Bab 1.1 Lembah Dua Danau
Matahari begitu menyengat kala kakinya memasuki gerbang Desa Glendalough. Ia telah melakukan perjalanan jauh—melewati berkilo meter jarak untuk mencapai desa yang terletak di kaki Gunung Wicklow itu. Akan tetapi tidak ada lelah yang tersirat dari wajahnya yang elok.
Kedatangannya mengundang tatapan panjang dari warga yang berpapasan. Melewati jalan setapak menuju pemukiman, akhirnya ia berhenti di depan katedral yang menjadi bangunan paling megah di tempat itu.
"Oh, aku baru pertama kali melihatmu. Kau pendatang?" sapa seorang lelaki tua yang baru saja keluar dari biara yang berada di bagian Timur katedral.
Pemuda tinggi berpakaian serba hitam itu berbalik untuk menghadap si lelaki tua. Bibirnya yang penuh, mengulas senyum ramah. Dia bernama Azazel. "Benar. Saya Az, datang dari desa lain di balik gunung."
"Apa ada yang kau cari di desa kecil ini, Nak?"
"Saya dalam perjalanan panjang, Frater. Hanya menumpang beristirahat beberapa hari di tempat ini."
"Begitu, ya. Pasti sangat melelahkan. Apa kau punya tempat untuk menginap malam ini?"
"Tidak, Frater. Makanya saya ke sini untuk meminta pertolongan."
Lelaki tua berpakaian biara berwarna hitam itu tersenyum ramah. Ia mengisyaratkan Azazel untuk mengikutinya, memasuki katedral yang terbuka. Di dalam sana terdapat deretan kursi panjang menghadap meja khusus di bagian paling depan.
Azazel berdiri di ambang pintu, tatapannya lurus ke arah lambang salib yang terpaku di dinding, di ujung ruangan. Beberapa saat ia terdiam, memantapkan hati, lalu melangkah masuk. Suara langkah dari sepatunya menggema di ruangan besar nan megah itu, hingga berhenti tepat di deretan kursi paling depan.
"Tunggulah di sini, saya harus mengabari Pastor terlebih dahulu!" Setelah mengatakannya, lelaki itu memasuki ruangan sebelah kiri dan meninggalkan Azazel sendirian.
Tatapannya masih tertuju pada salib di depan sana. Lalu senyum tipis terukir di bibirnya. Mata yang semula berwarna biru cerah, berubah kuning terang di sebelah kiri. Menampilkan iris heterochromia.
"Maaf jika makhluk seperti saya menginjakkan kaki di rumah-Mu yang suci ini," lirihnya.
"Nak, Az. Maaf lama!"
Dia menoleh, kedua irisnya telah kembali seperti semula—biru. "Tidak apa, Frater."
"Mari ikut, kau bisa tinggal di rumahku yang dulu. Hanya gubuk kecil, tapi masih layak huni."
"Itu lebih dari cukup. Terima kasih, Frater."
Mereka meninggalkan biara, melewati jalan setapak yang kiri-kanannya dipenuhi hamparan rumput. Hanya perlu sepuluh menit berjalan, terlihat sebuah gubuk dari batu beratap jerami. Ada satu pohon tua yang sudah mati serta rumput dan daun kering bertebaran di halamannya. Memperjelas kalau sudah lama tempat itu kosong.
"Jika kau butuh sesuatu, datang saja ke biara!" ujar lelaki itu sebelum beranjak pergi. "Kalau ingin berbelanja, kau dapat lurus saja ke sana!" tunjuknya pada jalan setapak yang lain. "di sanalah pusat pemukiman."
"Baik. Sekali lagi terima kasih, Frater. Saya sungguh tertolong."
Azazel berdiri di depan pintu, menatap kepergian biarawan tua. pandangannya beralih ke langit berawan, begitu indah dan cerah. Angin yang berembus menerbangkan anak rambutnya yang hitam, memberi rasa geli di bagian pelipisnya.
"Desa yang indah dan tenang. Akan sangat disayangkan jika tempat ini terkena kutukan!" lirihnya.
*****
"Ana, kau tak apa?"
Suara berat seorang pemuda berambut cokelat menyadarkannya. Kepala yang semula terkulai di antara jeruji di depan pintu terangkat sempurna. Gadis bernama Mara itu tersenyum, begitu manis. Akan tetapi, tidak mampu menghilangkan kekhawatiran dari wajah sang pemuda. Ia menghela napas dan memberikan sekantong roti soda.
"Kesukaanmu!"
Mara tersenyum lebih lebar. Ia mengeluarkan rotinya dan berbinar kala melihat ada selai kacang di atasnya. "Leon paling tahu kesukaanku!"
"Habiskanlah, aku akan menemanimu makan!" Leon menyandarkan tubuh berlapis kemeja abu-abunya ke dinding batu tempat Ana terkurung. Tangannya terlipat di depan dada, menatap lurus ke bawah, seolah tanah di sana begitu menarik untuk diamati.
"Kau mau?" Gadis itu menyodorkan sepotong roti dari sela jeruji.
"Kau makan saja. Aku bisa memakannya kapan pun aku mau!"
"Benar juga."
Tawa dari suara indah sang gadis membuat perih di hati Leon. Sebab ia tahu, ada begitu banyak duka di balik semua itu. Sebuah luka yang tidak terlihat karena disembunyikan ruangan kosong dan gelap.
"Kau tidak belajar hari ini?" tanya sang gadis di sela kunyahannya.
"Sedang istirahat." Ia berdiri tegap dan mendekati pintu. Melihat Mara yang sedang melahap potongan roti terakhir, lalu meneguk sebotol air minum hingga tandas.
"Ana, tunggulah sebentar lagi. Aku pasti akan mengeluarkanmu dari sini!"
"Ya, aku akan sabar menunggu."
"Setelah keluar dari sini, maukah kau menikah denganku?" Leon tertegun dengan perkataannya sendiri. Entah apa yang merasukinya, kalimat yang selama ini hanya tersimpan di dalam hati, meluncur begitu saja.
"Menikah?"
"Ah, lu-lupakan."
Semilir angin menerbangkan helai merah Mara ke belakang, memperlihatkan dengan jelas wajah putih dengan bercak merah di pipinya. Matanya yang hijau agak menyipit, menghindari debu yang masuk terbawa angin.
Leon terpana untuk beberapa saat, Mara adalah gadis tercantik yang pernah ia lihat selama ini.
"ADA ANATHEMA!" teriak seseorang dari kejauhan.
Tidak lama, tiga orang pria mendatangi rumah—atau lebih tepat disebut penjara itu—untuk mencari Mara. Di belakang mereka, seorang wanita paruh baya berambut merah bersanggul, mengikuti tergopoh-gopoh.
"Biar aku! Biar aku yang mengeluarkan Ana!" sentaknya pada tiga pria paruh baya yang siap membuka gembok.
"Mama?"
Wanita itu langsung memeluk Mara begitu pintu terbuka. Ia mengusap lembut rambutnya dan berucap pelan, "Ana, maafkan, Mama. Tapi ...."
"Aku tahu, Ma. Tidak apa."
"Mara, cepat keluar!" seru salah seorang pria yang menanti di depan pintu.
Leon yang sudah paham keadaannya, ikut membantu mengawal Mara keluar. Matanya mendelik tajam pada pria tadi. "Namanya Ana, bukan Mara!"
Ya. Namanya Anatashia—anak yang dikaruniai Tuhan—tetapi orang-orang memanggilnya Mara, dewi kehancuran.
"Sudah cepatlah. Kita harus segera menyelamatkannya!"
Mereka berbondong menuju rumah yang tidak jauh dari tempat Mara dikurung. Tepatnya di bagian terluar pemukiman warga. Seorang gadis remaja 12 tahun sedang meronta dari ikatan kuat di tubuh kurusnya.
"Anakku! Tolong anakku!" raung seorang wanita paruh baya tak jauh dari sana.
Gadis itu meronta semakin kuat, membuat tiga orang pria dewasa yang memegangi tali jadi kewalahan. Matanya melotot, memperlihatkan urat merah. Sementara mulutnya terbuka, mengeluarkan liur seperti anjing yang siap menerkam mangsa.
Mara melepas pegangan ibunya dan Leon, lalu berjalan perlahan ke arah sang gadis. Mata hijaunya melihat aura hitam seperti asap dari tubuh kecil itu. Sebuah pemandangan yang hanya ia yang dapat melihatnya.
Gaun putih lusuh miliknya berkibar diterpa angin. Kaki tanpa alas pun seolah tak merasakan apa-apa ketika menginjak lantai batu yang pastinya sangat panas siang itu. Tangannya terulur di atas kepala gadis kecil yang melotot ke arahnya, meronta hendak mencabik Mara saat itu juga.
Kepulan asap hitam yang membelenggu gadis itu terserap ke tangan Mara. Terus masuk sampai tandas. Orang-orang yang berada di sana hanya tahu kalau Mara sedang menggunakan sihirnya untuk mengobati, tetapi jika mereka dapat melihat, ada urat-urat hitam yang menjalar dari tangan hingga, ke kakinya.
"Menjauh!"
Sebuah tarikan membuat Mara terhuyung ke belakang. Leon dengan sigap menjangkaunya, menahan agar tidak terjatuh. Ia hendak protes tapi pemuda yang sudah berdiri di depan mereka, bersiap mengayunkan kapak di tangannya.
"JANGAN!" jerit wanita yang sedari tadi meraung—ibu dari gadis kecil itu. "Apa yang kau lakukan?"
"Tentu saja memenggal kepalanya." Azazel—pemuda tinggi berambut hitam legam itu menjawab santai. "Itu satu-satunya cara bukan?"
"Tidak. Jangan!" Mara ikut mencegah.
Azazel tidak mendengarkan. Ia segera mengayunkan kapak. Akan tetapi, tangannya terhenti sebab gadis kecil itu kembali seperti semula; mata yang melotot merah telah menghilang. Geraman serta taring yang mencuat pun lenyap. Terlebih penting lagi, Azazel tidak mencium aroma kutukan darinya. Dia ... sembuh?
"Ma-ma," lirih sang gadis sebelum akhirnya jatuh pingsan.
"Bagaimana bisa?" Azazel tertegun. Ini pertama kalinya ia melihat penerima kutukan—atau yang biasa disebut Anathema, berhasil sembuh. Selama ini satu-satunya cara untuk mengatasi mereka adalah dengan memenggal kepalanya.
Orang-orang berbondong membawa gadis itu masuk ke dalam rumah. Sementara Mara merosot jatuh—untung saja Leon menahan dan menggendongnya.
"Cepat kurung dia lagi!"
Azazel berbalik untuk melihat. Mata birunya membola kala menyaksikan lebam hitam berkedut di kaki Mara. Sontak ia mengikuti di belakang hingga, Leon yang menyadarinya langsung mendelik tajam.
"Siapa kau?"
"Aku Az. Pendatang."
"Pantas saja." Leon melengos pergi, menuju tempat kurungan Mara.
"Kenapa kalian mengurungnya?" tanya Azazel setelah pintu kembali digembok.
"Orang luar tidak perlu tahu!"
"Leon, jangan kasar seperti itu!" Ibu Mara menepuk bahunya, lalu tersenyum pada Azazel.
"Sebenarnya, apa yang terjadi di sini?" tanya Azazel lagi. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi perlahan saja. Toh, ia memang sudah berniat untuk bertahan lebih lama di sana. Sebab ada sesuatu yang buruk tersimpan di desa itu.
"Dia anakku."
Leon hendak ikut bersuara tetapi tersentak saat tahu jadwal istirahatnya telah berakhir. Ia segera pamit--walau enggan--dan berlari pulang. Jika terlambat, mentornya pasti akan mengadu ke sang ayah dan omelan panjang akan mengakhiri harinya.
"Ana dikaruniai kekuatan untuk menyembuhkan Anathema." Wanita paruh baya bergaun cokelat pudar itu memandang ke dalam kamar kosong tempat Mara beristirahat. Seperti biasa, setelah proses penyembuhan, ia akan kelelahan lalu tertidur.
"Entah ini keberuntungan atau kutukan, tapi berkat Ana, tidak ada lagi orang yang dipenggal di desa ini."
Azazel mendekati pintu berjeruji besi. Mengintip ke dalam—pada gadis berambut merah di ujung ruangan. "Dia ... bisa menyembuhkan tanpa membunuh?" Mata kirinya kembali berubah warna menjadi kuning, menatap lekat pada gadis itu.
"Lalu kenapa dia dikurung?" Azazel bertanya tanpa mengalihkan tatapannya.
"Beberapa kali setelah penyembuhan, Ana pernah hilang kendali dan membuat kekacauan. Makanya warga desa mendesak agar ia dikurung."
Ada kepedihan dari cerita itu dan Azazel menyadarinya. "Begitu malang," gumamnya. Bukan karena ucapan sang ibu atau nasib Mara yang hidup dalam penjara, tapi karena warna hitam legam pada kaki gadis itu adalah kutukan iblis.
Dia bukan menyembuhkan, tapi menyerapnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro