Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 4

Terasa kepalaku sedikit pening. Silau cahaya membuat mataku mengerjap beberapa kali. Kurasakan juga sentuhan lembut di pucuk kepalaku. Kemudian tangan itu berpindah ke pipi, mengelus perlahan. Aku memaksa untuk membuka mata. Walau masih sedikit berkunang, retinaku bisa menangkap wajah umi yang ada di dekatku. Wanita paruh baya itu menatapku penuh iba. Namun, segaris senyum tersungging di sana saat aku mulai memanggilnya.

"Mi, aku malu."

Aku tidak sanggup menyimpan perasaan yang terus bergejolak. Tidak bisa kubayangkan saat Abi menhucapkan ijab dan Ibrahim menyahutinya. Sekarang aku telah sah menjadi istri si preman itu. Ya, maksudku mantan preman itu, tapi siapa yang bisa menjamin jika dia serius untuk bertaubat?

"Aisyah, anak Umi tidak begitu. Aisyah yang Umi kenal bukanlah seorang yang plin-plan. Apalagi sekarang kamu sudah sah menjadi seorang istri. Tugasmu hanya melayani suami untuk mencari ridha Allah. Jangan ada ketifak ikhlasan dalam benakmu, karena itu akan menguras energi positif. Juga akan menguras setiap pahala seorang istri. Akhirnya lelahmu tidak menjadi lillah."

Umi berujar lembut sambil tak henti mengelus rambutku yang tergerai. Kurasa jilbab yang tadi kukenakan dibuka saat aku pingsan.

"Jika Umi diposisiku, bagaimana sikap Umi?" Aku masih tidak bisa menerima semuanya.

"Jika Umi ada diposisimu, Umi akan berterus terang kepada Abi sebelum hari ini tiba. Bahwa Umi tidak setuju atau keberatan."

"Aku, 'kan, sudah bilang dari awal sama Abi jika keberatan dijodohkan dengan lelaki tatoan itu, Mi, tapi Abi bersikeras."

"Kalau sudah begitu, berarti Abimu memang melihat sesuaru yang sangat istimewa yang ada pada diri Ibrahim. Sesuatu yang kita tidak bisa melihatnya. Insting Abi pasti lebih tajam, Sayang. Dan yang pastinya tidak mungkin Abi serta Umi ingin menjerumuskanmu. Kamu itu harta kami, Aisyah. Jika kamu sakit, kami juga ikut sakit. Jika kamu bahagia, maka kami akan tenang lahir dan bathin."

Aku terdiam mendengar kalimat Umi. Baiklah, aku akan mencoba berdamai dengan diri sendiri. Tapi bukan berarti aku bisa menerima dia secepat itu. Biarkan waktu bergulir, dan waktu akan memberikan jawabannya sendiri.

"Ingat, Sayang. Kamu sekarang seirang istri. Jangan mempermalukan Abi dan Umi. Kami menaruh kepercayaan di pundakmu. Jagalah itu!"

Umi menggenggam tanganku erat. Seakan ingin memastikan jika aku akan menjadi istri yang baik untuk lelaki tatoan itu. Namun, lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Aku tidak mau Umi sedih jika aku terus saja membantah.

"Mi, aku haus. Mau minum."

"Baik. Umi akan meminta Ibrahim untuk membawa air minum ke sini. Umi harus ada di samping Abimu. Tamu undangan masih ada di luar."

Jantungku seakan berhenti berdetak saat Umi menyebutkan nama Ibrahim. Aku belum mengharapkan kehadirannya. Apalagi drngan kondisiku seperti ini. Ah!

"Kamu jangan ke mana-mana. Kondisimu masih lemah." Umi berujar sambil berlalu. Wanita itu sangat patuh kepada Abi. Cintanya kepada Abi tidak bisa dikiaskan dengan apa pun. Kesetiaan Umi tak lagi bisa dipungkiri. Abi yang berawal dari orang yang tidak punya apa-apa, hingga kini telah sukses dengan beberapa bisnisnya. Umi tetap setia mengikut ke mana Abi pergi. Berpindah tempat, berganti kontrakan, tapi Umi tidak pernah mengeluh. Cinta mereka telah teruji.

"Assalamu'alaikum ...."

Lamunanku buyar begitu mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu kamar. Pasti ktu Ibrahim yang datang membawa air minum pesananku tadi.

"Sebentar, jangan masuk dulu."

Aku menyadari jika sedang tidak berjilbab. Dengan susah payah aku bangkit dan menarik jilab ala kadar yang terletak di atas meja rias.

"Sudah. Masuk!" seruku.

Kulihat lelaki itu berjalan menunduk dan agak membungkuk. Tangannya memegang segelas air putih untukku. Jarak.kami semakin dekat. Langkahmya terhenti di pinggir ranjang. Tanpa sepatah kata aku meraih gelas yang ia sodorkan. Setelah menghabiskan isinya, gelas itu kembali diambil oleh Ibrahim.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya lelaki itu.

"Sudah agak baikan."

Suasana kembali sepi. Aku duduk di tepi ranjang sambil memainkan ujung jari. Tidak kulihat bagaimana ekspresi Ibrahim. Entah ia sedang menatapku atau kami sama-sama sedang tertunduk tidak tahu ingin membahas apa.

"Em ... Aisyah. Maafkan aku. Aku tau kamu terpaksa menerima ini. Karena baktimu pada orang tuamu."

Aku menarik napas panjang mendengar kalimat Ibrahim. Baguslah jika dia tahu semua ini adalah sebuah keterpaksaan.

"Aku akan menerima bagaimana pun sikapmu terhadapku. Biarkan waktu yang menjawab itu semua. Namun, satu saja yang kumohon darimu. Itu pun jika kamu tidak keberatan. Karena aku sebagai seorang pemimpin rumah tangga. Hal lain tidak akan kupaksakan. Tapi, apa pun alasannya jangan pernah berbicara tentang perceraian."

Aku kaget. Sudah sejauh itu dia berpikir. Padahal belum sampai dua jam dia mengucapkan ikrar pernikahan. Apakah dia sama juga seperti aku, terbeban dengan pernikahan ini?

"Kita lihat nanti. Pembicaraan sudah terlalu jauh. Masih banyak hal lain yang harus diselesaikan." Aku berkata dengan nada yang sedikit kutegas-tegaskan.

"Ya, kita memang baru memulai. Dan aku memulai dengan memberitahukan itu semua. Aku tidak mau nama Abi dan Umi tercoreng karena perceraian kita."

Setelah menyelesaikan.kalimatnya, Ibrahim berdiri dan berjalan ke arah pintu. Aku meliriknya tanpa kutahu jika ia juga sedang melihat ke arahku. Mata kami saling bertemu. Seram! Kesan itu masih belum biisa hilang. Separuh wajahnya dipenuhi tato, bagaimana aku bisa membayangkan bentuk wajah yang sebenarnya. Apalagi dari mata lelaki itu, tidak kutemukan keteduhan. Bola putih itu telah menyatu menjadi hitam. Hanya kengerian yang tersisa.

Aku segera menunduk mengalihkan pandangan. Dia pun membuka pintu kamar dan meninggalkanku sendirian. Itu lebih baik. Aku ingin beristirahat sejenak.

***

Suasana rumah yang tadinya ramai, kini kembali sepi. Malam telah mennmyelimuti bumi. Di rumah hanya tersisa rasa lelah. Masih ada beberapa orang suruhan Abi yang bekerja membersihkan rumah. Termasuk Ibrahim. Ia juga terlihat menyapu ruangan yang tadinya digunakan untuk tempat acara.
Klise sekali, cari muka!

Aku melihatnya dari jauh. Tidak ingin juga membantu. Biarkan saja dia bekerja bersama yang lain. Beberapa saat kemudian, Abi datang menghampiri Ibrahim. Abi membisikkan sesuatu. Kulihat Ibrahim meletakkan sapunya dan berjalan ke arah dapur. Aku teperanjat saat kurasakan tepukan di bahu. Lbih kaget lagi ternyata Umi sedang memperhatikanku.

"Kamu ngapain intip-intip di sini? Sana susul Ibrahim. Sediakan makan malam untuknya. Apa tidak lapar sudah jam segini?"

Aku tersenyum ke arah Umi. Ada rasa malu karena ketahuan sedang memperhatikan Ibrahim. Buru-buru aku berlalu dari hadapan Umi. Menyusul Ibrahim ke dapur. Di sana, lelaki itu sedang menyiapkan makan malamnya. Ah, aku salah. Bukan untuk dia saja, melainkan Ibrahim menyiapkan dua piring di sana. Ia telah meletakkan dua gelas panjang air putih. Ibrahim sedang mempersiapkan makan malam kami. Begitu kakiku memasuki dapur, ia tersenyum ke arahku. Rasa tidak enak itu kembali muncul. Melihat deretan giginya yang tidak lagi seimbang membuat hatiku kejang-kejang.

Ia menyingkap lengan baju  koko yang ia kenakan. Mempersilakan aku untuk duduk dan menikmati makan malam bersama.

"Baru saja aku mau menyusulmu ke kamar, eh, kamu sudah ada di sini. Mari makan."

Aku menarik kursi dan duduk berhadapam dengan Ibrahim.

"Lain kali tidak usah repot-repot. Aku bisa mengurus sendiri."

Ibrahim seolah tak mendengar. Ia sibuk memilih menu dan meletakkannya di piringnya. Kemudian menyodorkan kepadaku lauk yang ada di atas meja.

"Aku bisa sendiri!" Aku berkata kesal.

Dia seolah tidak mendengar. Lelaki itu melahap nasinya perlahan. Sedangkan aku, napsu makanku kembali menguap. Padahal perut sudah sejak tadi keroncongan.

"Makanlah. Nanti sakit."

Apa? Aku tersedak mendengar kalimatnya. Hampir saja gelas yang kupegang lepas dari tangan. Sudah mulai memberikan perhatian. Tapi, maaf. Aku tidak butuh itu.

BERSAMBUNG

Aisyah, hati-hati!
Besok aku Up kondisi mereka berdua saat di kamar. Gimana, nih?

Masih risih gak?

Hahahhaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro