai dan berusaha mendekat walau bersusah payah. Ia langsung menerjang untuk mencengkeram dengan kuku tajamnya. Untung saja Leon sigap menarik gadis itu untuk menghindar. Akan tetapi gerakan Anathema sangat cepat.

Ketika mereka masih terduduk setelah menghindar, serangan kedua datang. Leon menahan gigitannya menggunakan ranting kayu yang ia raih tak jauh dari tempat mereka berada. Sementara Mara hanya duduk diam di hadapan ibunya yang telah berubah. Tatapan lembut itu menghilang.

"Ana, ini tidak akan bertahan lama!"

Tangan gadis itu terulur, mengelus pipi sang ibu. "Tak apa, Ma. Aku pasti akan menyembuhkan Mama!"

Mara menutup mata, tangannya menyerap aura hitam yang sangat pekat dari tubuh sang ibu. Rasa nyeri di kakinya semakin parah, bahkan kali ini terasa menjalar naik hingga ke perut. Lama ia melakukannya tapi penyembuhan belum juga usai. Sedangkan Margareth yang telah menjadi Anathema masih agresif, ingin menggigitnya.

"Penggal saja!" teriak seseorang.

"Jangan sentuh!" Leon menatap sangar pada mereka yang bersiap dengan sebilah pedang. Meskipun tangannya sudah mulai kebas menahan kekuatan Anathema, ia tidak boleh menyerah. Mara sedang berusaha menyelamatkan ibunya, maka Leon harus membantu.

Lima menit berlalu, akhirnya Mara jatuh terlentang. Sekujur tubuhnya telah menghitam hingga ke leher, tapi tidak ada yang dapat melihatnya. Sementara sang ibu yang berhasil kembali seperti semula juga ikut terjatuh.

"A-na?" Margareth yang terbaring di samping Mara, menggenggam tangan anaknya itu.

Mara tidak sanggup membalas genggaman sang ibu. Sudut matanya melirik ke samping untuk menatapnya seraya tersenyum. "Mama, syukurlah. Syukurlah!"

"Ana, terima kasih," lirih Margareth. "Dan ma-maafkan mama karena tidak bisa melindungimu."

Mara menggeleng, air matanya kembali menetes. "Padahal aku selalu menuruti kemauan mereka. Tapi Mama malah dicelakai seperti ini. Seharusnya kita tinggalkan saja desa ini dari dulu!"

"Jangan-" Margareth bersusah payah menarik napas. Suaranya juga semakin pelan--tak bertenaga. "Jangan berpikir seperti itu, Nak! Dunia ini ... sudah terlalu mengerikan karena ancaman Anathema. Maka kita sebagai manusia, jangan menjadi ancaman lain bagi sesama!" Usai mengatakannya, tatapan Margareth berubah kosong dan ia tidak lagi bergerak.

"Mama?" Mara memanggil dengan suara serak, tapi tidak ada sahutan, bahkan genggaman di tangannya telah melonggar. "Mama?"

Denyut nyeri menggerogoti tubuh Mara. Ia mengerang kesakitan, menjerit sebisanya. Bukan hanya untuk mengungkapkan rasa sakit di raga, tapi juga dari jiwa. Ibunya telah meninggal dan Mara tahu itu, tapi ia tidak mau mengakuinya. Kenapa ia malah gagal menyelamatkan ibunya sendiri? Apakah ini adil untuk semua pertolongan yang diberikannya pada warga desa?

"Ana!"

Panggilan dari suara Leon perlahan memudar, Mara tidak dapat mendengar apa pun. Semua samar lalu lenyap. Matanya juga hanya dapat melihat satu pemandangan, banyaknya monster hitam yang beterbangan di atas mereka hingga menutup cahaya oranye langit sore.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro