PART 6
Aku tidak dapat menahan rasa kantuk. Kulihat Ibrahim masih terpekur dalam bacaan Quran-nya. Ah, anak itu mau mencoba menarik perhatianku. Pasti itu! Dia mengaji tanpa suara. Apa betul mengaji? Bukannya kata Abi dia masih belajara Iqra' kenapa sekarang sudah pegang Al-quran?
Memikirkan dia membuat kepalaku semakin berdenyut. Ditambah rasa kantuk yang menyerang, juga karena lelah seharian dengan acara pernikahan. Perlengkapan tidur yang telah kuletakkan di atas ranjang, kubawa kerta ke kamar mandi. Rasanya lebih aman mengganti baju di sana. Aku bisa melindungi diri dari Ibrahim. Dia memang telah sah menjadi suamiku, tapi aku masih belum siap untuk menerima semuanya. Biarkan waktu yang berbicara
Aku mengganti gamis dengan baju tidur terusan yang bentuknya sama panjang seperti gamis. Kemudian di dalamnya tak luput celana panjang berbahan kain lembut. Setelah berwudhu, aku mengganti jilbab kurung yang tadi kukenakan dengan jilbab kurung yang agak ringan dan lebih pendek. Ya, aku akan tidur mengenakan jilbab. Masih belum biasa terasa membuka jilbab di depan lawan jenis, meskipun ia sudah menjadi mahramku.
Setelah beberapa menit menghabiskan waktudi kamar mandi, aku pun keluar. Lelaki itu telah menyelesaikan bacaannya, sepertinya. Posisi Al-quran telah tertutup, tetapi masih dalam genggamannya. Kakinya duduk bersila dengan badan membungkuk dan posisi kepala tertekuk ke bawah. Ia memejamkan mata, apa jangan-jangan dia tertidur?
Aku terus memperhatikan. Ah benar sudah, dia pasti mengantuk dan tertidur. Berusaha untuk mencari simpati, malab jadi malu sendiri, 'kan? Untuk apa berakting pura-pura mengaji, jika bacaan masih setingkat Iqra' lima. Aku menertawakannya dalam hati. Dasar preman!
Di saat aku masih sibum dengan pikiranku sendiri, lelaki itu tiba-tiba sudah berdiri di samping, tangannya masih menggenggam Al-quran.
"Tidurlah! Maaf jika aku telah mengganggu jadwal tidurmu. Apa kamu biasa tidur dengan lampu dipadamkan?"
Aku gelagapan!"
"Kamu itu kalau ngantuk, ya, tidur yang benar. Kenapa harus tidur dengan posisi duduk begitu?'
"Aku? Tidur?"
Alah! Dia pura-pura mengelak. Sudah tertangkap basah, masih tidak mau mengaku.
Aku membuang muka dan berjalan ke arah ranjang. Tidak ingin memperpanjang debat dengan anak yang sebentar lagi baru lulus TPA.
"Kalau kamu mau tidur, matikan lampu itu nanti. Jangan lupa hidupkan lampu tidurnya " Aku berujar tanpa melihat ke arahnya.
Terdengar pintu kamar mandi terbuka, aku membiarkannya. Mataku serasa sudah tidak snaggup lagi terbuka. Rasa kantuk mengalahkan rasa was-was tidur sekamar dengan Ibrahim.
***
Aku terbangun dari tidur. Mimpi itu seperti nyata dan aku masih ngos-ngosan karenanya. Bukan hanya di alam nyata, hingga ke dalam mimpi pun lelaki itu masuk untuk menggangguku. Suasana kamar begitu sepi, cahaya lampu yanh berasal dri lampu tidur menciptakan suasana temaram dan tenang. Aku membalik badan ingin melihat Ibrahim. Dia pasti sudah mendengkur tak sadarkan diri. Betapa aku salah besar dengan dugaan sebelumnya. Ibrahim sedang berdiri di atas selembar sajadah dengan posisi kiblat yang membelakangiku.
Aku melirik jam dinding tepat menunjukkan pukul dua lewat. Salat malam? Benarkah itu?
Sudahlah! Aku tidak peduli. Mataku hanya ingin istirahat. Mimpi tadi telah mengganggu tidur. Dan sekarang aku hanya ingin tidur!
***
Aki menggeliat di atas tempat tidur. Membenarkan letak jilbab dan memeriksa resleting celana panjang. Aman! Malam yang menakutkan ini telah berhasil dilewati. Mataku kembali mencari sosok Ibrahim. Dia tidak ada. Sofa yang ia tiduri telah rapi, bantal telah tersusun begitu juga dengan selimut yang telah terlipat. Ah! Ke mana lekaki itu? Kembali menghilang. Aku pun bangkit untuk membersihkan diri. Shubuh telah menanti sejak tadi.
"Aisyah, cepat ke dapur. Bantu Umi menyiapkan sarapan." Beberapa saat kemudian suara Umi terdengar di depan pintu kamar.
Aku yang baru saja menyelesaikan bacaan Al-Qur'an segera merapikan perlengkapan salat. Melipat mukena serta sajadah dan menggantungkannya di tempat semula. Pikiranku masih tertuju kepada Ibrahim. Ke mana lelaki tatoan itu? Bergegas aku menuju lemari tempat bajunya di simpan. Ternyata masih lengkap. Baju-baju itu masih tersusun rapi di sana. Kupikir dia telah pergi dan membawa semua barang-barangnya.
Tak ingin berlama di kamar, aku mempercepat langkah ke dapur. Melihat Umi sedang sibuk di sana.
"Mi, tumben aku diajak untuk membantu, biasanya malah di suruh tidur lagi?" Aku bertanya sambil mendekati Umi.
"Dulu Umi hanya menyiapkan sarapan untukmu serta Abi. Itu adalah tugas Umi, makanya Umi tifak mau membebankan kamu. Nah, sekarang Umi harus menyiapkan sarapan untuk Abi saja, sedangkan kamu menyiapkan sarapan untukmu dan suamimu, karena kamu telah menjadi seorang istri. Paham? Ini akan menjadi tugasmu setiap hari."
Aku terdiam. Seperti itukah. Bukan hanya kamar, salat, serta malamku saja yang ingin dihancurkan Ibrahim, bahkan pagiku pun telah direnggutnya. Mau tak mau, suka tak suka aku wajib melayaninya.
"Apa Ibrahim sudah pulang, Sayang?" Suara Umi kembali terdengar.
"Em, eh ... belum, Mi."
"Dia ke Masjid sejak subuh tadi bersama Abimu, mungkin mereka ada kajian setelah Shubuh."
Ternyata lelaki itu ke masjid. Jadi kapan dia tidur? Saat aku sudah mau tidur, dia masih sibuk dengan Al-qur'an-nya. Aku terbagun tengah malam, ia berdiri di atas sajadah melaksanakan salat malam. Dan sekarang, aku bangun subuh, eh, dia telah menghilang.
Caper! Hari pertama masih cari perhatian. Masih meraba-raba. Dia sepertinya belum menemukan jati diri. Kasihan. Sampai kapan dia akan begitu terus?
"Umi rasa dia itu baik, Aisyah. Bagaimana menurutmu?"
Aku menghentikan tangan mengaduk teh. Umi juga telah terkontaminasi! Baru satu hari Ibrahim di rumah. Tapi sudah bisa mengatakan dia baik. Bagaimana car Umi menilainya, sedangkan Ibrahim lebih banyak menghabiskan waktu di kamar daripad luar kamar.
"Entah, Mi. Aku tidak bisa menilai orag dengan cepat begitu. Baru juga satu malam dia bersama kita. Masih membutuhkan waktu lama untuk bisa menilai, bukan sehari dua hari."
"Benar, Sayang. Umi tidak keberatan dengan keputusanmu. Hanya satu yang ingin Umi tegaskan. Kamu itu telah menjadi seorang istri. Banyaklah membaca dan pelajarai bagaimana tugas, hak, serta kewajiban seorang istri. Umi pun akan ikut menjadi gurumu."
Dengan serius kutatap wajah Umi yang teduh. Wanita terbaik ya g kumiliki. Seorang ibu yang selalu mengajariku dengan kebaikan-kebaikan dunia juga akhirat. Bidadari yang diturunkan Allah untuk menemani hidup Abi. Tidak pernah mengeluh. Umi akan selalu berpikiran positif untuk orang di sekitarnya. Tidak pernah ia menggunjing bahkan memperolok-olok keburukan orang lain. Umi adalah sosok wanita yang pantas untuk diteladani. Wanita shalehah itu tidak pernah mengajarkan kepadaku untuk membenci, melaikan selalu menyebarkan rasa cinta dan sayang setiap hari. Betapa Abi sangat mencintai dan memuliakannya. Lelaki mana yang tidak beruntung memikiki kekasih hati yang bukan hanya mencintainya di saat memiliki segala-galanya, akan tetapi tetap berdiri tegak di saat mereka sedang papa.
Aku tersenyum ke arah Umi. Menganggukkan kepala pertanda setuju. Setelah semua makanan tertata di atas meja, aku meminta izin kepada Umi untuk membersihkan diri. Aku ingin mandi setelah gerah berkutat di dapur pagi-pagi. Rasanya menyiram rambut akan membuat kondisi menjadi segar dan gairah pagi akan kembalii bangkit.
"Jangan lama. Temani nanti Ibrahim sarapan."
"Baik, Mi."
***
Segar sekali rasanya. Air dingin mengalir membasahi seluruh tubuh. Teringat akan kata-kata Umi tadi, aku harus bergegas sebelum Ibrahim pulang. Buru-buru aku mengenakan baju handuk dan membuka pintu kamar mandi. Memilih gamis asal jadi, juga jilbab dan celana panjang. Tidak lagi mencocokkan warna, aku takut Ibrahim segera pulang.
Saat aku sedang memakai pakaian dalam, "Kreek", suara pintu kamar terbuka. Allah! Aku lupa menguncinya. Betapa cerobohnya aku.
Seseorang masuk dan membelakangiku. Baju handukku jatuh ke lantai.
Ibrahim berbalik badan ....
"Aaaaaaaaaaa"
Aku berteriak sambil menutup kedua wajah. Entah bagaimana bentuk yang lainnya. Aku hanya baru mengenakan pakaian dalam saja. Tak lama suara pintu terdengar berdentam. Aku menurunkan tangan dari wajah. Ibrahim tidak ada. Dia pasti telah keluar.
Ah! Kenapa aku bisa seceroboh ini.
Bersambung
***
Aisyah, Aisyah. Awas besok ditanyain Umi sama Abi kenapa teriak-teriak. Bikin se RT kaget aja pagi-pagi.
Hihihi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro