Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 8

Hari yang telah ditentukan untuk pindah pun tiba. Aku sudah sibuk mengepak barang yang akan di bawa ke rumah baru. Tentu saja barang-barangku, sedangkan Ibrahim memilah barangnya sendiri. Sesekali kulirik lelaki itu, dia terlihat santai sambil memasukkan baju-bajunya yang hanya ada ada beberapa helai itu ke dalam koper. Hingga hari ini, aku masih belum melihat sifatnya yang lain. Dia masih menjadi seorang lelaki pendiam di depanku. Lelaki yang belum mempermasalahkan tingkahku selama kami menikah. Aku belum bersikap layaknya seorang istri yang taat kepada Ibrahim.

Suasana kekakuan memenuhi kamar, hening tanpa suara. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Hanya suara murattal yang distel lewat ponsel milik Ibrahim mengalun tenang mengisi kecanggungan di antara kami. Entah kapan aku bisa berdamai dengan hati, bisa menerima Ibrahim sepenuh hati. Bukan benci, aku tidak merasakan rasa benci itu memenuhi hati, hanya rasa takut yang begitu menyiksa. Aku takut melihat penampilan lelaki itu. Aku takut jika sifat baiknya selama ini hanya kamuflase semata. Bagaimana jika ia mencekikku? Siapa tahu? Meski konon kata Abi dia sudah bertaubat, tidak menutup kemungkinan jika perangai buruknya akan terulang.

Memikirkannya saja aku bergidik. Kembali kulirik lelaki itu. Namun, dia masih terlihat tenang seperti biasa. Ah!

"Dari tadi lihatin terus, awas nanti naksir."

Jantungku berdegup kencang. Cepat-cepat kubuang wajah ke arah lain. Tidak tahu bagaimana warna pipiku sekarang, mungkin saja sudah seperti tomat busuk. Bagaimana ia bisa tau kalau aku sedang mengamatinya, sementara ia tidak berpaling sama sekali dari aktivitasnya. Apa mungkin selain mantan preman, ia juga mantan dukun?

Aku tidak menyahut. Setelah mengunci koper terakhir, aku bergegas keluar kamar. Bulu kudukku meremang. Mendadak telapak tanganku menjadi dingin. Apakah aku harus memberitahu Umi, jika Ibrahim juga seorang dukun? Tapi, mana bisa begitu. Aku belum mempunyai bukti yang kuat untuk menuduhnya. Ya, ampun!
Kucari Abi dan Umi di ruang televisi, akan tetapi mereka tidak ada. Semua ruangan kusisiri sambil memanggil mereka bergantian. Namun, tetap tak ada jawaban. Allah, tolong aku. Kenapa mereka berani meninggalkanku di rumah hanya bersama Ibrahim? Apa mereka tidak khwatir jika nanti Ibrahim berlaku kasar padaku? Sepertinya aku yang terlalu berlebihan. Pasti jika kusampaikan rasa takut ini pada Abi, ia akan tertawa sambil berujar, "Aisyah sayang. Dia itu suamimu, bukan hantu!" Ah, semua tidak bisa mengerti akan kekhawatiranku.

Dalam ketakutan yang sangat, aku memutuskan beranjak ke dapur, ternyata di sana sudah ada Ibrahim yang sedang duduk di meja makan. Ia melihatku sambil menyodorkan segelas air putih.

"Mari. Duduk dulu," ajaknya padaku.

Aku enggan untuk mendekat. Rasa takut itu semakin menggila. Bagaimana jika ia akan mengakhiri semuanya hari ini?

"Kenapa, sih? Takut sama aku?" tanyanya lagi.

"Nggak, makasih. Aku mau cari Umi sama Abi." Aku berujar kaku.

"Abi sama Umi sedang pergi. Mereka harus ke rumah Paman Ali. Mendadak."

Lha, kenapa dia lebih tau ke mana orang tuaku pergi. Sementara aku anaknya saja tidak tahu apa-apa.

"Kenapa kamu bisa tau?" Aku bertanya tanpa bergeser dari tempat semula.

Lelaki itu hanya tersenyum. Aku tidak berani melihat matanya. Bola mata yang menghitam semua membuat kengerian meluap-luap. Ya, Allah, aku harus bagaimana?

"Aisyah. Aku minta maaf telah menyusahkanmu."
Laki-laki itu berujar pelan, tapi masih terdengar hingga ke tempat aku berdiri.

"Maksudmu?" tamyaku heran. Angin apa lagi ini?

"Maaf, Aisyah. Kamu terlalu banyak berkorban. Jika memang kamu tersiksa dengan pernikahan kita, aku bersedia jika kamu ingin berpisah. Aku tidak mau semua menjadi semakin jauh."

Aku terhenyak. Ibrahim berdiri dari tempat duduknya. Ia menatapku, aku membalas tatapannya. Menatap bola mata yang sama sekali tidak lagi tersisa warna putih di dalamnya. Kenapa lelaki itu selalu benar dalam membaca pikiranku?

"Terus?"

Ibrahim meletakkan kembali gelas yang sejak tadi ia pegang. Rambut gondrongnya semakin menambah kesan mengerikan yang selama ini kubayangkan.

"Kemari, duduklah sebentar." Dia memintaku untuk duduk di depannya. Aku pun memenuhi permintaan Ibrahim. Perlahan aku me langkah menuju meja makan, kemudian menarik kursi kayu berwarna cokelat tua yang berada di depan lelaki itu.

"Sudah makan?" tanyaku memecah kekakuan. Walaupun sebenarnya aku tahu dia sudah selesai makan sejak tadi.

"Sudah."

"Ada acara apa Ayah dan Ibu ke rumah Paman Ali?" Aku kembali bertanya. Sungguh tidak enak berada di posisi seperti ini.

"Paman Ali tiba-tiba harus dilarikan ke rumah sakit. Jantungnya kumat.

Aku mendoakan kesembuhan untuk Paman Ali, Adik ibu satu-satunya. Sejak dulu Paman Ali sangat dekat dengan kami, begitu juga anak-anaknya yang masih berkuliah. Jarak usia kami tidak terpaut jauh. Kami seirng saling bertukar cerita satu sama lain. Terutama dengan Aulia, dia adalah tempatku mencurahkan segala rasa. Ditambah lagi kami melanjutkan kuliah di kampus dan jurusan yang sama, bertambahlah kedekatan yang memang sudah terbentuk sejak dari kecil dulu.

"Ais. Kebetulan Abi dan Umi tidak di rumah. Aku ingin bicara serius. Belum pernah kita mempunyai kesempatan seperti sekarang. Di kamar pun kita sibuk dengan kesendirian masing-masing." Ibrahim memulai kalimatnya. Ia memainkan gelas di depannya yang telah kosong.

"Ya, silakan," aku menunggu dengan serius.

"Sudah hampir satu bulan kita menikah. Aku tau kamu memang tidak bisa menerima pernikahan kita. Terlalu egois jika aku memaksa diri untuk terus bertahan. Mempertahankan rumah tangga yang dari awal memang tidak diiinginkan. Jadi, sebelum pindah rumah lebih baik kita jujur saja pada Abi dan Umi."

Aku kaget mendengar penuturan Ibrahim. Ternyata lelaki itu juga memikirkan hal yang sama denganku. Prihatin dengan nasib rumah tangga yang tidak ada ruh nya. Dilanjutkan pun belum tentu akan sehat seperti rumah tangga milik pasangan lain.

"Kalau maumu begitu, ya, oke. Nanti kita bicarakan sama Umi Abi." Aku menjawab datar.

"Bukan mauku, aku tidak pernah berharap jika rumah tangga yang masih muda ini berakhir begitu saja. Sebenarnya aku tidak mau ikatan suci ini menjadi korban karena keegoisan kita berdua. Di sini aku melihat kamu. Aku tidak mau kamu tersiksa karena aku, karena pernikahan yang tidak pernah engkau harapkan ini."

Kalimat yang Ibrahim lontarkan begitu menohokku. Di sini aku berterima kasih padanya karena sudah memahami kondisiku. Namun, di sisi lain aku merasa sangat bersalah karena mempermainkan sebuah pernikahan.
"Aku ... aku ...,"

"Bukan salahmu sepenuhnya. Seharusnya sejak awal aku pun menolak perjodohan dari Abi." Ibrahim memotong kalimatku.

"Maafkan aku." Hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan. Separuh jiwaku meronta ikut menyalakhkanku. Menyalahkan sikapku selama ini yang tidak berusaha untuk menjadi istri yang baik. Di kepalaku hanya terpikirkan jika Ibrahim itu jahat. Tidak pernah sekali pun aku berusaha untuk mengajaknya duduk berbicara, atau sekadar menegurnya terlebih dahulu. Aku memang tidak pernah mencoba untuk memulai membangun komunikasi yang baik dengan Ibrahim.

Sekarang, lagi dan lagi Ibrahim juga yang memulai untuk membicarakan bagaimana kelanjutan kisah rumah tangga kami. Mau ditenggelamkan atau diselamatkan.

"Aku tidak menyalahkanmu, Ais. Kita sama-sama bersalah. Aku pikir dulu perjodohan hanya hambar di hari-hari pertama setelah menikah, selanjutnya akan indah seiring berjalan waktu kita saling mengenal. Ternyata, impianku terlalu berlebihan. Aku terlalu memaksakan."

Ibrahim meluapkan segala rasa yang selama ini dipendam. Kupikir di balik ketenangan yang ia perlihatkan, lelaki itu tidak memikirkan bagaimana kelanjutan rumah tangga kami. Ternyata aku salah. Ia justru ingin memperbaiki, sementara aku tak henti merusaknya.

Sudah saatnya menceritakan pada Abi dan Umi. Mereka harus tahu yang sebenarnya. Kisah rumah tangga putri semata wayang bisa melayang karena sebuah keterpaksaan.

***

Akhirnyaaaaaaa, kita up lagi, ya. Maafkan aku yang terlalu lama jalan-jalan dan lupa untuk pulang😅😅

Hai kalian yang suka sama Babang Preman, yuk disimak kembali kisah mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro