PART 3
Desas-desus perjodohan tersiar ke seluruh pelosok komplek perumahan tempatku tinggal. Mereka menyayangkan ketergesaan Abi dalam bertindak. Baru saja kenal beberapa waktu, tapi sudah berani menjodohkan. Entah itu orang dengan agama yang bagus dan sudah mapan, melainkan dengan seorang mantan preman yang pengangguran.
Aku tahu kabar itu dari Umi. Menurut Umi biarkan para tetangga menyimpulkan sesuai dengan keinginan mereka. Keputusan Abi dan Umi sudah bulat, tidak bisa diganggu gugat. Setelah beberapa kali pertemuan dengan Ibrahim, akhirnya aku memutuskan untuk menerima perjodohan dari Abi.
"Apa kamu sudah yakin, Aisyah? Pernikahn bukan sebuah permainan. Aku hanya ingin menikah untuk selamanya, bukan sementara," ujar Ibrahim tempo hari.
Jika ditanyai apa sudah yakin atau tidak, aku tidak bisa menjawab. Hanya saja, aku berusaha yakin terhadap pilihan Abi. Abi mencintaiku melebihi dirinya sendiri, sungguh tidak mungkin jika Abi salah memilih. Dibalik ini semua, pasti ada campur tangan Allah yang tidak terlihat.
Satu minggu lagi pernikahan akan digelar. Menurut penuturan Ibrahim kepada Abi dan Umi, ia hanya mengajak ibunya untuk mendampingi di hari yang bersejarah itu. Karena kondisi ekonomi yang serba pas-pasan, maka keluarganya yang lain hanya ikut mendoakan saja. Untuk kedatang sang ibu pun, Abi-lah yang menfasilitasi semuanya. Mulai dari biaya keberangkatan dan lain sebagainya. Sedangkan mahar hanya seperangkat alat salat dan sebuah cincin sederhana yang dibeli dari hasil tabungan Ibrahim selama membersihkan mushalla komplek.
***
"Kamu sudah yakin dengan pilihanmu?" Aulia bertanya serius. Dulu, saat aku ingin mundur, dia memaksaku untuk mengenalnya terlebih dulu. Disaat hari pernikahan sudah di depan mata, malah dia kembali menumbuhkan keraguanku. Ah!
"Bukan pilihanku, tapi pilihan Abi."
"Ya, maksudku itu. Kamu sudah yakin mau menikah muda?"
"Aiih, Aulia! Kamu mau bikin aku pusing, ya. Jangan tambah keraguan di hatiku!" seruku agak kesal.
Dia malah menertawai tingkahku. Apa ada yang lucu? Pipi berisinya sampai kemerahan begitu.
"Kamu lucu, Aisyah. Apa sanggup Ibrahim menghadapi sikapmu nanti?" Dia berbicara di tengah tawa yang belum berhenti.
"Terserah, deh!"
Percakapan siang tadi dengan Aulia membuat keraguan kembali membuncah. Membayangkan Ibrahim dengan gigi patah-patahnya. Suamiku bertato, apa kata orang-orang? Ya Allah. Apa aku berani nantu berjalan beriringan dengannya? Ditambah lagi tidak ada keteduhan saat memandang matanya. Yang terlihat hanya warna hitam dan menakutkan. Apalagi telinganya sudah bagai orang cacat saja. Bagaimana cara menutup lobang lebar di telinga itu? Ah, Abi, ujian apa yang Abi berikan untukku?
Setiba di rumah tampak Abi dan Umi sedang serius membahas sesuatu. Aku ingin segera melewati mereka. Kepalaku sejak tadi terasa berdenyut. Semakin dekat hari pernikahan itu, semakin tak menentu pula hari-hariku. Entah bagaimana dengan Ibrahim. Kami sudah tidak pernah bertemu lagi setelah tanggal pernikahan ditetapkan.
"Aisyah, duduk sebentar, Nak."
Setelah bersalaman, Abi pun menyuruhku untuk duduk. Dengan berat hati kuletakkan tas ransel di samping kursi dan ikut duduk bersama mereka. Aku memilih kursi yang berhadapan dengan Abi dan Umi.
"Kamu sudah ikhlas menerima Ibrahim, 'kan?" Abi memulai percapakan.
Kenapa, sih, Abi suka sekali memberikan pertanyaan yang sama? Jika pun kujawab tidak ikhlas, apa semuanya bisa berubah? Apa bisa pernikahan itu dibatalkan?
"Insya Allah, Bi." Terpaksa aku berbohong
"Alhamdulillah. Persiapkan dirimu, Aisyah. Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang istri." Umi ikut bersuara.
"Ya, Mi."
Aku sedang malas berargumen. Lebih baik mengiyakan saja, dari pada ujung-ujungnya medengar cerama kembali dari Abi. Tak berapa lama, Abi pun menyuruhku untuk masuk ke kamar.
Hari bergulir begitu cepat. Perasaan tidak enak semakin jelas terasa. Antara rasa takut dan putus asa. Ya, aku putus asa dengan nasib. Padahal ada beberapa ikhwan di kampus yang ingin berta'aruf denganku melalui murabbi, akan tetapi aku menolak mereka secara halus. Alasannya satu, karena mereka masih kuliah dan menurutku belum saatnya untuk menikah. Namun, kali ini rasa penyesalan itu muncul, kenapa tidak kuterima saja salah satu dari mereka, sehingga Abi tidak perlu menjodohkanku dengan Ibrahim.
Semakin banyak yang kupikirkan, rasa sakit kepala ini pun semakin bertambah. Gairah hidupku seakan menguap. Harapan untuk menatap hari esok seakan sirna sudah.
Hari terus berganti, dan tibalah hari di mana aku akan menjadi seorang istri dari Ibrahim. Lelaki yang sama sekali tidak kucinta. Jangankan di kehidupan nyata, di dalam mimpi pun aku tidak pernah mengharapkannya. Khayalanku terus mengawang entah ke mana. Aku masih berharap jika Ibrahim akan membatalkan pernikahan.
"Mba, permisi, saya mau pakaikan jilbabnya." Suara ibu pengrias membuyarkan lamunanku. Kembali kutatap wajah yang terpantul di cermin. Tidak terlihat aura bahagia. Yang ada hanyalah sebuah beban yang sedang dipikul. Belum kutemui rasa ikhlas itu. Aku masih belum bisa menerima semua ini.
Kebaya panjang berwarna putih tulang itu membalut tubuhku sempurna. Ditambah dengan browkat berwarna senada membuat penampilan terlihat begitu elegan. Jilbab yang telah ditata dengan rapi melingkar manis di wajahku. Ujung jilbab menjuntai menutupi bagian dada dengan mahkota kecil yang bertengger indah di atas kepala. Sempurna!
Penampilanku tidak buruk. Hatiku saja yang sedang susah untuk diajak tenang. Tidak ramai yang diundang Abi, hanya beberapa teman, tetangga serta keluarga dekat. Tidak perlu ramai yang diundang, yang penting adalah kesakrakannya, begitu pendapat Abi.
Aku diminta untuk keluar, prosesi pernikahan akan segera dimulai. Aku menundukkan wajah, tidak berani menatap ke sekeliling. Apalagi jika harus bertemu tatap dengan Ibrahim, belum sanggup hati. Mungkin saja perlu waktu lama untuk membuka hati menerima dia sebagai suami.
Aki didudukkan di barisan ibu-ibu. Ada Umi disampingku. Wanita itu mengambil jemariku dan menggenggamnya, seolah ingin menyalurkan energi untuk putrinya yang sedang gulana.
"Kamu hebat, Nak. Bantu Ibrahim untuk menggapai surga Allah." suara Umi terasa bergetar. Aku sedang mencerna maksud dari perkataan Umi, apakah ini cara Abi agar Ibrahiim mudah untuk dirangkul? Abi mengorbankanku demi dakwah? Abi merenggut masa depanku yang telah kutata sendiri? Seketika hatiku ingin berontak. Membatalkan pernikahan dan berlari dari hadapan mereka semua. Sayangnya, itu hanya mampu kulakukan dalam pikiran aku tidak seberani itu. Aku tidka berani untuk bertindak terlalu jauh.
"Ananda Ibrahim bin Yahya Husein, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama : Siti Aisyah dengan maskawinnya berupa sebuah cincin emas dan seperangkat alat salat., Tunai." Abi membacakan ijab di depan seluruh saksi dan tamu undangan. Dadaku bergemuruh. Aku belum siap ya Allah.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Siti Aisyah binti Umar Harahap dengan maskawinnya yang tersebut, tunai." Suara Ibrahim terdengar lantang membacakan qabul. Sadaku terasa sesak. Rasa mual mulai menyeruak. Kepalaku terasa pusing dan berputar. Keringat dingin membasahi pelipis dan telapak tangan. Aku hoyong ke kanan, kurasakan tubuhku ambruk di saat kata-kata SAH dari para saksi bergema. Setelah itu semuanya menjadi gelap.
Bersambung
Aisyah ... Aisyah. Masa pingsan di hari bahagia? Pasti dia bayangin Ibrahim saat tertawa, ya. Giginya itu lho, patah-patah kayak habis tawuran😂
Ditambah tatoan, mending tatoan atau panuan?? Wkwkwkkw
Dua-duanya enggak banget, deh.
Kalau kamu dijodohin sama mantan preman kayak si Ibrahim, kira-kira gimana pendapat kamu?
Koment, ya😙😙😙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro