Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam

Lima hari terjebak di Bali dengan Richo, sedikit banyak membuat Sulbi merasa tak nyaman.

Selain status mereka adalah mantan kekasih, juga karena Richo adalah calon adik iparnya. Lalu bagaimana ia akan berpura-pura bahwa segala baik-baik saja.

Baik Sulbi dan Richo sama-sama bersikap profesionalisme pekerjaan. Tak ada yang tahu hubungan mereka, hanya manager Richo dan Sulbi sendiri.

Hari ini pemotretan dilakukan di pantai Jimbaran. Para kru sudah bersiap-siap, ada Richo dan beberapa model yang ia pakai jasanya. Sulbi bahkan tak mau repot-repot mengetahui namanya.

Sulbi sedikit jengah melihat pemandangan di depannya. meski tak terlalu dekat, tapi sanggup membuat Sulbi keki sendiri.

Di sana Richo sedang ditempeli oleh wanita-wanita seksi sesama profesinya. Mencoba menarik perhatian  Richo, mengingat ia cukup lama mengamati sang mantan Sulbi memfokuskan kembali matanya pada layar laptop yang terbuka.

Richo melirik dari sudut matanya, bagaimana wajah serius Sulbi jika sudah berhadapan dengan pekerjaannya.

Bagaimana bisa ia melupakan wajah itu dalam sekejap, jika pemilik wajah itu masih mengisi sudut kosong di hatinya.

Richo bahkan mengabaikan para model-model yang brusaha mengodanya. Fokus mata Richo tetap mengekori kegiatan Sulbi, meski harus curi-curi pandang.

Kadang Richo ingin mengeluarkan hatinya dan memotong bagian yang terisi nama Sulbi di sana. Agar ia bisa bahagia dengan Shani.

Tapi kenyataan itu hanya menjadi khayalannya saja, karena pasti tak mungkin terjadi.

Richo tak menampik jika wajah ayu Sulbi semakin terlihat cantik, seiring gurat kedewasaan menambah kesan classy pada Sulbi. Padahal dia hanya memakai kaos oblong abu-abu disertai celana jins warna hitam dan sepatu sneakers putih. Tetap saja Sulbi terlihat cantik.

Pemotretannya selesai dua jam yang lalu, tapi Sulbi masih enggan kembali ke kamarnya. Hari masih lah sangat terik, jadi ia lebih menilih tinggal di pantai.

Suara tawa bahagia mengusik lamunan Sulbi. Di bibir pantai sana, ada sepasang anak-bapak yang sedang asik bermain air.

Betapa bahagianya mereka.

Tawa mereka tak menyurut, meski panas matahari begitu menyengat. Tak mengapa jika kulit gosong, asal anaknya bahagia.

Harusnya ia bisa bahagia seperti keluarga itu, kelak. Hatinya mengerang tak terima, karena satu keinginan kecil itu takkan pernah terjadi.

Tak ada keajaiban dalam hidup Sulbi. Tak pernah ada.

Panas matahari sedang beradu dengan udara pantai yang sama-sama panas, membuat tubuh Sulbi mendadak tak enak.

Jadi dia memilih untuk kembali ke resort yang ia sewa, beserta kru dan karyawan yang bersangkutan dengan proyek ini.

Tubuh Sulbi sedikit goyah begitu menjejakkan kakinya di lobi resort, ketika tanpa sengaja ia menyengol bahu seseorang.

Sulbi memunduk dan meminta maaf tanpa memandang siapa yang ia tabrak. Kemudian berlalu begitu saja.

Tanpa peduli korbannya memandang sendu ke arah Sulbi yang sudah pergi, menyisakan punggung Sulbi yang mengecil seiring ditelannya Sulbi ke dalam kotak besi.
.
.
.
Memasuki lift, ponsel Sulbi bergetar. Ada foto Raka dan anak laki-laki yang dijadikan foto kontak teleponnya.

"Iya, Ka?"

"Lagi ngapain kamu, Bi?"

"Ehm! Mau balik ke kamar, why?"

"Ada yang kangen, Bi. Kamu nggak kangen sama dia?"

"Jelas aku juga kangen. Banget malah."

"Kamu sih, ke Bali nggak bilang-bilang. Dia ngambek."

"Ya maaf! Aku lupa ngabarinnya. Next aku bakalan pamit dulu."

Sulbi menyunggingkan senyum, mendengar suara perdebatan Raka dengan anak kecil di seberang sana.

Raka yang memaksa untuk langsung ngomong sendiri ke Sulbi, sedangkan si suara anak kecil itu kekeh bahwa dirinya sedang dalam ngambek mode on. Mau tak mau Sulbi terkekeh pelan, menikmati perdebatan diseberang sana.

"Mau oleh-oleh apa sih?"

"Tau nih. Disuruh ngomong nggak mau, malah kekeh ngambek."

"Ck! Dasar ambekan!" Sulbi tak bisa lagi menampung tawanya, begitu mendengar jeritan tak rela dari seberang.

"Ntar deh, aku telepon lagi. Bujukin dia dulu."

"Ren, yakin nih nggak mau ngomong sama, Bunda?" Sulbi kembali terkekeh. "Rendra sayang, Bunda!" Yang diakhiri dengan suara kecupan.

"Sayang kamu juga! Bye ...." Sulbi membalas kecupan itu juga.

Sulbi mengusap layar ponselnya yang ber-wallpaper dirinya dan seorang anak lelaki. Mereka tengah tersenyum menghadap kamera.

Hingga dengusan keras terdengar dari belakang, membuat Sulbi berjingkat kaget.

Ada Richo di sana, tengah bersandar dengan bersendekap. Menampilkan mimik wajah meremehkan bercampur kemarahan.

"Kalian terlihat bahagia!" Sulbi beringsut di sisi seberang Richo. Mengambil jarak sejauh mungkin. "Apa kamu nggak sebahagia itu sama aku, Bee?"

Pertanyaan Richo berbarengan dengan denting suara lift yang berhenti. Tanpa menoleh, Richo keluar dari lift dan meninggalkan Sulbi yang masih tercenung ditempat ia berdiri.

"Kalian terlihat bahagia!"

"Apa kamu nggak sebahagia itu sama aku, Bee?"

Dan Richo memanggilnya Bee. Panggilan sayang yang lelaki itu sematkan saat mereka berpacaran dulu. Filosofinya adalah bahwa kehadiran Sulbi dalam hidup Richo layaknya lebah yang memproduksi madu.

Madu itu manis. Jadi kehadiran Sulbi sebagai pemanis hidupnya.

Sederet kalimat itu terngiang di telinga Sulbi. Bahagia?

"Kalo aku bilang betapa bahagianya aku saat bersamamu dulu, apa kamu akan merubah semuanya, Ric?" gumam Sulbi menghiraukan pintu lift yang kembali tertutup.

✩★✩★✩★✩

Hayoloh, bang Richo salah paham. Hihihihi.

Surabaya, 29/11/2018
—Dean Akhmad—

Repost : 29/01/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro