PART 1
"Lebih baik menikah dengan mantan preman, daripada berumah tangga dengan mantan ustadz." Abi masih merayuku. Sejak pagi tadi tak lelah-lelahnya lelaki itu melepaskan jurus maut yang ia miliki. Memaksaku untuk menikah dengan Ibrahim--lelaki yang baru satu bulan ini belajar agama bersama ayah. Ayah sengaja membuka pengajian sore khusus untuk mantan-mantan preman yang ingin jauh mengenal islam. Mereka terdiri dari mantan pembunuh, mantan anak punk, mantan preman dan masih banyak lagi.
"Jadi kenapa harus aku, Abi?" tanyaku masih dengan nada tidak suka. Menurutku Abi terlalu memaksa kehendak. Padahak aku juga punya hak untuk memilih, pasangan seperti apa yang kuinginkan. Yang kelak akan menjadi imam serta partnerku dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak. Jadi bagaimana ceritanya kalau itu seorang preman? Ya, walaupun mereka bilang sudah mantan. Tetap saja dia dulunya preman, bisa saja suatu saat nanti akan berbalik lagi menjadi preman. Toh, sudah mendarah daging. Siapa yang bisa menjamin jika ia akan terus baik sepanjang masa? Tidak pernah terbayang bagaimana rumah tangga kami akan berlangsung nanti.
"Kamu itu perantara Abi, Sayang. Agar hidayah itu selalu menjadi miliknya. Abi lihat dia bersungguh-sungguh. Dan dia sendiri yang memilih nama hijrahnya itu, lho." Abi masih melontarkan kalimat manis.
"Tidak, Abi. Aku tidak mau!" Dengan rasa kesal aku berlalu dari dapur. Meninggalkan Umi dan Abi.
Tak berapa lama, Umi menghampiriku ke kamar. Wanita bermata teduh itu mengusap pucuk kepalaku pelan. Kurasakan kasih sayang yang tulus mengalir dari tiap sentuhan jemarinya. Wanita penyabar yang mencintaiku sepanjang masa.
"Aisyah, apa alasanmu tidak mau menikah dengan Ibrahim?" tanya Umi lembut.
Rasa kesal yang tadi sempat hilang kini muncul lagi. Umi dan Abi sama saja menurutku. Sama-sama memaksakan kehendak.
"Aku tidak mau, Mi. Tidak selamanya sesuatu yang tidak kita inginkan itu memerlukan alasan, Mi."
Umi hanya geleng-geleng kepala melihatku. Aku menatap Umi, mengharap pengertia dari wanita itu.
"Apa kamu takut dengan Ibrahim?"
"Ya, itu salah satunya."
Bagaimana tidak takut? Lelaki itu baru saja mengenal islam. Dia baru saja belajar tentang islam. Tidak ada yang tahu motifnya apa. Apa dia tulus atau hanya sekadarnya saja. Bisa jadi sedang ada sesuatu yang dia incar di sekitaran kompleks kami tinggal. Siapa yang tidak curiga? Bisa jadi dia hanya sedang menjadi mata-mata. Aku bergidik membayangkan itu. Mengerikan!
"Istikharahlah, semoga Allah membantumu." Umi menutup obrolan. Wanita itu berjalan ke luar kamar. Tak lupa ia menutup kembali pintu kamar setelah berada di luar.
"Besok menjelang siang, Ibrahim datang untuk melihatmu atas perintah Abi. Umi harap kamu mau untuk menemui dan ngobrol dengannya. Walau pun hatimu belum terbuka, setidaknya hargailah dia sebagai tamu. Memuliakan tamu itu wajib, Sayang!" seru Umi kembali. Ia membuka kembali sedikit pintu kamar.
Ah! Kenapa tidak ada yang mau mengerti keputusanku. Menikah bukanlah hal yang bisa dipermainkan. Duh, Abi! Kenapa lelaki yang kucintai itu bisa sangat yakin terhadap lelaki yang bernama Ibrahim. Atau ... jangan-jangan Abi telah dihipnotis? Apa Umi juga ikut-ikutan dihipnotis? Aaahhh!
***
Setelah makan siang, aku bersiap-siap untuk ke kampus. Tidak ada mata kuliah hari ini. Aku hanya ingin bertemu dengan Aulia. Mungkin saja dia bisa memberikan solusi atas masalahku. Setelah berpamitan kepada Abi dan Umi, aku bergegas menaiki motor dan menghidupkannya. Cuaca tidak begitu panas. Bekas siraman hujan yang sejak pagi mengguyur bumi masih terlihat jelas. Aroma khas setelah hujan menghujam indera penciuman. Aku selalu menyukai hujan dan aroma yang ditingglkan setelah hujan berhenti.
Perlahan aku mengendarai motor matic-ku. Terasa angin sepoi meniupkan ujung jilbab berwarna lavender yang kukenakan. Jalanan kompleks tidak terlalu lebar. Aku tidak bisa menancap gas, takut jika tiba-tiba ada anak-anak yang muncul dari ujung gang dan lain sebagainya. Benar saja perkiraanmu, aku hampir saja menabrak seorang laki-laki yang mengendarai sepeda. Dia keluar dari ujung gan sebelah kiri. Aku tidak melihat karena tertutupi oleh mobil yang terparkir di pinggir badan jalan.
"Maaf!" seruku setelah menghentikan laju motor.
Leaki penuh tato itu menatapku. Oh, aku melihatnya sekali lagi. Tato-tato itu tidak hanya memenuhi wajah dan leher si lelaki. Namun, matanya sebelah kanan juga menghitam. Tidak terlihat mata putih di sana. Allah! Lelaki itu juga menato matanya. Aku merinding. Ditatap begitu oleh seorang berandalan. Ditambah kondisi kompleks yang sepi membuatku buru-buru menghidupkan kembali motorku. Sungguh aku sangat ketakutan. Seluruj badanku gemetar. Lelaki berambut agak gondrong itu masih saja menatapm kulirik sekilas, ia malah menyunggingkan senyum yang menurutku menambah kesan kengerian.
"Aku yang seharusnya minta maaf. Tidak melihat kiri-kanan." Ia berkata sambil mendorong sepedanya mendekatiku.
Dengan perasaan tak karuan, aku malah melaju tak menghiraukan ucapannya. Terserah dia mau ngomong apa, rasa takutku telah mengalahkan segalanya.
Tak lama aku pun tiba di kampus. Tak henti istighfar kulantunkan dalam hati. Selama perjalanan wajah si lelaki bertato terus membayangi pikiran. Dia amat menakutkan.
Aku bergegas menuju tempat yang telah kami janjikan sebelumnya. Ternyata Aulia telah menanri di sana. Ia tersenyum dan melambaikan tangan melihat kedatanganku.
"Assalamu'alaikum, Manis. Ada angin apa, nih, mendadak ajak ketemuan?" tanyanya semringah.
"Wa'alaikumsalam, Sayang. Maaf kamu sudah lama menunggu." Aku berujar sambil menarik kursi plastik milik kantin kampus kami.
Tanpa menunggu lama, aku pun menceritakan kepada Aulia--sahabatku sejak semester satu--perihal pernikahan yang selalu Abi arahkan. Aku menceritakan secara detail tanpa menghilangkan satu bagian pun. Aulia menyimaknya dengan baik. Selalu begitu, dia adalah sahabat yang ada di kala suka dan duka.
"Alasan kamu menolak apa? Sedangkan kamu belum melihat sosok Ibrahim itu seperti apa."
"Aiih! Kamu, kok, jadi ikut-ikutan Umi Abi, sih?"
"Lha, aku cuma mau tau alasan kamu menolak jodoh yang diberikan Abi." lanjut Aulia.
"Ya ampun, Aulia. Dia itu preman, lho. P-R-E-M-A-N! Kalau kamu di posisi aku, kamu mau disuruh nikah sama dia? Kalau mau, yuk kita ganti posisi!" Aku merasa kesal dengan pertanyaan Aulia.
"Ya sudah, besok kamu jumpai dulu si Ibrahim itu. Tidak salahkan hanya saling kenalan?"
Aku menarik napas berat. Kenapa semua orang tidak ada ya g berpihak padaku, bahkan sahabatku sendiri. Tidak mungkin juga, kan, kalau lelaki itu telah menghipnotis Aulia. Ah! Ujung-ujungnya aku harus mendengarkan saran Aulia. Besok berkenalan dengan Ibrahim. Mantan preman yang dijodohkan Abi denganku. Namun, jangan memintaku untuk menerima dia, mengingat dia alumni sekolah preman saja sudah membuat bulu kudukku merinding. Apa lagi harus hidup seatap, setiap hari bertemu tatap. Melakukan hubungan suami istri dengannya, ya Allah, membayangkannya saja aku sudah ngilu duluan.
Diperjalanan pulang, rintik hujan menemaniku sepanjang jalan. Pikiranku masih tertuju kepada Ibrahim seperti apa rupa lelaki itu. Abi adalah sosok yang sangat pemilih. Berteman dengan lelaki saja aku sudah kena siraman rohani darinya. Abi tidak pernah bisa diajak kompromi masalah itu. Umi dan Abi sangat menjagaku, apalagi aku adalah anak mereka satu-satunya. Nah, sebaik apakah pemuda itu? Baru satu bulan dikenal Abi, tapi Abi sangat yakin dengan lelaki tersebut. Namanya selalu menghiasai obrolan keluarga kami. Tak pernah Abi ketinggalan menyebutnya. Satu saja kebaikan kecil yang telah ia lakukan, akan Abi ceritakan berulang-ulang, hingga kadang aku menjadi bosan.
"Baiklah, besok aku akan melihat lelaki itu. Seistimewa apa dia, sehingga bisa meluluhkan hati Abi untuk menyerahkanku kepadanya."
Bersambung
***
Hay hooo pembaca setiakuuu.
Aku datang dengan judul cerbung baru. Eiiits, tapi tenang dulu, cerbung DIPAKSA NIKAH tetap lanjut, kok. Aku akan post selang-seling.
Semoga teman-teman suka, ya. Aku terinspirasi dari cerita seorang mantan preman yang kutonton di youtube. Hanya saja versiku pasti telah banyak gubahannya. Kalau di youtube, dia hanya mengkisahkan kenapa dia insaf. Nah, di sini, aku bikin si preman jatuh cinta tanpa menghilangkan proses-proses jalannya mencari cahaya Ilahi.
Oke, setia selalu, ya😙😙😙😙
MAKASIIIII😙😙😙😙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro