Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Penasaran


—————

Peristiwa pagi itu membuat Raiden penasaran setengah mati. Ia tahu, Trisna pasti punya alasan tertentu sebagai dasar mengapa tiba-tiba meneleponnya pagi-pagi.

Tak tanggung-tanggung, pagi itu Raiden memutuskan untuk membatalkan bolosnya. Ia datang ke sekolah meski sadar sepenuhnya jika ia telat.

Demi Trisna.

Tak peduli dengan satpam yang mengawasi gerbang, ia tetap memaksa untuk masuk meski sebenarnya tidak boleh. Beruntungnya, satpam tersebut entah kenapa jadi jerih dengan tampang Raiden. Sehingga, ia mengizinkan Raiden untuk melenggang masuk dengan suara motornya yang meraung-raung itu.

Ia masih bertahan dengan wajah temboknya, sampai-sampai guru pun diacuhkan begitu saja. Berjalan melenggang di tengah lapangan menuju kelasnya yang bisa dikatakan cukup jauh dari areal parkir.

"Ron!" serunya sambil melambai-lambaikan tangan pada Baron yang masih ngobrol dengan lainnya.

Baron menjawab dengan dagunya, lantas menghampiri Raiden, "Apa?"

"Trisna ngapain, ya, nelepon gue pagi-pagi?" ujarnya bertanya-tanya pada Baron.

Baron menaikkan sebelah alisnya, terheran, "Nelepon lo?" ujarnya meyakinkan dirinya.

Raiden mengangguk, "Iya tadi pagi, sebelum gue berangkat ke sini!" ujarnya dengan tak sabaran.

Baron nampak berpikir keras atas apa yang terjadi pada temannya, walaupun sebenarnya ia tahu apa yang menyebabkan Trisna melakukan itu.

Skip

"Apa, apa?" seru Sarah dari ujung sambungan telepon. Ranti akhirnya memutuskan untuk menelepon Sarah sebagai langkah akhir dari tindakannya yang sia-sia pada Trisna.

"Ih makanya masuk, Sar! Ntar diceritain sama Trisna," jawab Ranti sarkastik di depan ponselnya.

Digenggamannya, wajah Sarah bersungut-sungut, ia hanya ingin tau garis besarnya saja. Suara Ranti yang sarkastik langung saja masuk ke gendang telinganya tanpa perantara apa-apa, karena mereka bertelepon menggunakan earphone.

Sebagai balasannya, Ranti harus menerima jika telepon darinya dikatakan mengganggu, lantas akhirnya dimatikan begitu saja sambungannya.

"Yah Sarah, dimatiin teleponnya," ucap Ranti lantas menoleh pada Trisna yang masih sibuk dengan jutaan pikiran buruk tentang Raiden beserta cerita-cerita tentang masa lalunya.

Ranti menghela napas dengan keras, saking kerasnya hingga terdengar oleh Trisna. "Tris, mau lo dengerin gue atau enggak, terserah lo, ya. Yang pasti kalo lo masih tetep mau mikirin segala hal tentang Raiden, lo bakal terpuruk sendiri!" ujarnya menasihati dengan intonasi berapi-api.

Satu helaan napas. "Tris, gue gak maks ...," ucapan Ranti terputus dengan kedatangan guru matematika yang merusak untaian kata-kata yang akan diucapkan dengan rapi pada sahabatnya yang sedang gundah ini.

"Jadi, anak-anak sampai mana kemarin materinya?"

Gurunya dengan santai memulai pelajaran, hari ini akan menyenangkan menurutnya. Tapi tidak bagi Trisna yang terus-menerus memikirkan hal yang sesungguhnya tak mampu dikendalikan olehnya.

Pelajaran baru berlangsung selama lima belas menit, pun Trisna baru saja memfokuskan kembali otaknya pada hal lain ketika ada pesan masuk di ponselnya.

From : Raiden.
To : Trisna Jalavani Anai.

Tris? Nanti bisa ketemu ga?

Tubuh Trisna membeku. Jarinya dipaksakan bergerak walau sebenarnya gemetaran.

To : Raiden.
From : Trisna Jalavani Anai.

Ga bisa, Den. Maaf.

Tak menunggu jarum jam bergerak berputar satu putaran, Raiden segera membalas pesan dari Trisna.

From : Raiden.
To : Trisna Jalavani Anai.

Oh, oke.

Trisna berusaha bersikap normal di depan Ranti yang kian sensitif jika menyinggung tentang masalah yang kini sedang dihadapi olehnya.

Ia juga tak mau menjadi beban pikiran bagi Ranti juga Sarah, karena apapun yang sedang dihadapinya, ialah masalahnya. Ia akan berusaha untuk menghadapinya sendiri.

Skip

Pesan demi pesan yang masuk ke ponsel Raiden semakin membuat keadaan menjadi runyam. Rasa penasaran yang kian memuncak di ubun-ubunnya tak bisa ditahan.

Rasanya seperti ingin teriak saja. Tapi ia segera sadar jika keadaan tak memungkinkan bagi dirinya. Sebagai pelampiasan paling ampuh ialah meremas rambutnya.

"Lo kenapa?" tanya Baron keheranan dengan tingkah Raiden.

Raiden mengepalkan tangannya, bukan untuk memukul atau membuat tubuh Baron membiru tapi hanya karena ia ingin meluapkan emosinya.

Namun refleks Baron menjauh, "Eh eh tapi marahnya jangan ke gue!" belanya.

Raiden tertawa, temannya selalu punya cara yang tak terduga untuk membuatnya kembali tertawa atau setidaknya tersenyum, "Kaga, Ron, gue ga bakal mukul lo," balas Raiden sambil menyuruh Baron untuk duduk di bangkunya lagi.

Tapi diam-diam, di dalam hati masing-masing tersimpan sesuatu yang tak pernah disangka oleh satu sama lain.

Entah rencana jahat, dendam kesumat atau rahasia yang paling tersembunyi sekalipun.

—————

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro