Satu
Samsons - Akhir Rasa Ini
※◎※◎※◎※◎※
BRAAAK!
Suara daun pintu yang terhempas ke dinding membuat dua sejoli yang tengah berpelukan berjingkat kaget. Tak ayal, mereka menoleh keasal suara.
Di sana, ada seorang pria yang tengah memandang mereka berdua dengan rahang mengetat. Tatapan tajam yang mengisyaratkan kemarahan dengan buku-buku jarinya terkepal kuat.
"Pa-pandu...," cicit si wanita yang menampakkan wajah piasnya.
"Kalian-" napasnya menderu, membuat siapapun yang melihatnya pasti merasa ketakutan. "Berani-beraninya kalian bermain di belakangku?" Teriaknya lantang.
Si wanita beringsut ke belakang pria berkemeja biru laut. Mata pria bernama Pandu bahkan bisa melihat, jemari sahabatnya menggenggam erat tangan kekasihnya.
"Jelasin ke aku, apa maksud dari semua ini, Merli?"
"Maafin aku, Ndu. Tapi Marlon lebih baik dari pada kamu."
Pandu merasakan tenggorokkannya mengering. Alasan yang klise bukan. Mereka berdua. Memadu kasih tepat di belakangnya.
"KEPARAT, KALIAN!"
"CUT!"
Suara teriakan Sutradara menghentikan aktivitas syuting terhenti. "Istirahat satu jam." Menginstruksi para kru dan artisnya.
Menyugar rambutnya, pria yang memerankan Pandu hanya tersenyum simpul dan menunduk takzim ke arah Sutradara paruh baya tersebut, kemudian duduk di kursi yang sudah di sediakan oleh pihak produksi.
"Thanks, Bro," ucap Richo menerima botol mineral yamg disodorkan oleh Panji, Managernya.
"Boss ... aktingnya yahuuud, kece bingit, betul-betul mendalami karakter banget," celutuk Bagus selaku asistennya.
"Hmm!"
Richo menghela napasnya, kemudian mengerling ke arah Panji. Sedangkan Panji melirik ke arah Bagus, memberikan tatapan mata yang mengisyaratkan Bagus untuk tutup mulut dan pergi menjauh.
Richo memejamkan mata barang sebentar guna menyingkirkan bayangan yang selalu mengikutinya selama delapan tahun terakhir.
Adegan tadi pernah terjadi dalam hidupnya, bahkan lukanya pun masih terasa hingga saat ini. Dan masih sama menyakitkannya.
"Elo, masih kepikiran sama Sulbi?" celutuk Panji enteng.
"Menurut elo?" tanya Richo dari sela-sela aktivitasnya memijat pangkal hidungnya.
"Ini udah delapan tahun, Ric. Dan elo masih setia sama rasa itu?"
Iya. Richo masih setia sama rasa sakit yang ditinggalkan oleh mantan kekasihnya delapan tahun silam. Mengingat apa yang sudah dilakukan wanita itu, Richo masih merasa kesal dan sakit hati, juga merasa tak terima.
Gemerlap dunia keartisan terlalu banyak godaan, sebisa mungkin tetap setia pada Sulbi. Kekasihnya.
Menyedihkan sekali.
Seperti orang bodoh.
Ia berusaha keras menyempurnakan hubungan mereka, tapi sepertinya apa yang dilakukannya tak mampu membuat Sulbi bahagia. Tak tanggung-tanggung, Sulbi lebih memilih Raka, sahabatnya.
Rasa kesal itu kembali muncul ke permukaan ketika mengingat kejadian kelam malam itu. Malam di mana ia memergoki Sulbi dan Raka tengah berpelukan di apartemen sahabatnya. Kenyataan yang telah memukulnya telak. Ia kalah dan terjerembab dalam luka.
Luka yang ditinggalkan.Sulbi, tak semudah itu lenyap. Bahkan ia membutuhkan waktu hingga delapan tahun untuk berani maju ke depan hanya untuk menjajaki sebuah hubungan baru.
Terlihat mengenaskan memang.
Hingga ia bertemu dengan Shani. Kekasih seprofesi yang mempunyai jarak usia terpaut cukup jauh darinya.
Jika dulu ia hanya bisa masih terpuruk dan berada di titik terendah di hidupnya. Maka kini ia bisa bangkit dan mencoba mengubur satu persatu kenangan akan Sulbi.
Hidup terus berjalan. Ia harus terus melanjutkan. Ia pernah kehilangan Sulbi, maka kini ia belajar dari pengalaman masa lalu bahwa ia harus bisa menjaga apa yang ia miliki sebelum terengut kembali.
Tak ada lagi Richo yang dulu. Ia akan membuktikan pada masa lalunya bahwa ia bisa bahagia tanpa harus merasa sesak karena pengkhianatan. Ia bukanlah pria kebanyakan yang rela menukar kesetiaannya hanya dengan euforia masa lalu.
Perlahan tapi pasti. Ia akan menunjukkan siapa dia sebenarnya.
.
.
.
.
"Kamu harus pulang, Bi." Titah Nyonya Besar Adi Nugroho.
"Gak bisa, Ma," desah Sulbi memijat tengkuknya. "Kerjaanku banyak, belum lagi rapat yang membosankan sama investor," keluh si Sulung Adi Nugroho.
"Mama gak mau tau, Bi. Sabtu depan kamu harus ada di rumah. Adikmu akan lamaran. Masa kamu tega nggak hadir di acara sepenting itu?"
"Ma. Itu kan cuma lamaran. Penting ya kehadiranku? Enggak ada ngaruhnya juga. Yang lamaran siapa, yang kudu hadir juga siapa?" Kali ini Sulbi protes keras yang dijawab oleh dengkusan keras sang mama.
"Mama gak mau tau, Bi. Sabtu siang kamu harus ada di rumah. Itu perusahaan masih milik papamu, bukan punyamu. Lagian gak kerja sehari gak bakalan bikin kamu jatuh miskin." Sulbi menghela napas panjang. Keputusan mutlak dan tak terbantahkan.
"Gak pake koma, Bi. Cuma titik. Dan fix sabtu siang." Belum sempat Sulbi menjawab, sambungan teleponnya sudah diputus oleh Nyonya Besar Adi Nugroho.
Sulbi mengerang hebat. Ingin rasanya ia berteriak dan mengumpat, mengeluarkan semua kosa kata kebun binatang yang ia ketahui. Kalau saja mengumpati mamanya bukanlah suatu dosa.
Demi Tuhan! Ia sudah berumur tiga puluh tahun, dan semua keputusan hidupnya harus selalu Mamanya yang memutuskan.
Menjadi pemimpin tak semudah membalikkan telapak tangan. Selama ini ia banting tulang di perusahaan milik papanya, dan ia harus totalitas dalam mengerjakannya.
Dikira dia bisa ongkang-ongkang kaki, terus uang akan terus mengalir langsung ke rekening bank-nya. Ia perlu mencontohkan sikap kerja kerasnya dalam bekerja, disiplin waktu juga loyalitas.
Sulbi tidak mau dianggap sebagai atasan yang sembrono dan semaunya sendiri. Mentang-mentang dirinya adalah anak pemilik perusahaan.
Lagi-lagi ia harus menunjukkan kegigihannya dalam bekerja. Ia tak ingin dianggap sebagai anak yang tak berguna.
Sebagai sulung dari keluarga Adi Nugroho, Sulbi dituntut lebih. Ia harus menjadi wanita tangguh dan patut dibanggakan, bukan wanita cengeng dan manja. Seperti adiknya.
Sulbi menghela napas. Adiknya, ya?
Kapan ia akan terus berkompetisi dengan adik semata wayangnya untuk mendapatkan perhatian orang tuanya? Sekeras apapun ia berusaha, adiknya akan selalu menjadi prioritas orang tuanya. Dan kerja kerasnya tak lagi sebanding dengan apa yang sang adik dapatkan.
Jika boleh memilih, Sulbi teramat ingin mengapai mimpinya sebagai seorang Chef ketimbang menjadi CEO. Mimpi yang tak akan pernah ia gapai. Bahkan orang tuanya lebih rela mengeluarkan Sulbi dari jurusan yang ia inginkan dan memaksanya masuk ke jurusan Manajemen Bisnis. Tak tanggung-tanggung, orang tuanya memilih menyekolahkan Sulbi ke Amerika sampai bergelar master.
Menyedihkan!
Iya, sangat menyedihkan. Saking menyedihkannya hingga membuat dirinya masih betah menyendiri. Namun jauh di lubuk hatinya masih ada satu nama yang tersimpan rapat di sana, tanpa mau pergi. Meski delapan tahun berlalu. Namanya masih bersikukuh tinggal.
Salahkan saja dirinya yang dengan pengecut lebih memilih sahabat lelaki itu, daripada harus bersikap jujur dengan keadaannya.
Ia tak sanggup, jika harus menghancurkan impian pria itu. Karena Sulbi tahu sehancur apa dirinya ketika dipaksa untuk meninggalkan impiannya.
Dan itu menyakitkan.
"Semoga kamu bahagia, Ric!" guman Sulbi yang mendoakannya sepenuh hati.
※※※※※※※
Mahalo
-Dean Akhmad-
11-06-2018
Repost : 27/10/2018
Repost : 29/01/2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro