15. Pengungkapan
—————
"LO DISURUH SIAPA, RON?!!" Bentakan Raiden yang kesekian kali sepertinya tak membuat Baron gentar. Ia hanya menelan ludah atau sesekali menggeleng.
Garis lengkung terbentuk di bibir Raiden yang tipis dan berwarna alami. Kesan dingin memenuhi auranya.
"Ron, kalo lo gak suka sama gue, kita selesaikan semua ini pakai cara cowok. Gak begini," ucapnya lagi sembari bersandar di sofa cokelat.
Sekarang mereka berada di rumah Ranti. Tak ada pilihan lain selain ke sana karena Raiden memang tak ingin masalah ini dicampuri oleh orang lain lagi. Cukup. Tak perlu ada orang lain lagi yang mengetahui hal buruk mengenai dirinya dan masa lalunya.
"Gue ...," bibir Baron membuka, memutuskan bangkit dari rasa terintimidasinya.
Semuanya menoleh, menunggu lanjutannya. Termasuk Raiden yang tadi sepertinya sudah tak berkeinginan apa-apa selain membuat biru wajah Baron dengan kepalan tangannya.
Trisna sepertinya juga masih penasaran. Matanya tak berubah haluan sejak beberapa menit yang lalu, tetap fokus pada mimik Baron.
Baron juga tak kuasa untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi, ia sudah sangat merasa bersalah pada Raiden. Karenanya, Raiden menjadi tertekan sendiri dengan sikap Trisna yang menjauhi dirinya.
Di sisi yang lain, ia juga takut. Apa yang telah direncanakan olehnya dan Sendra berhenti sampai disini. Bagaimana dengan Sendra? Dan amanah yang diberikan padanya?
"Ini semua bukan kemauan gue," ungkap Baron menyelesaikan debaran di dadanya.
Setidaknya, debaran di dadanya sedikit berkurang dengan keterangan yang diungkapkannya barusan. Meski mendatangkan kecanggungan dan kekhawatiran baru.
"Siapa yang nyuruh lo?" Patah-patah Trisna mengucapkannya. Ia syok bahwa masih ada kejutan pada masalah rumit ini. Sumpah, setelah masalah ini selesai. Ia takkan andil lagi pada masalah-masalah yang sama rumitnya dengan ini.
Mendengar pertanyaan Trisna, kekhawatiran yang baru saja diprediksinya pun kian membuncah.
Jantungnya kembali berdebar tak keruan. Napasnya kembali tak tenang, namun Baron berusaha menutupi dengan menghela napas dalam.
Dan mengatakan yang sejujurnya, "Sendra."
Seketika, Trisna yang sejak tadi menahan napas sejenak tercenung. Ia sedikit tak percaya dengan apa yang baru saja dikemukakan Baron.
"Lo serius, Ron?" ucap Raiden seakan langsung bisa membaca apa yang sedang Trisna rasakan. Pertanyaan itu sudah mewakilinya.
Baron tegas mengangguk. Keputusan untuk menjelaskan semuanya sudah bulat, meski entah apa yang kelak terjadi padanya.
Semuanya diam, sejenak menikmati keheningan. Saling berkecamuk dengan pikiran masing-masing mengenai apa yang baru saja terjadi atas mereka.
"Lo goblok, Ron!" seru Ranti tiba-tiba membuat semuanya sontak menoleh padanya. Kini, wajah Ranti lurus-lurus menatap Baron yang setengah tertunduk.
Ranti meluruskan tangannya yang sejak tadi bersedekap, serta menarik napas dengan mata terpejam. "Lo ngapain mau disuruh Sendra? Lo bego kan?! LO BEGO?!!" ujarnya sengit, namun kali ini dengan posisi berdiri. Jadi mudah baginya untuk melakukan apa pun sesuai apa yang dikehendaki amarahnya.
Tapi semua temannya diam saja. Bahkan menoleh pun tidak, hati mereka masing-masing masih mencerna apa yang terjadi.
"Maaf, maafin gue. Ini ...," Ucapan Baron terpotong. Bukan, bukan karena kemarahan Ranti kembali meluap. Tapi, karena Baron memang sengaja mengehentikan ucapannya.
Dengan tatapan pasrah, ia memberanikan diri menatap lurus ke arah mata Ranti, setelah sekian lama menunduk karena jerih akan kemarahan gadis berambut dicepol ini.
"Terserah lo, Ranti. Terserah lo." Sikap yang dituturkan oleh Baron membuat Ranti sedikit kasihan. Sorot mata tajam yang sejak tadi ia berikan sepenuhnya pada Baron kini teralih.
Kepala Raiden menggeleng-geleng kecil, kenyataan ini membuatnya tersadar akan sesuatu. Dunia yang ia kira sudah berjalan sesuai mimpinya ternyata malah berubah menghujamnya ke dalam palung menyedihkan.
Temannya yang lebih ia anggap sebagai saudara malah melakukan hal seburuk ini, hanya untuk membuat gadis yang ia sukai menjauh darinya.
Sungguh tak adil!
Belum lama setelah Raiden memikirkan ini. Ia memutuskan pergi. Dengan segala kekuatan yang masih tersisa di badannya. Ia paksakan dirinya untuk bangkit dan pergi dari sana. Karena peristiwa petang kali ini, sudah cukup membuatnya olahraga jantung.
Skip
Sekarang Trisna yang gundah. Perihal Sendra, mungkin hanya beberapa menit saja menyita otaknya. Tak ada yang perlu dipikirkan mengenai mantannya yang satu itu. Trisna sudah tahu baik dan buruknya Sendra, cukup tahu.
Gundahnya kini hanya tentang Raiden. Hanya dia seorang yang ada dipikiran Trisna. Entah bagaimana hanya manusia gondrong, sok berani dan penuh dengan kepercayaan diri itu yang ada di otak Trisna.
Sembarang pikiran mengenai Raiden hinggap di kepalanya. Tentang bagaimana perasaan saat ini, bagaimana keadaannya. Bahkan terbesit pikiran apakah Raiden sudah mandi apa belum?
"Loh loh? Kok gue malah mikirin Raiden berlebihan gini, sih?" Sekejap setelah berpikir yang aneh-aneh tentang Raiden, Trisna langsung urung memikirkannya.
Sembari menepuk-nepuk bahunya, ia berdiri dari posisi duduknya di karpet. Meraih ponsel yang ada di meja belajar. Berencana akan mengirim pesan pada Raiden. Keadaannya pasti terguncang.
From : Trisna Jalavani Anai
To : Raiden -_-
Den, lagi apa?
Selesai mengirim pesan itu. Trisna dibuat terkejut dengan balasannya.
From : Raiden -_-
To : Trisna Jalavani Anai
Tris, maafin gue ya.
Ucapan maaf yang mendadak itu membuatnya heran sekaligus canggung. Apa yang harus ia lakukan di posisi seperti ini? Bodohnya, ia tak tahu dimana posisinya sendiri.
From : Trisna Jalavani Anai
To : Raiden -_-
Maaf buat apa, Den?
Ketikan bernadakan kata-kata polos yang terkirim beberapa detik kemudian itu disesali Trisna. Untuk apa ia membalasnya seperti itu?
"Gue kok mendadak bego gini, sih? Ngapain coba gue balesnya, gitu? 'Kan udah jelas itu Raiden minta maaf gara-gara kejadian yang tadi," omel Trisna pada dirinya sendiri. Kadang saat gugup, apa yang diungkap oleh tubuhnya memang bukan aslinya.
Jadi mungkin, sekarang Trisna sedang gugup.
—————
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro