Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog: Señorita

"Perkenalan akan menjadi bagian paling membahagiakan dalam kisah ini."
________________________________

Dian berjalan keluar dari toko pakaian dengan membawa beberapa papper bag di tangannya. Puas sudah dia berbelanja hari ini. Dress, T-shirt, dan segala macam pakaian yang sudah dia inginkan selama satu bulan terakhir.

Lalu Dian berjalan menuju salah satu kafe yang terletak di seberang jalan. Macchiato akan merilekskan otot-otot kainya yang mulai tegang. Sebelum masuk ke dalam kafe, Dian menatap dengan puas kartu kreditnya yang baru saja dikembalikan.

"Satu Macchiato," ucapnya pada barista yang berdiri di belakang counter tanpa menatap barista itu karena Dina sedang sibuk melihat-lihat barang di toko online.

"Ini, Nona." Suara berat itu membuat Dian mengalihkan pandangannya. Sejenak matanya tak bisa berpaling sedikitpun. Barista itu baru saja membuatnya terpana. "Nona."

Dian tersadar, sebentar dia hanya celingukan seperti orang bodoh. Kemudian dia memberikan kartu kreditnya untuk membayar. Begitu kartu kreditnya dikembalikan, Dian segera menyambar Macchiato-nya. Dian membawa salah satu jenis kopi itu ke meja paling pojok yang terletak di samping jendela, mengarah langsung ke jalan raya.

Saat Dian baru saja duduk, tepat lagu yang sedang diputar berganti. Kali ini lagu señorita yang dinyanyikan Shawn dan Camilla Cabelo bergema memenuhi sisi kafe. Dian menyeruput Macchiato-nya, kemudian tersenyum tipis. Dia berpikir bagaimana momennya bisa pas begini.

I love it when you call me señorita

I wish I could pretend I didn't need ya

But every touch is ooh-la-la-la

It's true, la-la-la

Ooh, I should be runnin'

Ooh, you keep me coming for ya

Land in Miami

The air was hot from summer rain

Sweat drippin' off me

Before I even knew her name, la-la-la

Begitu juga Rian, si barista yang menurut dia momennya bisa sangat pas dengan momen yang baru saja terjadi. Bukan hanya Dian yang terkunci dengan tatapan Rian, tapi Rian juga terkunci dengan tatapan dari bola mata indah milik Dian.

Dari meja tempatnya bekerja, Rian sesekali menatap Dian yang tampak meminum sedikit demi sedikit Macchiato-nya. Seolah gadis itu begitu menikmati setiap tetes minumannya sambil menikmati segala aktivitas yang terjadi di luar kafe.

Beberapa kali mata mereka bertemu. Saat kedua pasang bola mata itu bertemu, Rian tersenyum simpul dan Dian tersenyum malu. Pipi Dian memanas setiap kali dia merasa Rian memandanginya. Mereka berdua tidak benar-benar tau apa yang dirasakan satu sama lain, Dian dan Rian hanya tau jika mereka tertarik satu sama lain sejak pertama mereka saling pandang tadi.

(Visualisasi Dian)

Tapi waktu seolah berjalan cepat ketika dua manusia sedang merasakan benih-benih rasa bertumbuhan di dalam hati mereka. Sayang sekali momen itu harus selesai tepat pukul lima sore saat Rian menyelesaikan sift paginya dan Dian sudah harus pulang.

Rian melepaskan celemeknya, mengembalikan benda itu ke dalam loker. Dan Dian meninggalkan gelas Macchiatonya yang kosong di atas meja begitu saja. Lonceng di pintu kafe berbunyi dua orang tanpa sengaja keluar dari kafe secara bersamaan. Merek berdua sama sama terkejut dan saling pandang, lalu tertawa kecil saat tiba-tiba suasan menjadi canggung.

Tawa itu berakhir saat mereka saling melempar senyum. Kemudian Dian berjalan menuju kursi panjang yang terletak di depan kafe, sengaja diletakkan di situ agar saat ada yang menunggu seseorang datang kaki mereka yang menunggu tidka harus menjadi pegal-pegal. Dian duduk di kursi panjang itu menunggu sopir yang akan menjemputnya.

Ternyata Rian juga berjalan menuju tempat yang sama, dia duduk tepat di samping Dian. Lelaki itu sedang menunggu bis yang mungkin akan segera lewat. Beberapa detik kemudian mereka hanya dia di bawah atmosfer kecanggungan. Lalu Rian memulai dengan inisiatifnya.

"Hai," sapa Rian sambil tersenyum.

Dian membalas senyum manis lelaki itu juga dengan tersenyum sama manisnya. "Hai juga."

"Nungguin apa?" Selala begini, semua berawal dari pertanyaan-pertanyaan tidak penting tentang hal kecil.

"Sopir Papaku. Tapi kayaknya dia telat, soalnya masih nunggu Papaku selesai rapat baru jemput aku." Rian memberi respon dengan membulatkan bibirnya seolah mengatakan 'Ohh'

"Kamu sendiri nunggu apa?" tanya Dian balik sebagai formalitas atau mungkin sebagai langkah awal sebuah pendekatan.

"Kendaraan umum," jawab Rian. Kemudian atmosfer canggung itu kembali melingkupi mereka. Sebentar, hanya sebentar sampai Rian mengusulkan suatu hal. "Gimana kalau kamu ikut aku naik kendaraan umum. Aku mau ambil motor di bengkel, setelah itu aku bisa anterin kamu pulang."

Dian diam sejenak untuk berpikir. Kemudian dia mengangguk. "Boleh" Tepat setelah jawaabn Dian, sebuah bis berhenti di halte yang bersebelahan dengan kafe itu.

Tanpa sadar, Rian menarik tangan Dian dengan lembut untuk segera masuk ke dalam bis. Sedangkan tangan Dian yang lain digunakannya untuk menenteng papper bag. Saat sampai di dalam bis, Dian duduk di samping jendela dan Rian duduk di sampingnya.

Selama perjalanan mereka hanya melakukan obrolan-obrolan ringan Seperti;

"Aku sering datang ke kafe itu jika hari Sabtu, tapi aku baru melihatmu hari ini. Kamu barista baru?" tanya Dian.

Rin menggelengkan kepala. "Aku hanya berkerja di situ hari Selasa dan Kamis. Selasa untuk shift malam dan Kamis untuk shift pagi."

Dian mengerutkan dahinya seolah sedang berpikir yang justru terlihat manis bagi Rian. "Kenapa begitu?" tanya Dian.

"Karena aku kuliah dan punya pekerjaan lain." Dian membulatkan mulutnya membentuk huruf O sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Menjadi barista hanya sebagai penyaluran hobi dan sarana pergaulan bagiku," lanjut Rian.

"Kamu sendiri, apa kegiatanmu setiap harinya?" Dian berpikir sejenak, mencari jawaban yang tepat.

"Orang-orang bilang aku hanya gadis manja yang setiap hati keluar rumah untuk kuliah dan berbelanja. Beberapa mengatakan jika aku shopaholic, tapi menurutku aku tidak seperti itu."

"Oh, ya? Gimana kamu bisa seyakin itu?" Rian menaikkan salah satu alisnya.

"Karena ini diriku, aku lebih mengetahui diriku sendiri dibanding siapapun. Dan shopaholic lebih maniak dari pada aku."

Sang sopir bis mengerem kendaraannya. Bis yang Dian dan Rian tumpangi berhenti di halte berikutnya setelah halte di samping kafe tadi. Mereka berdua turun, lalu berjalan bersisian menuju bengkel yang tidak jauh dari situ.

"Trash!" panggil Rian pada sang pemilik bebgkel. Sedangkan yang dipanggil langsung mejolehkan kepala lalu menghampiri Rian.

"Hai, Bro. Mau mengambil motor?" Rian menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Dan siapa gadis cantik ini?" tanya Trash sambil mengalihkan pandangan pada Dian.

"Aku Dian," jawab Dian singkat sambil tersenyum tipis.

"Maksudku, siapanya Rian?" mendengar pertanyaan itu Dian dan Rian sama-sama terdiam, tidak tau mau menjawab apa. Tapi kemudian Trash mengangguk-anggukkan kepala seolah paham akan sesuatu. "Kalian pasti baru kenal tapi sudah saling tertarik. Makanya kalian bingung mau menjawab pertanyaanku dengan jawaban seperti apa."

"Bagaimana kamu tau?" tanya Dian.

"Dia berpengalaman dengan banyak gadis," jawab Rian sebelum Trash menyombongkan dirinya.

"Iya, itu benar. Aku berpengalaman dengan banyak gadis. Bahkan jika mau, aku bisa mengambilmu darinya." Trash melirik Rian sambil tersenyum miring yang dibalas Rian dengan pelototan tajam. "Tapi sayangnya gadisku sudah terlalu banyak," lanjut Trash sebelum Rian menghajarnya.

Lalu Trash berjalan menuju motor Rian. Dian dan Rian berjalan mengikuti pria pemilik bengkel itu menuju salah satu sudut begkelnya. Di sana sebuah motor klasik The Bonneville T100 hitam terparkir dengan rapi. Trash pergi lebih dulu setelah menyerahkan kunci motor pada pemiliknya. Lalu Rian berjalan menghampiri motornya kemudin menatap Dian, seolah bertanya, 'Mau menaikinya denganku?'

"Boonie? Seleramu bagus juga."

"Kamu tau?" tanya Rian yang tidak menyangka jika Dian mengetahui tentang jenis motornya.

Dian menganggukkan kepala. "Papaku sangat suka barang klasik, motor adalah favoritnya. Dan Bonnie hitam adalah favoritku."

Rian tersenyum lebar. "Kalau begitu, mau menaikinya denganku?"

Dian balas tersenyum lebar. "Tentu saja."

Setelah itu, seperti janjinya, Rian mengantarkan Dian pulang. Sepuluh menit perjalanan tanpa suara sedikitpun keluar dari kedua mulut mereka. Dian dan Rian sama-sama menikmati perjalanan itu. Saat Dian berpegangan erat pada Rian. Saat Rian mengelus genggaman Dian pada jaketnya. Merek menanamkan dalam-dalam setiap momen pada tempat yang akan selalu diingat. Menjadikan semua itu seolah akan menjadi kenangan suatu saat.

"Lain kali aku akan mengajakmu melihat-lihat kota saat malam dengan Bonnie-ku," ucap Rian saat menurunkan Dian di depan rumah besar gadis itu.

"Aku akan menagih janjimu," jawab Dian sebelum berlalu melewati gerbang rumahnya.

Mau ditanyain Mamas Tom, nih.

Suka gak sama ceritanya?🤣

1335 word
14/07/'19

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro