Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EPISODE 2

-LIONA POV-

Kamu tahu apa yang sedang aku lihat sekarang? Ini ... sangat-sangat indah. Aku baru pertama kali melihatnya. Di sebelahku ada Ken yang masih tertidur, sepertinya dia pingsan. Aku tidak tahu mengapa Ken bisa pingsan padahal dia baik-baik saja tadi.

Burung ini? Eh! Bukan, ini bukan burung tetapi dia manusia bernama Yoji. Dia seorang kakek-kakek bermata biru juga. Yoji-san awalnya sedang lewat di antara gumpalan lebatnya awan. Dan, saat dia melihatku terjatuh dari langit, seketika dia menolongku beserta Ken.

"Ugh..."

Ken melenguh pendek. Hidungnya mengeluarkan darah segar, dengan cepat aku menahannya menggunakan sayap yang tercabut dari tubuh Yoji-san.

"Kita sampai!"

Kami berdua turun dari tubuh Yoji-san. Ken seketika menutup hidungnya dengan satu sayap dari Yoji-san. Aku melihat ke sekitarku. Banyak orang-orang bermata biru yang sangat ramah. Mereka seakan benar-benar memiliki hubungan keluarga. Saling menyapa satu sama lain, tanpa memandang fisik.

Gedung-gedung berwarna putih cerah seperti awan. Pancuran air di antara tengah kota dengan patung guci di beberapa titik tempat. Menurutku, tempat ini belum pernah di ketahui oleh orang-orang di daratan. Apa mereka sudah mengetahui tentang tempat semegah ini di lebatnya awan.

"Mereka sangat mengagumkan!"

Itulah yang hanya bisa ku ucapkan dari mulutku. Saat aku tidak sengaja menyentuh lengan Ken, aku merasakan kulitnya begitu dingin.

"Ken? Kamu sakit?"

Tidak ada jawaban dari Ken. Dia menatap kosong ke bawah. Aku menyentuh dahinya, dan masih sama, yaitu dingin. Ken menatap wajahku.

"Kamu siapa?"

Deg!

Ada perasaan aneh. Memang benar aku ini siapanya Ken. "Ke--"

Baru saja aku ingin bertanya, tubuh lelaki itu terjatuh namun segera ku tahan dengan tanganku. Aku yang panik langsung memanggil orang-orang di sekitarku. Banyak yang menolong diriku. Mereka membawa Ken ke dalam istana langit.

Awalnya aku mengernyit heran. Apakah aku harus mengikuti mereka atau tidak. Tapi, karena aku khawatir dengan keadaan rumah. Akhirnya aku terpaksa tidak pamit dengan orang-orang disana lalu berlari ke tempat dimana Yoji-san menurunkan tubuhku di daratan ini.

Yoji-san masih berada di tempatnya. Dia memasukan beberapa barang di belakangnya.

"Yoji-san!!"

"Hm! Kau masih disini nak?" tanyanya lalu aku mengangguk.

"Bisa kau antarkan aku ke bumi? Eh! Maksudku?" aku kebingungan harus menjawab apa.

"Naiklah aku mengetahui asalmu dari wajahmu dan cara bicaramu." Yoji-san terlihat sangat terburu-buru. Dia menarikku untuk duduk di punggungnya. Aku hampir berteriak ketakutan, karena aku benar-benar belum dalam kondisi siap untuk naik saat itu.

Shh!

Tubuhku terasa menembus awan. Aku tidak tahu ini sudah dalam ketinggian berapa meter. Tetapi, nafasku masih tidak terganggu oleh semakin menipisnya oksigen yang biasa terjadi dengan banyak orang. Dari sini Kota Tokyo terlihat begitu bercahaya berarti hari sudah mulai malam. Cahaya matahari juga mulai hampir berganti menjadi sang bulan. Tubuh Yoji-san seketika bersinar dan aku juga ikut bersinar.

"Argk!!"

Tubuhku terlepas dari Yoji-san. Aku terbang di langit Kota Tokyo. Mataku membelalak menatap Yoji-san berteriak ke arahku. Yoji-san terus menendang sesuatu yang menghalangi dirinya, apakah itu dinding?

Aku sangat takut! Apa? Aku akan mati hari ini?

Jantungku berdetak semakin cepat. Sangat cepat hingga mataku buram dan terlelap dalam balutan rasa ketakutan.

🔔

-AUTHOR POV-

Suara tetesan air yang terdengar begitu keras menyerbu dan menghantam atap rumah. Lantunan irama seseorang yang terdengar begitu berat namun begitu membuat orang-orang ingin di buat tidur olehnya. Nenek itu memeras sarung tangan coklatnya dan terus menerus di taruh di dahi seorang gadis setiap beberapa waktu.

Dia tersenyum tipis melihat wajah gadis itu. Dia seperti sangat mengenalnya, namun itu sangat tidak mungkin. "Gadis ini mengingatkan wajah sahabatku dulu. Hmm, apa dia masih hidup di atas sana?"

Liona menggerakan tubuhnya. Rasa sakit tetiba menjalar ke seluruh tubuhnya dan Liona hanya dapat meringis kesakitan. Itu begitu sakit hingga beberapa bagian tubuhnya harus di perban. "Kamu sudah sadar?"

Liona menatap Nenek di hadapannya. Rambutnya yang sudah beruban sudah menandakan umurnya yang sudah tidak muda lagi. Matanya begitu sayu, tatapannya hangat hingga Liona tersadar ada keanehan di mata tersebut.

"Anda manusia yang di langit itu?"

Orang di hadapannya terkekeh. "Iya, aku dulu manusia di sana. Tetapi, sudah kembali ke sini. Hmm ... kenalkan nama saya Po. Keluarga pindahan dari sana hahaha!"

Po tertawa keras. Dia sangat bahagia dapat banyak cerita dengan orang yang punya garis keturunan manusia kutukan, sama seperti dirinya.

Liona tersenyum. "Apakah, Po-san bisa banyak cerita tentang manusia langit itu?"

Raut wajah Po seketika memudar. Wajah bahagianya seperti di tepis oleh pertanyaan Liona. "Tunggu, bukankah tempat menuju pulau langit sudah di batasi dinding penghalang?"

Dahi Liona mengkerut. "Maksud Po-san? Dinding berwarna emas 'kan?"

Po terbelalak. "Iya, tepatnya dinding pembatas dua dunia manusia biasa dan manusia terkutuk. Eh! Jawab aku dulu, kau jangan balik bertanya seperti itu. Bagaimana kau dapat pergi kesana tanpa menubruk dinding penghalang?"

Liona menatap sekitar ruangan. Barang-barang antik banyak berada di sini, mungkin Po sudah tinggal cukup lama di Jepang. Liona berhenti pada sebuah benda berukuran besar. Cermin dengan lubang hitam yang hanya bisa dia lihat.

"Cermin berwarna hitam itu yang membawa aku kesana." Kata Liona sambil menunjuk benda itu.

Po menatap cermin. "Kekuatan ini sudah aktif pada gadis sepertimu. Aku tidak dapat melihat cermin hitam itu, tapi yang aku yakini itu adalah sebuah portal yang kau bisa masuki menuju pulau langit."

Suasana hening seketika. Hawa dingin mulai menusuk kulit Liona hingga dirinya mengigil kedinginan. Po mengambil selimut di lemarinya, dan menaruhnya di tubuh Liona. "Sebaiknya kamu istirahat disini terlebih dahulu. Kondisimu yang masih dalam kondisi banyak luka seperti ini harus banyak istirahat. Ahh ... silahkan minum teh yang aku buat ini."

Liona mengambil secangkir teh pemberian Po. Rasa teh yang baru dia rasakan selama ini. Rasa yang manis namun seperti ada rasa lainnya yang membuat sepercik ledakan yang menyatu di dalam mulutnya. "Tehnya enak!"

Po tersenyum. "Aku akan pergi dulu ke toko. Ingat! Jaga diri baik-baik."

Liona terdiam seketika. Dirinya menatap hujan yang sudah berhenti sejak tadi. "Ternyata aku di desa. Aku jatuh sampai sejauh itu yah. Bagaimana kabar Ken dan Kakek Yoji disana?"

Liona mencoba berdiri dari selimut hangatnya. Awalnya dia merangkak untuk mencapai jendela, namun lama kelamaan dia semakin melemah. Keringat dingin mulai menguasai tubuhnya. Dia menatap jendela yang tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di sana.

"Argk!"

Liona meringis kesakitan saat luka di tangannya terkena goresan kayu dari lantai. "A-aku harus berusaha sampai ke sana."

Liona meyakinkan dirinya, bahwa dia bisa. Kaki kecil itu mulai menopang tubuhnya perlahan. Gadis itu kini harus berjalan begitu pelan dengan berpegangan pada dinding berwarna coklat. Cahaya mentari di sore hari. Cahayanya mulai masuk menembus jendela kamar.

Tangan Liona berhasil memegang gagang pembuka jendela, dia mendorongnya pelan hingga benar-benar terbuka. "Aku berhasil!"

"Liona kau sudah bisa berdiri?"

Dari arah belakang Po muncul dengan barang belanjaannya. Po menaruh barangnya, lalu mendekati Liona dengan senyumnya. Di sentuhnya pundak gadis yang sedang termenung menatap suasana setelah hujan.

"Po-san apa aku bisa kembali besok?" tanya Liona.

Po menatap Liona. "Bukankah kondisimu masih belum baik?"

"Aku sangat khawatir apabila Ayah akan begitu marah padaku. Aku belum pamit padanya saat itu." Senyuman Liona perlahan memudar, dia memegang tangan Po.

"Aku mohon Po-san izinkan aku pergi besok."

Po terdiam mendengar permintaan Liona, padahal dia juga ingin Liona untuk tinggal lebih lama di rumahnya. Dengan berat hati Po menerima permintaan itu. Liona tersenyum senang. Po memberi tahu bahwa dia akan mempersiapkan kebutuhan Liona menuju Tokyo.

🔔

Satu bulan kemudian..

Seorang gadis tersenyum ramah melihat orang-orang di sekitarnya. Matanya biru hingga orang-orang di sana sedikit kagum padanya. Dia membuka pintu sebuah ruangan dan menampilkan orang-orang bermata mirip seperti dirinya.

"Klub memasak dari anak-anak bermata biru di mulai!"

"Hai Touka ada apa denganmu? Kita belum memulainya, lihat saja Liona malah senyum-senyum seperti itu."

Liona terkekeh melihat ke empat sahabatnya itu. Mereka adalah sahabatnya sejak lahir entah kenapa mereka bisa mempunyai mata yang sama, padahal tidak ada pertalian keluarga. Liona mengambil celemek andalan dari tasnya.

"Baiklah Touka, Yon, dan Gin ayo kita lomba memasak sushi!"

"Ayo!!"

Mereka sangat kompak saat mereka harus melakukan pekerjaan bersama-sama. Liona kini sedikit serius dalam memotong sayurannya, padahal pikirannya sedang memikirkan tentang cermin gelap saat dia membuka pintu ruangan. Dia terdiam mematung saat tadi, cermin hitam itu masih ada dan belum hilang walau Liona terluka.

"Teman-teman apa kalian bisa berhenti sebentar, aku ingin menanyakan sesuatu pada kalian?" Semua orang di ruangan itu menghentikan pekerjaannya. Membiarkan potongan-potongan sayuran yang di biarkan saja di meja.

"Apa yang ingin kamu tanyakan Liona?" tanya Gin mewakili kedua temannya.

Liona menatap mereka bertiga. "Apa kalian mempunyai fenomena aneh yang menimpa kehidupan kalian?"

-TBC-

Hai semua nama gue Ri-kun. Dan terima kasih telah memberikan gue kesempatan untuk menemani, malam selasa lo.

Waduh! Akibat kebanyakan nonton bang Ewing sih. Eh baiklah ekhem selamat malam semuanya dan sampai jumpa di bagian selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro