Empat
Sulbi gagal melarikan diri.
Ingin rasanya ia kabur dan menjauh dari rumah besar ini. Tapi sepertinya itu takkan mungkin terkabul.
Karena setelah ia menurunkan hasil masakan terakhirnya, pak Sarman memberitahukan bahwa keluaraga Kurniawan sudah datang.
Great! Bagaimana ia bisa kabur sekarang.
Karena sejujurnya. Ia masih belum sanggup kembali bertemu dengan mantan kekasihnya, yang akan menjadi adik iparnya.
Mengerikan!
Sulbi tak pernah membayangkan, kejadianya akan seperti ini.
Ini gila! Tentu saja.
Ada bayang-bayang masa lalu yang mengikuti kemana dirinya berada. Tak terkecuali adalah tentang mereka.
Mendesah berat, Sulbi memilih kembali masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.
Melewati kamar Shani yang terbuka, Sulbi tertegun melihat betapa cantiknya adik perempuannya itu.
Perbedaan usia mereka delapan tahun. Apa bisa dikatakan bahwa Shani masihlah gadis remaja berumur dua puluh dua tahun.
Sulbi cemburu. Karena kasih sayang orangtuanya lebih condong ke Shani. Dan sekarang ia begitu iri karena adiknya ini terlihat begitu cantik dan akan menikah. Terlebih yang melamar adalah Richo Kurniawan.
Sulbi terkesiap. Sebelum Shani menyadari bahwa ia tengah mengamati dirinya. Lebih baik ia kembali ke kamarnya. Toh ia pun takkan pernah dianggap ada.
Sulbi membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya, seraya menyentuh liontin kalungnya berbahan emas putih.
Pikirannya menerawang jauh, tanpa bisa dikendalikan.
Shani si anak kesayangan.
Shani si baik hati.
Shani di cantik.
Dan sejuta pujian untuk Shani, tapi bukan untuknya.
Kalau saja hal itu tak terjadi, mungkin ia lah yang berada di posisi Shani saat ini. Dilamar oleh Richo Kurniawan.
Sulbi benci mengakui hal ini. Tapi perasaan sentimentil itu masih bertahan di sana. Dan tak berubah sedikit pun.
"Astaga, Sulbi!" pekik Vita begitu memasuki kamar Sulbi tanpa mengetuk pintunya.
Sulbi menoleh, tanpa berniat bangkit.
"Cepat ganti bajumu! Tamunya sudah datang."
"Aku malas, Ma. Capek!"
Vita melotot. "Nggak ada excuse, Bi. Kamu cepetan ganti bajunya. Tunjukan sama keluaraga Kurniawan, kalo kita ini keluarga bermartabat. Kamu mau kalo kita ini di cap sebagai keluarga tak menghormati tamu?" Omel Vita panjang lebar.
"Ma, plis. Sulbi bener-bener capek. Pengen istirahat."
"Nggak ada tapi-tapian, Bi. Sepuluh menit. Ah, lima belas menit cukup bagimu untuk dandan." Setelah itu Vita keluar dari kamar Sulbi.
Menghembuskan napasnya dengan sebal, mau tak mau Sulbi beranjak dari rebahannya.
Sejujurnya Sulbi tak pernah bisa menolak permintaan mamanya, karena sekeras apapun ia menolak. Tetap saja, Sulbi selalu patuh kepada Vita.
Apapun itu.
Setengah jam kemudian, Sulbi sudah siap dengan dress polos berwarna hitam selutut.
Untuk kesekian kalinya ia menghembuskan napasnya. Mengerling sebentar ke arah ruang makan, yang kebetulan menyatu dengan tangga menuju lantai atas.
Masih kosong. Yang berarti mereka sedang berbincang-bincang di ruang tamu.
Suasana akan canggung jika Sulbi tiba-tiba muncul di sana. Menimbang sebentar ia akhirnya memilih masuk ke dapur dan memeriksa hidangan untuk kesekian kalinya, sebelum di sajikan.
"Kok, Non Sulbi ada di sini?" tanya mbok Surti begitu Sulbi memasuki dapur.
Bukannya menjawab, ia malah ikutan mengambil wadah berisi makanan dan menatanya di atas meja makan.
"Mereka lagi ngobrol serius, Mbok. Trus gunanya Sulbi di sana apa? Kalo tiba-tiba nongol 'kan ntar yang ada bikin canggung suasananya." Jelas Sulbi yang masih bolak balik dapur ke ruang makan.
"Non kan anaknya juga."
"Emang. Ya, terus?"
"Ya ... kan mesti dilibatin juga." Seraya mengelap sisa kuah rendang yang tumpah di atas meja.
"Mbok kayak nggak pernah tau aja, sih!"
Sulbi memandang ke arah meja makan. Mengembuskan napas lelahnya, kemudian memijit keningnya. Diantara ratusan resep yang ia hapal diluar kepala, kenapa ia justru memilih memasak opor ayam dan semur iga bakar. Dan itu adalah makanan favorit Richo.
Kali ini Sulbi berdecak. Mungkin gak sih kalo alam bawah sadarnya udah ngasih perintah masak beginian.
Delapan tahun berlalu, ia masih mengingat jelas makan kesukaan Richo.
Dulu. Sulbi pernah memasakan opor ayam, dan dengan lahapnya Richo memakan semuanya, bahkan Sulbi yang memasaknya saja tak diperbolehkan ikut makan opor ayam.
Segila itukah, Richo? Iya, tapi dulu. Entah kalau sekarang. Sulbi juga teringat soal makanan favorit orangtuanya, mantan kekasihnya itu pernah bercerita jika ayahnya adalah pengila rendang, dan ibunya penyuka ikan bandeng.
Dan Sulbi memasak itu semua, tentu dengan bantuan Mbok Surti--pembantu yang sudah mengabdikan jasanya pada keluarganya semenjak ia belum lahir.
Beberapa hari ini, ia sudah melatih diri agar bisa bersikap biasa saja jika bertemu dengan Richo. Apalagi ada orangtuanya juga.
Sungguh, ia belum siap jika bertemu kembali dengan mereka. Sepasang paruh baya yang menyambut hangat kehadirannya, kala ia masih menjadi kekasih Richo.
Ia tahu seberapa besar amarah pasangan Kurniawan kepada dirinya. Sulbi tak buta, bagaimana terluka dan terpuruknya Richo, saat memergokinya tengah berpelukan dengan Raka, sahabatnya. Ia juga memutuskannya secara sepihak, tanpa penjelasan. Richo bahkan nyaris hancur tanpa sisa. Kini ia harus dihadapkan dengan orang-orang dari masa lalunya. Semoga ia bisa melalui malam ini.
Samar-samar Sulbi mendengar gelak tawa dari ruang tamu, lihatlah, betapa bahagianya mereka tanpa kehadiran si sulung yang tak terlihat ini.
Sulbi menyadari bahwa selama ini, perhatian kedua orangtuanya selalu memprioritaskan Shani. Sudah biasa Sulbi menjadi invisible diantara mereka.
Sebesar apapun usaha Sulbi untuk terlihat hebat, tetap saja ia tak anggap ada.
"Kak Bibi memang paling pintar masak. Bahkan makan malam ini, Kakak yang masakin khusus buat kalian," ujar Shani yang disambut oleh gelak tawa mereka.
"Duh, beruntung ya, Jeng. Punya dua anak gadis, mana pinter-pinter pula."
"Iya, Mbak. Apalagi Shani. Selalu aja bikin kami bangga sama prestasinya."
Sulbi mendengus keras. Selalu saja seperti ini.
Dada Sulbi bergemuruh. Seharusnya ia tak di sini, apa lagi berdiri di belakang dinding yang berfungsi sebagai sekat pemisah antara ruang tamu dan ruang tengah.
Kembali menimang, Sulbi lebih baik balik ke dapur dan berkutat dengan masakan.
"Bibi! Kamu ngapain di situ? Lama amat dandannya?" tanya Vita tatkala Sulbi akan melangkah ke dapur.
Mau tak mau Sulbi harus berbalik dan menghadapi mamanya.
"Ayo ke depan. Mama mau ngenalin kamu ke calon besan keluarga kita." Titah Vita berusaha menyeret lengan Sulbi.
Dengan reflek cepat, Sulbi menyentak kaitan tangan Vita di lengannya dan mundur selangkah.
"Ma!" pekik Sulbi pelan. Mengigit bibir bawahnya guna meredam tubuhnya yang mendadak bergetar.
"Bibi!"
"Ma! Sulbi di dapur aja nyiapin makan malamnya. Ntar juga kenalan di sana." Elak Sulbi mencoba menahan suaranya agar terdengar normal.
"Mama mau kenalin kamu, Bi." Tak mau kalah Vita kembali menghampiri Sulbi. Namun Sulbi pun juga ikut memundurkan langkahnya.
"Kalian ngapain?" tanya Adi Nugroho selaku kepala rumah tangga.
"Ini lho, Pa. Sulbi nggak mau di ajak ke depan. Mama kan pengen ngenalin dia ke keluarga Kurniawan."
Sulbi gemetaran, tapi masih bisa ditutupi oleh senyum penuh kepalsuan yang ia tunjukan pada papanya.
"Sulbi mau ke dapur aja, Pa. Nyiapin makan malam. Kalian ke depan aja, katanya mau ngomong serius?" Usulan Sulbi diamini oleh Adi Nugroho secara tak langsung. Beda dengan Vita yang menggeram sebal menatap putri sulungnya ini. "Toh Sulbi bisa kenalan di meja makan, Ma." Putus Sulbi yang langsung kembali menuju dapur.
Sulbi hanya sedang ingin mengulur waktu guna mempersiapkan diri. Beberapa hari ini ia selalu menyugesti otaknya agar menganggap Richo sebagai adik ipar.
Tangan Sulbi sedikit bergetar. Meski tak begitu terlihat, tapi orang akan segera menyadarinya jika Sulbi menyalami satu persatu tamu yang berada di sana.
Sulbi tersekat dengan tubuh yang menegang. Mendapati tatapan nyalang tak bersahabat dari pria di seberang sana. Menahan rasa gugup yang tiba-tiba menjalarinya. Mereka akan ke ruang makan. Dan Sulbi harus siap bertemu dengan mereka.
Dengan susah payah, ia menelan salivanya. Sungguh bukan ini yang ia inginkan. Berkali-kali melatih diri akan pertemuannya dengan Richo, namun tetap saja ia kalah.
Iya, ia kalah. Kalah akan perasaannya. Rasa itu masih ada, tersimpan di sudut hatinya.
Sulbi tahu jenis tatapan itu. Penuh kebencian, dan amarah.
Sulbi menunduk, ia menghirup udara sebanyak mungkin, dan membuangnya pelan.
Kamu pasti bisa, Bi.
Kembali ia mengangkat kepalanya, kali ini bukan hanya Richo yang menatapnya dengan pandangan yang sama. Melainkan nyonya Kurniawan, juga turut menyematkan pandangan selayaknya Richo.
Sulbi sadar betul, bagaimana kesalahannya. Ibu mana yang rela melihat keadaan putranya yang menyedihkan, pasca keputusan sepihak yang diambil Sulbi.
Dipandang dari sudut manapun, Sulbi tetaplah bersalah. Dan ia tahu bahwa Richo takkan pernah bisa melupakan hal itu. Dimana dirinya lebih memilih Raka. Menganggapnya telah Mencurangi hubungan mereka, dan meninggalkannya tanpa penjelasan apapun.
Jika Sulbi yang berada di posisi Richo, ia pun juga akan membenci yang namanya penghianat. Dan itulah dirinya, penghianat.
Sulbi lebih memilih diam, hingga papanya menggiring mereka ke arah meja makan untuk menikmati makan malam.
Giliran Richo yang kini tersekat mendapati menu makanan yang disediakan keluarga Adi Nugroho.
Opor ayam dan semur iga bakar. Dua makanan favoritnya, dan hanya Sulbi yang tahu.
Belum lagi, menu rendang dan garang asem ikan bandeng. Itu semua adalah kesukaan orangtuanya.
Tidak mungkin sebuah kebetulan, 'kan?
"Lho, Ric. Itu 'kan makanan favorit kamu," celutuk Rima melihat menu opor ayam dan semur iga bakar favorit anak bungsunya.
"Beneran, Tan? Aku malah gak tau makan kesukaan Richo." Timpal Shani.
"Ini semua Bibi yang masak lho, Jeung."
Sulbi melemparkan senyum kaku dengan perasaan kikuk. Bodohnya ia. Harusnya bukan menu itu yang ia masak, ganti yang lain saja.
Tapi ... ah sudah lah. Toh sudah terlambat.
Sulbi memilih duduk di pinggir, yang tepat bersebarangan dengan Richo.
Astaga, cobaan apalagi ini?
"Bukannya kamu satu kampus sama Richo, Bi? Kamu kenal gak sama dia?" Pertanyaan yang dilontarkan papanya, membuat Sulbi berjengkit kaget. Menyadari dirinya tengah melamun.
"Oh, iya, Pa. Sulbi sekedar kenal aja. Satu kampus tapi beda fakultas."
Terkutuklah kamu, Bi. Kalo aja kamu bilang kamu kenal banget dan dia mantanmu, kira-kira gimana reaksi mama-papa juga Shani.
Lebih baik Sulbi memilih diam, daripada salah tingkah dan salah jawab.
"Kenapa sih, Bi, kamu gak mau pake Shani buat pasangan Richo jadi brand ambasador produk kita?" Pertanyaan mamanya kembali membawa Sulbi ke dunia nyata.
"Gak bisa, Ma."
"Adikmu ini berbakat, Bi. Lagipula kalo Shani dan Richo digabungin kan bisa lebih mengaet. Selain itu, mereka sedang berpacaran..."
"Aku gak bisa, Ma." Keukeh Sulbi.
"Apa alasanmu gak menyetujuinya?" Kali ini Richo angkat bicara.
Sedari tadi ia sudah gemas dengan sifat kepala batunya Sulbi. Sekali enggak, maka selamanya adalah enggak. Delapan tahun, dan sifat Sulbi sama sekali tak ada perubahan.
Sulbi mengembuskan napasnya, ia malas jika mamanya sudah mulai merecoki pekerjaannya seperti ini.
Seolah-olah dirinya tak kompeten mengurus perusahaan milik keluarga Adi Nugroho.
Harus, ya? Membahas pekerjaan ditengah-tengah acara makan malam.
"Menurut mama? Gimana reaksi orang-orang saat mereka--karyawan--tahu, kalo Bibi make Shani sebagai model brand ambasador kita?" Jeda sebentar, "Nepotisme! Aku gak mau mereka mencap Shani sebagai produk hasil nepotisme."
"Tapi Shani punya kemampuan, Bi."
"Bibi tetep gak bisa, Ma. Shani harus berjuang dengan usahanya sendiri. Dan aku gak mau mencampur adukan hal ini. Shani adik aku dan perusahaan adalah anak aku, biarkan dengan tanganku sendiri aku membesarkan anakku. Tanpa intervensi dari mama atau papa." Hal ini lah yang paling Sulbi benci. Berargumen dengan mamanya.
Kali ini Sulbi tak bisa mengalah, apalagi jika berurusan dengan perusahaan.
"Gak bisa! Kamu harus pake Shani. Shani itu cocoknya sama Richo. Lagipula merek-"
"Mama cukup!" desis Adi Nugroho mampub membuat Vita bungkam. "Ada keluarga Kurniawan di sini. Mama nggak malu?"
"Maaf ya, Jeung. Kalo menyangkut kerjaan emang bisa bikin salah waktu bahasnya." Tukas Vita dibalas senyum maklum oleh Rima.
Richo sendiri hanya bisa menjadi penonton. Melihat argumentasi antara Sulbi dan Mamanya.
Richo akui, memang benar pembelaan Sulbi atas diri Shani. Apa kata orang jika tahu bahwa ia terkenal karena hasil nepotisme.
"Anu, non Sulbi. Den Raka telepon." Mbok Surti tiba-tiba datang membuat pembicaraan mereka terhenti.
Jangan lupakan ekspresi wajah Richo yang tiba-tiba mengeras, seraya mengepalkan kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja.
Rima yang tahu hal itu, menangkup tangan putranya dan mengurai kepalan tangan Richo.
Menggeleng pelan, Richo akhirnya menarik napas dan membuangnya perlahan. Mencoba mengontrol emosinya jika sudah bersangkutan dengan Raka.
★★★★✩✩✩★★★★
Yeay, kelar juga akhirnya. Hehehehehe
Selamat membaca
Mahalo
-Dean Akhmad-
23-07-2018
Repost : 07/11/2018, 29/01/2109
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro