Tiga
Richo terpekur dalam diamnya, lembaran naskah film yang berada di pangkuan juga dia abaikan.
Hati dan pikirannya meradang, karena adegan yang disuguhkan oleh Sulbi dan Raka tadi siang.
Memuakkan!
Selama delapan tahun ia menahan perih yang sewaktu-waktu menyerang. Sedangkan mereka dengan seenaknya menampilkan kemesraan yang membuat ia ingin memuntahkan makan siangnya.
Delapan tahun ia berkutat dengan luka, dan mereka berbahagia di atas lukanya.
Jika saja Sulbi memilih pria lain, mungkin luka hati Richo takkan semengangga ini. Ditikung sahabat dan kekasihnya. Siapa yang mau?
Richo berusaha menjaga kesetiaannya, mempercayakan Sulbi pada Raka Dwi Lesmana. Jika ia tak bisa berada di samping gadisnya. Akan tetapi kepercayaan Richo terengut begitu saja, kala mendapati Sulbi tengah berpelukan di apartemennya.
Keabsenan Richo di samping Sulbi telah membuka celah bagi Raka untuk merebut perhatian dan kasih sayangnya.
Ah, sial!
Lagi-lagi pikirannya berkelana pada kedua sosok yang dulu berarti untuknya.
Dering nyaring yang berasal dari ponsel pintar Richo berhasil merebut perhatiannya, yang sedari tadi kelayapan.
Shani
Calling ....
"Iya, Yank?"
"Lagi apa, Beb?"
"Lagi ngapalin naskah." Tak mungkin ia mengatakan bahwa ia sedang memikirkan wanita lain.
"Kangen kamu ..."
Richo tertawa renyah mendengar penuturan kekasihnya yang beda delapan tahun itu. "Aku juga, Yank."
"Dua hari lagi, Beb. Kita bisa temu kangen."
"Hmm..."
"Udah dulu ya, aku mau balik take, nih. Daaah ... jangan lupa makan ya, Beb."
Belum sempat Richo menjawab, panggilan Shani sudah dimatikan.
Kini ia sudah mempunyai Shani, kekasih hatinya yang berprofesi sama dengannya sebagai seorang model juga artis. Butuh banyak perjuangan bagi Richo untuk meyakinkan diri dan memantapkan hati untuk mencoba hubungan baru dengan gadisnya.
Meski Shani lebih muda delapan tahun, bukan berarti dirinya tak bisa mengimbangi pergaulan gadis muda itu.
Ia selalu berusaha meluangkan waktu untuk melakukan quality time bersama Shani. Kandasnya hubungan di masa lalu, membuat ia sadar untuk menjaga kualitas hubungan dan itu membutuhkan pengorbanan. Salah satu pengorbanan yang ia lakukan adalah meluangkan waktu, dan mengurangi kepadatan jadwalnya demi bisa menjalin kebersamaan dengan Shani.
"Ric!" Seruan Panji kembali membuyarkan lamunannya, membuat Richo ogah-ogahan meraih naskah filmnya.
Bukannya membaca, Richo hanya membolak-balikkan kertas berisi skenario tersebut. Membuat Panji mengerutkan keningnya.
Yang ia tahu, Richo selalu antusias begitu mendapatkan kontrak film. Lebih-lebih jika ia mendapat peran yang menurutnya menantang andrenalin.
Ia sendiri tak menyangka jika tawaran pekerjaan dari Shani kembali mempertemukannya dengan Sulbi.
Ah, wanita itu lagi.
Panji mengenal pasti tentang wanita itu. Wanita yang sudah menjadi kekasih Richo, jauh sebelum sahabat semasa SMA-nya ini masih baru di dunua hiburan tanah air.
Cinta matinya Richo.
Panji meyakini jika perasaan Richo saat itu bukanlah suatu hal yang main-main, meski pada akhirnya mereka putus di tengah jalan.
Panji tahu seberapa terpuruknya Richo, begitu tahu bahwa Sulbi dan Raka menghianati kepercayaannya. Butuh bertahun-tahun untuk Richo kembali membangun kepercayaan dirinya.
Cukup Panji tahu bahwa wanita itu telah memorakporandakan hidup Richo.
Richo terlanjur menanda-tangani kontrak tersebut, dan ia tak mau jika Richo di cap tidak profesional karena menolak pekerjaan ini hanya karena Sulbi.
"Elo yakin ambil kerjaan ini?" tanya Panji, ketika mereka keluar dari ruangan tempat seluruh kru film melakukan kegiatan reading.
Suatu hal diharuskan sebelum mereka melakukan pengambilan gambar yang sesungguhnya, agar tercipta sebuah ikatan dan chemistry antar tokoh.
"Menurut lo? Gue udah terlanjur taken kontrak itu. Apa kata mereka kalo mendadak batalin kontrak."
"Tapi ini-"
Richo menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Panji. "Gue tau, Nji. Ini bakalan gak mudah kedepannya. Profesionalisme gue taruhannya."
"Elo yakin, Ric?"
"Delapan tahun, Nji. Delapan tahun gue udah bersiap-siap untuk bertemu dia lagi. Gue bakalan tunjukin ke elo, kalo usaha gue selama delapan tahun ini gak sia-sia. Gue Richo Kurniawan, dan gue bisa!"
Panji cuma bisa menatap punggung tegap Richo yang menjauh.
Semoga ini bukan awal dari petaka lainnya.
.
.
.
"Miii ... Mamiii ...," Teriakan Richo menggema ke seluruh ruang tamu.
Rumah besarnya tampak sepi. Richo memilih pulang ke rumah orang tuanya ketimbang ke apartemennya. Ia sedang tak ingin sendirian, karena ujung-ujungnya akan kembali memikiran mantan kekasihnya.
Dan itu sungguh menyebalkan!
Richo mengernyit bingung. Tak biasanya rumah keluarga Kurniawan sepi, jika biasanya Bik Marni akan menyambut kedatangannya. Kali ini ia di sambut keheningan.
Ruang tengah pun kosong bahkan Bik Sumi yang biasa di dapur pun tak kelihatan.
Tumben-tumbenan rumah jadi sesepi ini. Richo mengitari beberapa ruangan di rumah, hingga langkahnya terhenti oleh gelak tawa anak-anak.
Ah, pasti Kevin sedang membawa salah satu temannya, lagi.
Keponakannya itu, selalu membawa pulang salah satu teman sekelas. Di umurnya yang menginjak delapan tahun, ia tahu bagaimana rasa bosan dan kesepian.
Ia tahu sesibuk apa kakak sulungnya itu, hingga tanpa sadar ia mengabaikan kepentingan Kevin akan kasih sayang dan perhatian darinya sebagai seorang Ayah.
Richo sadar, ada dirinya yang juga ikut andil besar dalam hal ini. Ia tak mau mengikuti jejak Evan dalam perusahaan keluarga mereka. Karena lebih memilih jalur hiburan sebagi profesinya sekarang.
Richo melihat kegiatan Kevin dan temannya tengah bermain air di kolam renang. Beberapa kali Richo mendapati Kevin selalu membawa teman yang berbeda-beda.
Ada Bik Marni dan Bik Sumi di sana, mengekori kemanapun Kevin dan temannya berlarian.
Ada tawa dan kebahagiaan di sana. Ah ... ingin rasanya ia kembali menjadi anak kecil. Karenanya tak perlu lagi ia berpikir hal-hal seperti ini. Hanya main dan tertawa.
Sedangkan menjadi orang dewasa itu ruwet.
"Namanya Prabu," ucap Rima membuat Richo menoleh sebentar ke arah Maminya. "Dia gak banyak omong kayak Kevin. Tapi dia bisa ngemong Kevin."
Prabu ... nama itu. Ah, sudah lah!
Ada yang menyentil hatinya begitu mengetahui nama teman Kevin itu.
"Siapa tadi namanya, Mi?" Ulang Richo yang masih fokus menatap Prabu.
Anak kecil dengan perawakan yang hampir sama dengan Kevin, namun dengan porsi badan yang lebih berisi ketimbang keponakannya yang terbilang ceking.
"Prabu Syailendra Kurniawan. Eh, itu namanya Prabu kok ada Kurniawannya. Kek nama kamu aja, Ric," celutuk Maminya membuat salah satu sudut hatinya tak terima. Kenapa anak itu memakai nama Syailendra, bukan lainnya. Bahkan ada Kurniawan tersemat di sana.
Hingga netra hitam pemilik nama tersebut, bertemu dengan kelereng hitam miliknya. Ada satu rasa lain yang menelusup.
Tatapan Prabu, sepertinya tak asing. Hingga satu pemikiran yang mencuat di otak Richo.
Seperti tatapan Sulbi kepada dirinya.
★★★★★
-Dean Akhmad-
02-07-2018
Repost : 28/10/2018
29/01/2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro