Tiga Belas
Sulbi menenggak habis gelas ketiga Classic Gin Fizz miliknya, bahkan sudah memesan satu lagi. Ia terdampar di Jenja, club yang berada di kawasan Cilandak Town Square bersama Zivara.
Seharusnya mereka bisa pulang seperti biasanya, namun sesaat sebelum keluar ruangan Zivara datang dengan sedikit panik. Mengatakan jika salah satu rekanan bisnis mereka menginginkan revisian kontrak kerja sama hari ini juga, agar secepatnya bisa dikirim ke kantor pusat yang ada di Singapura.
Sulbi memang berencana membangun salah satu cabang Departemen Store milik keluarga di Singapura. Itu sebabnya ia rela lembur sendirian, tak pelak Zivara pun juga ikut menemaninya.
Mau tak mau Sulbi dan Zivara lembur dadakan, pukul sebelas mereka baru menyelesaikan revisian kontrak tersebut. Barulah ia ingat, jika dia ada janji makan malam dengan Arvie.
Setelah membereskan masalah kontrak dan tetek bengeknya, cepat-cepat Sulbi melarikan mobilnya yang tentu ada Zivara di dalamnya menuju tempat janjian makan malam.
Melirik jam tangannya, Sulbi tak yakin jika pria itu masih bertahan di sana. Dari jam tujuh hingha pukul sebelas malam. Mana ada yang bisa bertahan selama itu.
Tadi ia memang sempat datang ke La Vue, tapi ia tak menemukan sosok pria bernama Arvie. Sesaat sebelum keluar dari sana, Sulbi mencoba menanyakan pada pelayan yang bertugas apa ada pria bernama Arvie datang kemari.
Jawaban pelayan tersebut sungguh membuat Sulbi tak enak hati. Pria itu bahkan membooking seluruh restoran hanya untuk makan malam bersama.
Ya Tuhan! Lalu apa yang harus Sulbi lakukan? Ingin meminta maafpun, ia tak tahu di mana tempat tinggal Arvie atau bentukannya secara fisik. Minimal tempat kerjanya lah. Tapi sialnya Sulbi tak tahu menahu dimana lelaki pengirim bunga tulip itu berada.
Guna mengusir perasaan bersalahnya, Sulbi mengajak Zivara ke club lounge yang tak jauh dari kantornya berada. Dan berakhir di Jenja club.
Zivara sudah teler duluan, itu sebabnya ia memangil supir panggilan untuk mengantarkan sekertaris andalannya pulang. Ia tak tega melihat Zivara yang sudah tak sadarkan diri karena kebanyakan minum empat gelas cocktail dengan varian yang berbeda.
Sulbi sedang tidak ingin clubbing, ia hanya duduk di bar stool seraya menikmati minumannya dan mengamati keadaan sekitar yang sudah mulai memadat.
Tatapan angkuh nan dingin sukses membuat para pria-pria yang awalnya ingin menggoda mundur teratur, dan membiarkan wanita berpenampilan jauh dari kata seksi itu sendirian.
Ia bahkan tak mengenakan pakaian ketat nan menggoda, tapi kenapa selalu saja ada yang coba-coba mendekatinya. Tidak kah ada yang mengerti jika ia butuh sendirian.
"Gilak! Dia pake baju ketutup kayak gitu aja sex appeal-nya menguar kemana-mana. Anjing ... gue beneran horny. Padahal tadi dia cuma ngelirik doang." Mendengar celutukan seorang pria yang duduk di sampingnya membuat lelaki berwajah ekspatriat menolehkan kepalanya ke arah Sulbi berada.
Lelaki itu mendapati seorang wanita yang sudah tertunduk tak berdaya di atas meja bar. Menenggelamkan wajahnya dikedua lipatan tangannya, terlihat sekali jika wanita itu sudah mulai mabuk.
Seolah merasa diperhatikan, Sulbi mengangkat kepalanya dan kembali mengedarkan pandangannya dan bertemu lansung dengan manik abu miliknya. Mengunci otomatis dan membuat darah pria bule itu mendesir hebat. Gairahnya bergejolak tanpa bisa dicegah lagi. Ia menginginkan gadis itu.
Benar-benar sex appeal yang kuat.
Memantapkan hati, pria itu mendekat ke arah Sulbi dan duduk tepat di sampingnya. Sekilas ia mengamati bagaimana penampilan Sulbi. Tak ada yang salah dengan wanita ini.
Sulbi masih memakai setelan kerja, tapi benar-benar menggoda tanpa mempelihatkan gestur yang seduktif.
"Kau mabuk!"
Sulbi merasakan pening di kepalanya, ia yakin jika sekarang sudah mabuk. Sedikit berat ia mengangkat kepalanya, menyipitkan mata guna melihat siapa gerangan yanh sudah menganggu tidurnya.
"Pergilah! Jangan ganggu aku!" Sulbi mengibaskan tangannya, dan kembali menenggelamkan wajahnya di atas meja.
Pria bule itu menggeram tak suka.
Apa barusan? Ia ditolak, bahkan sebelum ia melancarkan aksi menggodanya.
Sedikit memaksa, pria bule itu menarik lengan Sulbi hinggaembuat tubuh rampingnya berdiri dengan terhuyung.
"Kau mabuk, Miss!"
"Jangan sentuh aku, berengsek!" teriak Sulbi kembali menghempaskan cekalan tangan pria tak dikenalnya itu, tapi justru membuat Sulbi semakin terhuyung ke belakang.
Pria bule itu menangkap pinggang Sulbi sebelum tubuhnya menyentuh lantai marmer, menariknya secara spontan agar lebih mendekat.
Tanpa tedeng aling-aling, pria itu melumat bibir tipis Sulbi yang merekah alami tanpa pemulas bibir. Mencecapnya perlahan dan merasai bagaima rasa bibir ranun tersebut.
Astaga! Hanya menciumnya saja bisa senikmat ini.
Belum sempat ia mengeksplor bibir ranum tersebut, tarikan kuat membuyarkan segala imajinasi liarnya . Terlebih hantaman yang mengenai sudut bibirnya membuat pria itu terjengkang ke belakang tanpa bisa diantisipasi.
"Berani kau menyentuhnya lebih jauh, aku tak segan-segan membunuh saat ini juga." Ancam sebuah suara langsung membawa tubuh Sulbi dalam gendongannya.
Sialan!
Dasar pria bajingan!
Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tidakkah ia tahu bahwa Sulbi tengah mabuk, bukannya menolong justru malah mencuri sebuah ciuman.
Tanpa peduli tatapan heran dua orang yang meneleponnya, Richo berderap membawa Sulbi ke dalam mobilnya. Merebahkan tubuh tak sadarkan diri itu tepat di kursi penumpang, dan mengatur kursinya hingga rebahan.
Ia sudah akan menaiki lift yang menuju unit apartemennya, jika saja Panji tak menelepon dirinya dan mengatakan kalau Panji melihat Sulbi tengah mabuk Di Jenja.
Maka tanpa bisa dikendalikan, ia segera memasuki mobilnya dan melarikan mobilnya dengan kecepatan penuh agar secepatnya sampai ke tempat dugem yang selalu ramai berisikan para ekspatriat-ekspatriat tersebut.
Benar saja, kemarahannya langsung memuncak mendapati seorang pria bule tengah mencuri ciuman dari Sulbi.
Ia tak terima jika ada yang menyentuh wanitanya itu. Memandang sejenak wajah lelap Sulbi, Richo tak tahan untuk tidak melarikan jemarinya guna menyibak helaian rambut yang menutupi hampir separuh wajahnya.
Ia tak pernah bosan melihat wajah Sulbi yang tengah terpejam erat, tanpa kegelisahan seperti kapan hari ketika mereka ada di bali. Tak kuasa menahan gejolak dalam dada, Richo menyematkan kecupan lembuta nan lama di kening Sulbi. Mencoba Menghantarkan segala rasa yang berkecamuk di dalam dada.
Wanita ini masih pemilik utuh hatinya.
Tanpa ia sadari seseorang menyaksikan semua perlakuan sayang yang Richo tujukan pada Sulbi.
Perlakuan yang Richo berikan pasa Sulbi, sudah membuktikan jika prianya begitu mencintain sosok wanita yang berstatus sebagai kakaknya tersebut.
.
.
.
Anggap saja ia sebagai true stalker Sulbi, karena memang itulah yang sebenarnya terjadi. Hampir disetiap sudut kamarnya berisikan foto Sulbi yang diambil secara candid, walau bukan ia sendiri yang mengambil gambar tersebut.
Ia tak ambil pusing dengan anggapan bahwa dirinya telah terobsesi dengan sosok Sulbi. Baik delapan tahun yang lalu ataupun sekarang, Sulbi masih tetap mendominasi hidupnya. Wanita yang sudah mencuri hatinya semenjak pertama kali mereka bertemu, semuanya tercuri tanpa menyisakan apapun.
Tak ada yang bisa mengalahkan kecantikan alami milik Sulbi Adi Nugroho, walau adiknya Shani Nugroho tak kalah cantik tapi hati dan pikirannya sudah tertambat pada sosok Sulbi semenjak delapan tahun yang lalu.
Sampai sekarang pun ia hanya bisa mengagumi secara sembunyi-sembunyi. Nyalinya seolah lenyap ditelan bumi, tatkala mengingat kelakuan bejat yang sudah ia lakukan pada wanita itu dulu.
Awalnya ia hanya ingin menggertak, tapi sepertinya setan lebih dulu beraksi hingga ia tak bisa mengendalikan napsu binatangnya. Ia mengagahi Sulbi secara paksa hingga berkali.
Sekali menyentuh Sulbi, ia tahu bahwa ia takkan pernah bisa berhenti hanya satu kali penyatuan. Ia menyatukan diri hingga wanita itu pingsan dan tak berdaya. Penyekapan tiga hari itu tanpa ia lewatkan untuk terus mengagahi Sulbi.
Katakan saja ia memang berengsek, tapi Sulbi sudah seperti candu baginya. Tak bisa berhenti meski ia memaksakan diri.8*
Meski dirinya bukan yang pertama mengambil kehormatan Sulbi, tapi ia tak menampik bahwa ia lah penyumbang terbesar trauma yang hingga kini Sulbi idap.
Dirinya sungguh berharap, jika waktu bisa diputar kembali ia lebih memilih mendekati sulbi secara gentle dan terang-terangan. Bukan seperti saat ini.
Layaknya pengecut. Ia hanya bisa mengirimkan delapan tangkai bunga tulip berwarna putih. Sebagai simbol permintamaafannya dengan tulus, juga simbol cinta tulus yang ia punya. Hanya dengan secarik kertas ia berani mengatakan namanya. Itu juga hanya nama panggilannya saja, tak lebih.
Ia sungguh-sungguh ingin meminta maaf atas kelakuan bejatnya dulu, dan ingin memulainya dari awal lagi. Namun menelisik kondisi Sulbi yang jika sudah melihatnya saja wanita itu sudah gemetar ketakutan.
Ya Tuhan! Harus seperti apa lagi ia mendekati Sulbi? Selain niat meminta maaf juga ingin memulainya dari awal. Bertanggung jawab atas semua kemalangan yang ia berikan secara tak langsung.
Mana mungkin ia terang-terangan mendekati wanita berpotongan rambut sebahu itu, yang ada Sulbi akan berteriak histeris begitu ia menginjakan kakinya di lantai kantornya.
Mengusap wajahnya frustasi. Ia hanya berharapa bahwa tadi malam Sulbi datang ke tempat yang sudah ia pesan untuk acara makan malam, ia bahkan membooking seluruh restoran La Veu at the Hermitage untuk mereka saja. Tapi kenyataannya Sulbi tak pernah muncul sama sekali.
Hingga lima hari berturut-turut, di jam yang sama ia selalu menunggu kedatangan Sulbi tapi tak pernah ia dapati.
Kecewa iya, tapi itu harga yang pantas ia dapat mengingat semua dosa yang ia lakukan dulu. Setidaknya ia harus menebalkan kesabaran hanya untuk bisa berdekatan dengan Sulbi.
Ya! Ia hanya butuh kesabaran ekstra jika ingin mewujudkan impiannya selama delapan tahun.
○●○●○●○●
Mengalis deras euy. Wkwkwkwkwkwk
Nyoh mak nyaidasimah ojok ngondok mane.
Bangkalan, 15-03-2019
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro