Ada Apa dengan Rangga?
Cerita ini dimulai dengan kekhawatiran.
Di dalam rumah Bapak dan Ibu Andre, tepatnya di ruang tamu yang biasanya sepi seolah dipasangi peredam suara suara, terdengar suara menembus tembok tetangga. Para tetangga sebelah yang begitu mengenal mereka sejak pertama kali pindah, hampir mengerti bahwa ada yang tak beres pada keluarga itu. Mungkin ada kebakaran, atau kemalingan, atau gunung meletus persis di bawah rumah itu. Bukan karena mereka berharap keluarga itu tertimpa musibah, tetapi butuh peristiwa mahadahsyat agar keluarga yang biasanya hening itu mau bersuara.
Sementara itu, di tempat suara itu berasal, telah terjadi peristiwa bersejarah. Untuk pertama kalinya dalam tahun ini, dan kelima kalinya sejak pertama kali menikah, Bapak dan Ibu Andre berdebat hebat. Biasanya, tiap kali ada perbedaan pendapat, berakhir damai sebelum helaan napas ketiga. Atau kalau masalahnya agak rumit, biasanya baru bisa selesai dengan SMS singkat.
Tapi kali ini, tak ada yang mau kalah. Mereka saling bersikeras mempertahankan pendapat. Tak ada yang mau mengalah.
Meskipun, jauh di lubuk hati terdalam, mereka tahu pasti bahwa sebagian besar masalah ini adalah tanggung jawab mereka.
Kode genetik, yang mau tak mau, suka tak suka, akan selalu meneruskan sifat bawaan induknya. Hasil dari persilangan genetik dua orang introver, adalah anak super introver. Dua orang pemalu yang menikah, hampir pasti menghasilkan anak super pemalu. Sebab, buah jatuh tak jauh dari pohonnya--kecuali kalau dicolong tetangga.
"Ini gak bisa dibiarin," kata Bapak Andre menggebu-gebu. "Kita harus bertindak, Bu!"
"Apa gak bisa kita biarin terjadi secara alami, Pak?" kata Ibu Andre, cemas.
"Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?" tegas Bapak Andre.
"Memangnya apa yang dia lakukan? Ibu lupa deh."
"Apa yang dia lakukan adalah tidak melakukan apa-apa!"
*****
Anak laki-laki pendiam, yang betulan hanya diam di dalam kamar itu, bernama Rangga. Di sana dia hanya rebahan di kasur, menatap kosong langit-langit kamar. Orang-orang mungkin akan kesulitan membedakannya dengan batu pahatan, kalau saja dia tak bernapas.
Seandainya tidak melakukan apa-apa bisa dianggap sebuah bakat, Rangga pasti termasuk orang dengan bakat paling cemerlang.
Di kompleks, keluarganya dikenal sebagai keluarga paling pasif, antisosial. Mulai dari sang bapak yang dikenal tertutup dan tak pernah menegur orang duluan. Sang ibu yang pendiam, bahkan ketika dihadapkan pada kegiatan bergunjing yang adalah nikmat dunia yang nyata, dia lebih banyak diam dan hanya batuk. Lalu sang kakak, yang hanya akan bicara ketika sedang lapar minta makan. Dan Rangga, anak bungsu yang menampung gabungan genetik ini, seakan-akan akumulasi dari segala sifat anggota keluarganya digabung menjadi satu.
Sebagai anak Bapak dan Ibu Andre yang introver, ternyata membawa beberapa konsekuensi bagi Rangga.
Antisosial.
Minim komunikasi.
Pemalu.
Minim komunikasi, misalnya. Rangga adalah makhluk paling pendiam yang pernah tercipta. Ketika setiap anak hampir pasti mengucap kata pertamanya, Rangga berbeda. Dia bahkan sempat diduga bisu sebab tak pernah bicara. Bahkan sampai saat ini, hanya beberapa kata yang pernah keluar dari mulutnya, yakni "eh" ketika ngeden, "oh" ketika paham terhadap sesuatu, "aih" ketika kesal. Kebanyakan kata biasanya gagal diutarakan ketika baru sampai di mulut.
Antisosial, adalah warisan yang didapatkan Rangga dan mendarah daging. Adalah suatu tantangan besar untuk membuat Rangga berada di luar rumah. Bahkan saat rumahnya kebakaran pun--kejadiannya di rumah lamanya sebelum pindah ke sini--Rangga lebih memilih menetap di kamar sembari rumahnya dilalap si jago merah. Satu-satunya kesempatan Rangga mau ke luar rumah hanya ketika sholat Jumat. Itu pun karena ancaman bapaknya, "Kamu mungkin kuat nahan api di dunia, tapi api di neraka beda!"
Terakhir, yakni pemalu. Dalam hal ini, rasa malunya bisa dianggap melewati batas wajar. Sebab, tiap kali mau mandi, dia malu buat buka baju. Sehingga, dia mandi selalu berpakaian lengkap. Kadang-kadang dia pakai jas, supaya mandinya berkelas, katanya. Sifat ini juga bikin Rangga hampir pasti kesulitan bertemu orang asing. Selain anggota keluarganya, dia tak kenal siapa-siapa kecuali dokter dan guru homeschooling-nya.
Ketiga sifat utama Rangga itu, kemudian bercampur jadi satu. Puncaknya, ketika suatu hari Rangga tidak ke luar kamar berhari-hari. Bapak dan Ibu Andre yang terkenal introver dan jarang teguran, baru sadar di hari ketiga. Pada hari itu, mereka sadar bahwa sifat pendiam anaknya ini justru menjerumuskan pada gaya hidup tak sehat. Maksud hati mengecek keadaan anaknya, keluarga justru menemukan Rangga terkulai lemas dengan bibir mulai membiru. Sifat introver Rangga ternyata berkembang pada tingkatan: mager bernapas.
Tapi, Rangga tak pernah berubah. Dia hanyalah anak laki-laki pendiam di dalam sebuah kamar. Yang diinginkannya hanya kedamaian. Jika mati berarti kedamaian, maka itu pasti sepadan. Dia hanya ingin ketenangan hari ini. Tanpa ada yang ganggu, tanpa ada berisik suara. Bahkan sekalipun suara derap langkah di luar kamar, yang kedengarannya tergesa menuju arahnya.
Pintu kamar terbuka tanpa diketuk. Dengan perilaku yang agak tumben terjadi, Bapak Andre mendekati Rangga dan duduk di sisi lain kasurnya. Dia tersenyum getir ketika bicara, "Rangga, Bapak tau kita jarang ngobrol. Terutama, Bapak juga orangnya sangat amat jarang bicara."
Rangga berkedip sekali. Pertanda bahwa dia mendengarkan.
"Tapi seenggaknya, Bapak pengin kita ngobrol sekali. Bapak udah tua dan punya riwayat jantung, entah kapan Bapak bisa diambil sewaktu-waktu, bisa besok ..., dan juga sekarang--AH, DADA BAPAK SAKIT!"
Bapak Andre tiba-tiba tersungkur dari kasur sambil sebelah tangan meremas dadanya.
Tapi Rangga hanya cuek. Alih-alih menolong, dia justru mengirim SMS pada bapaknya (SMS adalah jalur komunikasi utama bagi Rangga).
Sambil meringis kesakitan, Bapak Andre membaca pesan yang masuk, "Pak, jantung di sebelah kiri, bukan kanan?" Ada hening canggung sejenak, sebelum tangan Bapak Andre pindah posisi ke kiri, " AH, TADI SALAH PEGANG! SAKITNYA DI SINI! SAKITNYA DI KIRI!"
Beberapa saat kemudian, suara teriakan pun bertambah. Ibu Andre masuk, wajahnya panik.
"Rangga, tadi Bapak bersin di muka Ibu, terus mendadak dada Ibu sakit di sebelah ...," Ibu Andre melihat suaminya menunjuk dada kiri, "di dada sebelah kiri! Kayaknya penyakit Bapak nular!"
Rangga tetap cuek. Dia hanya mengirim SMS kepada ibunya.
Ibu Andre wajahnya masih panik saat membaca SMS yang masuk, "Penyakit jantung beda dengan pilek."
Tak hanya berhenti di situ, satu lagi suara masuk ke dalam kamar. Asalnya dari kakaknya, Sarah. "AH, KAKAK DIPATOK KOBRA! DI LEHER PULA!"
"Udah ketahuan," ujar Bapak Andre ketika sadar akting mereka jelek, terutama akting Sarah.
Tapi Sarah masih lanjut, "KALAU LEHERNYA GAK DIIKAT, BISANYA NYEBAR! TAPI KALAU LEHERNYA DIIKAT, KAKAKNYA MATI! GIMANA DONG INI!?"
"Berhenti bohong-bohongnya, Sarah. Kita ketahuan ...," kata Bapak Andre.
Masih cuek, Rangga hanya mengirim SMS kepada Sarah.
Sarah membaca, "Penanganan bisa ular yang tepat bukan dengan diikat pada area yang digigit. Melainkan, dengan meminimalisir agar korban gigitan tidak banyak gerak."
Rangga mengirim SMS kepada bapaknya, yang kemudian dibaca, "Pak, bisa gak mulai sekarang rumah kita dijadiin masjid? Biar tiap sholat Jumat gak perlu keluar lagi."
Rangga berkedip satu kali, menjelaskan kalau dia sedang memohon.
"Nanti kalau rumah ini jadi masjid, keluarga kita mau jadi apa? Jadi marbot!? Susah amat sih buat bikin dia ngomong!" gerutu Bapak Andre, yang menyerah sambil keluar dari kamar.
Sarah menatap Ibu Andre. Lalu dia berkata, "Tapi, Bu, Sarah beneran dipatok ular ...."
*****
Sebagai introver, kesulitan berkomunikasi dengan orang baru adalah hal yang hampir pasti terjadi. Apalagi hari ini. Setelah capek dengan drama keluarga.
Kabar terbaru, Sarah hampir lewat kalau bukan berkat saran medis Rangga dalam menangani korban bisa ular. Namun, yang bikin Rangga tegang hari ini, yakni ketika dapat kabar bahwa Mas Budi, guru pribadi dari Homeschooling Mari Jaya, bilang hari ini ada guru pengganti.
Panik bertemu orang baru, Rangga berniat mengunci pintu dan jendela kamarnya, lalu kuncinya ditelan bulat-bulat. Kemudian, dia akan memaku pintu dan jendela, sekalian kalau sempat mau dibikin terali besi biar kayak sel di penjara. Dia, sebisa mungkin, akan menutup seluruh akses masuk menuju kamarnya, sekalipun resikonya adalah: terkurung dalam kamar.
Tapi sebagai orang yang hampir tewas sebab terlalu mager buat napas, niat tadi hanya tinggal niat. Seluruh wacana barusan hanya tertinggal di khayalan saja, karena kenyataannya dia hanya akan pura-pura tidur. Selama mungkin. Sampai bangun lagi, dan ....
"Halo!"
Dan mendengar sapaan ceria seorang perempuan ....
"Bener kata Mas Budi, kayaknya kamu gak nyaman sama orang baru. Kita langsung belajar aja gimana?" tawar Gadis sambil menyodorkan buku matematika. "Halo, aku Gadis, karena aku bukan janda. Tapi nama aku emang beneran Gadis. Dan kita seumuran ...."
"Pfft." Rangga buru-buru menutup mulut. Hampir saja! Barusan hampir saja dia ketawa. Bukan cuma sekedar ketawa, barusan dia hampir ketawa di depan orang asing!
"MARI JAYA; kami Homeschooling, bukan toko bangunan!" ujar Gadis tiba-tiba, dengan nada suara ala iklan-iklan TV. "Kata Mas Budi, sebelum ngajar, harus nyanyiin slogan perusahaan kayak tadi. Biasanya gitu, kan?"
Rangga menggeleng.
"Oke, aku dibohongin," Gadis mencebik.
"Pfft."
"Bisa ngerjainnya?"
Rangga mengangkat bahu.
"Kalau nanti ketemu pertanyaan yg susah, jangan khawatir. Kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana saja."
Lalu, HP Gadis berdering. Dalam menit yang singkat, tanpa penjelasan, Gadis pergi dengan mata yang sembap.
"Tunggu ...."
Tapi Gadis telah keluar.
Ditinggal tiba-tiba, Rangga seketika bingung. Napasnya tak karuan. Dia yang dulunya terlalu mager hingga lupa bernapas, justru menemukan alasan untuk bernapas lebih sering.
Rangga, untuk pertama kalinya, merasa mampu melakukan apa pun. Dia akan mencari tahu apa yang membuat Gadis pergi dengan mata sembap. Sekalipun, jawabannya ada di luar rumah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro