Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 5

Aku dan Ibrahim telah menyelesaikan makan malam kami. Dalam kondisi saling diam, aku melahap makanan perlahan. Berbeda dengan lelaki itu, dia terlihat tetap semangat makan, meskipun kami tak saling bertegur sapa. Sesekali ia berusaha untuk membuka percakapan, tapi balasanku tetap dingin tak ingin menanggapi lebih jauh.

Dengan cekatan aku membereskan piring bekas milikku. Segala macam lauk menu makan malam telah kusimpan kembali ke tempatnya. Namun, aku tetap  membiarkan piring Ibrahim berada di atas meja. Lelaki bertato itu masih menungguku di kursi semula ia duduk. Memperhatikan setiap gerak yang kulakukan. Ujung matanya mengikuti langkah kakiku di sekitar meja makan. Aku risih dengan tingkahnya.

"Kamu bisa terus pergi tanpa menungguku." Aku berujar tanpa melihat ke atasnya.

"Aku bisa saja pergi meninggalkanmu di sini, tapi aku tidak bisa mengelak pertanyaan Abi nanti. Coba lihat, itu mereka sedang duduk.di ruang tamu." Ibrahim menunjuk ke arah ruang tamu dengan dagunya. Jarak dapur dengan ruang tamu tidak begitu jauh. Hanya tersekat dengan dua kamar tidur sebelumnya. Suara mereka tertawa bisa terdengar jelas hingga ke dapur. Memang sudah sejak tadi Abi duduk di sana ditemani paman dan beberapa sanak keluarga lainnya. Mereka belum pulang sejak acara pernikahan siang tadi usai. Jarak tempat tinggal yang lumayan jauh, membuat mereka harus tetap bertahan satu malam lagi di rumah.

Setelah selesai membereskan meja makan, aku meminta Ibrahim untuk berjalan terlebih dahulu, kemudian aku mengikutinya di belakang. Bagaimana pun juga rumah tangga kami yang baru saja terhitung jam itu harus terlihat sehat di hadapan semua orang.

Aku tidak ingin raut kebahagiaan sirna dari wajah Abi dan Umi. Mereka adalah harta satu-satunya yang kumiliki. Aku harus bisa meredam perasaan demi ke dua orang tua. Mereka telah membesarkanku dengan penuh cinta, sudah sepatutnya aku membalas dengan hal yang sama juga. Selama Ibrahim tidak menyakitiku, aku akan berusaha bersikap sewajarnya kepadanya.

"Sudah selesai makan?" Abi langsung menyapa begitu melihat kami.

"Sudah, Bi," jawab kami bersamaan.

Abi tersenyum dan mempersilakan kami untuk beristirahat. Sedangkan beliau masih melanjutkan ohrolan dengan adik kandung Umi dan beberapa keluarga lainnya.

***

Berada di dalam kamar dengan seorang laki-laki asing membuatku merasa sangat janggal. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Sedangkan aku masih berbaju panjang serta memakai jilbab. Apakah dia juga akan ikut tidur bersamaku di ranjang? Ya Allah, apa-apaan ini.

"Kalau kamu keberatan aku tidur di sana, tidak masalah. Jangan merasa terbeban, aku bisa tidur di sini saja" Ibrahim seperti bisa membaca isi pikiranku. Ia menunjukkan sebuah sofa lebar yang sengaja kuletakkan di sudur kamar beberapa hari lalu sebelum pernikahan digelar. Ya, tujuannku memang itu, agar laki-laki itu tidak ikut tidur bersamaku di ranjang.

"Oke! Anggap saja kamu menumpang di kamarku. Dan kamu tau kan sikap seorang tamu itu bagaimana?" tanyaku tanpa berpaling ke arahnya.

"Baik, Aisyah. Mohon maaf jika tamu ini telah membebankan hidupmu."

Aku berusaha acuh. Kuberikan ia selembar selimut, bantal kepala serta bantal guling. Ibrahim menyambut dengan senyum tersungging di bibirnya.

"Baju-bajumu itu bisa diletakkan di dalam lemari sebelah sana. Sengaja aku telah mengosongkannya kemarin." Aku menunjuk sebuah lemari dua pintu yang berada tepat di sisi lemari pakaianku. Sebelumnya di sana kujadikan tempat untuk menyimpan selimut, seprei, jilbab serta pakaian dalam.

Lelaki bertubuh tinggi itu mengangkat kopernya yang tadi terletak di sudut kamar. Kemudian mulai membuka dan menata pakaiannya di dalam lemari. Aku membiarkan saja. Allah. Bukan pernikahan seperti ini yang kuinginkan. Ingin sekali diri ini menjadi istri yang berbakti untuk suami, tapi bukan dia. Bukan lelaki yang beberapa jam lalu telah mengucapkan ijab qabul, bukan lelaki yang sekarang sedang bersamaku di kamar. Bukan dia!

"Maaf, jika aku belum bisa menerimamu. Aku belum bisa berdamai dengan hati yang terus saja menolak. Tolong hargai keputusanku." Aku berujar pelan. Tidak berani melihat ke arah Ibrahim.

"Aku tau. Dan aku tidak akan memaksa. Aku pun sadar diri, siapa aku sehingga berani untuk menikah denganmu. Kamu jangan khawatir, aku akan bersikap sewajarnya. Meski kita sudah sah menjadi suami istri, tapi aku tidak akan meminta lebih. Jika pun kamu keberatan aku sekamar denganmu, aku bisa tidur di kamar lain."

"Itu tidak mungkin. Abi dan Umi bisa marah besar nanti."

"Ya sudah, aku tetap di sini. Rahasia ini hanya kita berdua saja yang tau. Aku akan bersikap layaknya suami jika di depan Abi dan Umi." Ibrahim masih terus memberesi bajunya. Aku melirik sekilas dan ia terlalu serius tanpa membalikkan tubuhnya ke arahku.

"Em, apa-apakah aku harus melayanimu juga?" aku bertanya gugup. Tidak terbayang jika harus tidur bersamanya. Apalagi harus menjadi istri seutuhnya dengan melakukan sunnah di malam pertama.

"Maksudmu?" Ia menghentikan aktifitasnya.

Aku masih melihat ke arahnya, saat ia membalikkan badan, aku segera menunduk takut.

"A-apa kita harus berhubungan suami istri?" Rasanya wajahku memanas membahas ini. Jauh sekali keinginanku untuk itu. Tapi ia berhak untuk mendapatkannya. Aku bingung! Apa aku bisa? Semoga saja dia tidak menuntut banyak.

"Oh, itu. Tidak perlu. Aku bukan pencuri. Jadi aku tidak mau menjadi seorang pencuri untuk mencuri kesucianmu."

Sedikit kuangkat wajahku. Mencari kepastian dari tatapan matanya.

"Kamu yakin? Tidak akan memaksa?"

"Jangan takut Aisyah. Memang tampilanku mengerikan seperti ini, tapi kamu bisa pegang kata-kataku. Aku akan menunggu hingga waktu itu tiba. Kapan pun kamu mau."

"Jika aku tidak pernah mau?" Aku terus bertanya

"Itu hakmu. Kamu yang lebih memahami agama dibanding aku."

Kami kembali terdiam. Dia teah menyelesaikan pekerjaannya. Tidak banyak baju yang dipindahkan ke lemari. Hanya ada beberapa lembar dan kebanyakan berwarna gelap. Hanya ada dua baju pamjang berwarna putih.

Lelaki itu beranjak ke kamar mandi. Aku masih bingung harus mengerjakan apa. Jilbab kurung yang kukekanakan belum kulepas. Rasa khawatir mengalahkan rasa kantuk yang menyerang. Teringat aku belum menunaikan salat Isya, kutunggu Ibrahim keluar dari kamar mandi.

"Kita salat berjama'ah?" tanyanya sambil.membentangkan sajadah.

"Tidak usah. Kamu duluan saja." Aku kembali menolak. Rasanya janggal untuk diimami olehnya. Apa bacaan quran-nya sudah pas?

Ibrahim pun melaksanakan salat sendirian. Aku menunggu hingga ia selesai. Kuperhatikan setiap gerakan salat yang ia lakukan. Tidak ada yang janggal. Semuanya seperti biasa. Setelah dia selesai, aku pun bergegas ke kamar mandi. Sempat kulirik ia sekilas, lelaki itu masih larut di atas sajadahnya. Wajahnya menunduk dengan mata terpejam.

Saat aku keluar dari kamar mandi pun, Ibrahim masih belum beranjak. Ia masih khusyu dalam doa. Aku mengambil mukena dan sajadah, kemudian berjalan ke sisi tempat tidur, membentangkan sajadah di sana.

Rakaat pertama aku tidak bisa khusyu. Aku merasa jika Ibrahim terus saja memandangku. Ia berada di sofa dan duduk menghadapku. Astagfirullah. Lindungi aku Allah.

Selanjutnya terus saja begitu. Aku mencoba untuk fokus pada bacaan salat, akan tetapi sia-sia. Ibrahim masih di tempatnya.

Akhirnya salatku selesai. Setelah salam, bukannya kulanjutkan dengan membaca istighfar, malah mataku langsung tertuju ke sofa. Allah! Aku salah sangka, lelaki itu bahkan tidak melihatku. Ia sedang duduk membaca Alquran sambil membelakangiku.

Salatku kacau, apa tidurku malam ini juga akan kacau? Segera kupillih baju tidur panjang berbentuk terusan, tak lupa celana kain panjang yang akan kupakai nanti menjelang tidur. Juga jilbab kurung tak boleh ketinggalan.

Aku harus waspada selama ada Ibrahim di kamar.

Bersambung

***

Ya ampun, Aisyah. Segitunya, ya, takut sama Ibrahim. Tapi bener juga itu, Aisyah waspada, mana tau Ibrahim mau ngapain, kan? 😅😅

Setia selalu sama Aisyah-Ibrahim, ya.
Kepoin juga kisah Luna-Radit dalam cerbung DIPAKSA NIKAH, yeeee😊😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro