Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tujuh

Richo membuang jaketnya ke lantai, dadanya begitu bergemuruh hebat.

Ia tak menduga akan mendengar percakapan sok romantis dari mulut Sulbi dan Raka, yang sialnya mampu membuat suasana hatinya memburuk. Sangat buruk.

Apa setidakbahagianya Sulbi saat bersamanya dulu.

Sudah delapan tahub Raka dan Sulbi menjalin hubungan dan semuanya baik-baik saja. Apa yang bisa dilakukan Raka, tapi tak bisa ia lakukan. Hingga Sulbi betah di sampingnya selama itu. Bahkan hubungan mereka hanya bertahan di tahun ke tiga.

Meneguk air putih dalam gelas hingga tandas, Richo berharap bisa meredamkan gemuruh dalam dadanya.

Sialan!

Dirinya seperti orang yg dipecundangi jika mengingat hal itu.

Senja di ufuk barat, berganti dengan kerlipan bintang di langit malam. Richo mengeliat dalam tidurnya, meraba nakas ia mencari ponsel yang ia lempar begitu saja.

Seberapa lelahnya dia, bahkan ia tak sadar sudah terlelap di atas kasur king size-nya.

Menguap sebentar, Richo memaksa tubuhnya berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Ia butuh menyegarkan diri juga makan. Siang tadi ia lupa tak makan siang, hanya karena mata dan tubuhnya tak bisa konsisten mengacuhkan keberadaan Sulbi.

Sejam kemudian Richo sudah sampai di lobi dan akan menuju restoran. Ia malas keluar hotel hanya untuk mencari makan.

Baru saja ia akan memasuki restoran, ada yang menyapa dirinya.

"Lho, Ric. Elo di sini juga?" Pertanyaan itu meluncur dari seorang pria sepantaran dirinya.

"Eh, elo, Vie." Sapa Richo dengan nada malas.

"Selow aja, Men! Gue ke sini cuma buat liburan, kok!" Tegas lelaki yang di panggil Vie.

Richo mendengkus keras-keras. Pasalnya ia tak pernah menyukai lelaki yang berprofesi sama dengannya ini. Entah karena apa, yang jelas dirinya lebih menjaga jarak dengan pria ini.

Ia tak ada niat menguarkan aura perseteruan, karena secara tak kasat mata mereka berdua seperti saling menabuh genderang untuk saling berkompetisi dalam mencapai karir yang gemilang.

Kenyataan Arvie yang selalu berada diurutan nomer dua, membuat lelaki yang kini berpenampilan santai lebih banyak mengeluarkan aura permusuhan walau tak secara terang-terangan.

"Oke, Men. Gue cabut dulu!" Arvie menepuk bahu Richi dengan kekehan bernada mengejek.

Richo hanya bisa mendengkus, kemudian melanjutkan langkahnya menuju restoran.

Melirik jam tangannya, sudah pukul sembilan malam tapi restoran tampak sedikit sepi.

Celingukan Richo mencoba mencari tempat duduk, di sudut dekat dinding kaca pemintas luar lobi Richo melihat sekertaris Sulbi.

Bukan karena menikmati makanan, gadis itu lebih terlihat gelisah. Sesekali ia menatap ponselnya, lalu menempelkannya ke telinga. Begitu saja seterusnya.

"Mbak Zi! Kok nggak makan?" Tanya Richo yang menghampiri si sekertaris.

"Oh, Pak Richo." Begitu saja, karena setelah itu lagi-lagi Zivara sibuk dengan ponselnya tanpa menawari Richo duduk.

Mendudukan diri sendiri, Richo mengambil kursi di seberang Zivara.

"Aduh, Bu! Ibu kemana, sih?" guman Zivara pelan, tapi masih bisa di dengar Richo.

"Kenapa, Zi?" Kali ini menanggalkan panggilan mbak yang tadi ia lakukan.

"Anu, Pak. Itu ... bu Sulbi. Kita udah janjian mau makan malam dari jam tujuh tadi, tapi dari dua jam lalu ponselnya nggak aktif." Terang Zivara yang kembali berkutat dengan ponselnya.

Berarti sudah dua jam yang lalu. Richo melirik arlojinya. Ini sudah pukul sembilan malam.

"Oh, shit! Enggak lagi, Bu!" Pekik Zivara buru-buru meraih tas tangannya dan berlari menuju lift.

Richo yang tampak bingung memilih mengikuti Zivara yang memasuki lift.

"Ada apa?"

"Plis, Bu jangan lagi!" Racau Zivara yang mengutik ponselnya. "GPS ponsel bu Sulbi masih di kamarnya. Ibu nggak kemana-mana, tapi ... oh, ya Tuhan! Plis, semoga aja enggak!" Kepanikan Zivara menulari Richo meski ia berusaha tetap tenang.

"Ada apa sebenernya, Zi?"

Tak memperdulikan pertanyaan Richo, Zivara hampir melompat begitu pintu lift terbuka separuh.

Sedikit berlari, Zivara melesat menuju kamar Sulbi.

"Bu! Bu Sulbi! Buka pintunya! Plis bu! Saya mohon! Bu Sulbi!" teriaj Zivara mengetuk pintu kamar Sulbi membabi buta, malah terdengar tengah menggedornya.

"Bi, Sulbi! Buka pintunya!" teriak Richo akhirnya ikut menggedor pintu kamar hotel Sulbi.

Hampir lima menit, tak ada tanggapan. Zivara menumpahkan isi tasnya, mengaduknya tergesa hingga menemukan kartu akses untuk membuka kamar Sulbi.

Tanpa memperdulikan isi tasnya, Zivara membuka pintu dengan kartu yang ia pegang.

Kamar president suite.

Richo terpaku di depan pintu. Agak segan sebenarnya ia akan memasuki kamar tersebut.

Hubungan mereka tak sedekat itu, hingga harus menapaki kamar hotel masing-masing. Status mereka sekarang adalah mantan.

Richo merutuk dalam hati. Tak seharusnya ia berada di sini.

Ini salah.

"Bu Sulbi!" Memilih pergi tapi langkah Richo terhenti tatkala mendengar teriakan Zivara dari dalam kamar Sulbi.

Tak ayal, Richo mengurungkan langkahnya dan tergesa memasuki kamar tersebut.

Mata Richo terbelalak tak percaya melihat pemandangan yang ia lihat begitu memasukinya.

Banyak barang-barang berserakan, bahkan kaca dan beberapa guci pecah tak tertolong lagi.

Ada apa ini?

"Pak Richo, tolong!" Pekikan Zivara menyadarkan ketergunan Richo.

Cepat ia menuju satu-satunya kamar tidur yang tersedia. Hati Richo mencelus tak karuan, melihat kondisi kamar Sulbi yang lebih mengenaskan dari ruangan depan tadi. Terlebih Sulbi yang tergelatak tengkulup di lantai. Zivara berusaha mengangkat Sulbi tapi tak mampu.

"Ya Tuhan! Bi!" Richo akhirnya mengambil alih tubuh Sulbi dan membaringkannya di ranjang yang tak lagi bersprei rapi, bahkan selimutnya pun teronggok tak jauh dari sana.

Zivara mengambil selimut tersebut dan membungkus rapi Sulbi di dalamnya. Ia keluar sebentar guna merapikan isi tasnya yang tergeletak begitu saja di pintu depan.

Richo tak mampu berkata apapun. Ia sungguh tak menduga bisa melihat keadaan Sulbi yang seperti ini.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Pertanyaan itu berulang-ulang berputar di kepalanya.

"Kamu sudah panggil dokter, Zi?" tanya Richo begitu tahu Zivara kembali berkutat dengan ponselnya.

"Pak Raka! Bu Sulbi ... kambuh lagi."

Deg!

Pak Raka?

Kambuh lagi?

Apa maksudnya Zivara? Ada apa dengan Sulbi? Apa maksudnya dengan kambuh lagi?

Richo menatap nanar ke arah Sulbi yang tergeletak tqk berdaya di ranjang.

Demi Tuhan! Ia memang membenci wanita ini, tapi sudut hatinya yang lain tak terima melihat Sulbi seperti ini.

"Baik, Pak. Akan saya lakukan."

Setelah mematikan ponselnya, Zivara beralih ke tubuh Sulbi yang dimiringkan, menyangga leher Sulbi agar lebih tinggi dari tubuhnya, dan membuka beberapa kancing bajunya juga gesper yang melilit di pinggang rampingnya.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Membuka jalur pernapasan, Bu Sulbi. Pertolongan pertama pada pasien overdosis obat penenang. Napasnya pendek-pendek, dan tak sadarkan diri. Jaga-jaga jika bu Sulbi Muntah." Terang Zivara yang semakin membuat dada Richo berdenyut tak nyaman.

Apa katanya tadi?

Overdosis obat penenang?

Richo mengerang! Tak ayal ia mengapai lengan Zivara dan menatapnya dengan penuh intimidasi.

"Ada apa sebenarnya dengan Sulbi?"

Zivara tergagap mendapati tatapan tajam Richo. Sedikit linglung karena tiba-tiba ditarik begitu saja, akhirnya ia bisa menguasai diri lagi.

"Bukan kapasitas saya menceritakan apa yang terjadi. Cukup pak Richo tahu kalo saat ini Bu Sulbi tengah mengalami overdosis obat penenang. Just it!" Tegas Zivara mantap. "Lagi pula, bu Sulbi bukan siapa-siapanya pak Richo!"

Telak!

Tubuh Richo seolah limbung akan kenyataan yang diucapkan Zivara.

Dirinya memang bukan siapa-siapa Sulbi kini, tapi dulu ia pernah menjadi bagian dari hidup Sulbi. Tapi itu dulu.

Richo menyugar rambutnya dengan gusar. "Saya calon adik iparnya." Mau tak mau ia mengeluarkan status barunya, agar selangkah lebih dekat dengan Sulbi.

Kalau boleh ia jujur. Ia tak menyukai statusnya yang sekarang. Calon adik iparnya.

Richo ingin mendengkus keras-keras, nyatanya ia hanya bisa menghela napas pelan.

Zivara tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tak semua ibu CEOnya membagi cerita kehidupnya. Hanya yang dibutuhkan saja.

"Oh, baiklah. Kalau begitu, bisa saya titip bu Sulbi. Saya masih harus mengurus sesuatu."

Richo hanya mengangguk dan berjalan mendekati ranjang Sulbi.

Nyatanya melihat Sulbi seperti ini, tak benar-benar bisa membuat dirinya bahagia. Jika dulu ia berharap Sulbi sama menderitanya dengan dirinya, maka permintaannya terkabul. Richo juga merasakan kesakitan itu.

Overdosis obat penenang? Ia pernah mengalami hal itu. Jika itu yang terjadi, maka selama ini Sulbi tak baik-baik saja seperti apa yang disangkahnya selama ini.

Ya Tuhan! Richo mengusap kasar wajahnya. Ia tak mendapatkan keterangan apapun selain overdosis.

"Demi Tuhan, Bee. Apa yang terjadi sama kamu, Bee?" Lirih Richo membenahi anak rambut Sulbi yang menutupi wajah.

Sulbi melenguh, tiba-tiba saja tubuhnya mengigil. Richo yang duduk di lantai dengan bersandar pada nakas, serta merta menegakkan punggung.

"Eric ... tolong aku! Kumohon ... jangan sentuh, aku. Menjauh ... pergi." Tubuh Richo menegang mendengar igauan Sulbi.

Wanita ini menyebut namanya.

"Aku di sini, Bee. Aku di sini!" Richo mengusap kepala Sulbi, berharap apa yang ia lakukan bisa menenangkannya.

Rasa penasarannya menggungung. Tanda tanya besar itu bercokol begitu kuat.

Apa yang terjadi dengan Sulbi.

"Kamu kenapa, Bee ...."

★✩★✩★✩★✩

Surabaya, 02/12/2018
-Dean Akhmad-

Repost : 29/01/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro