Dua Belas
Melirik ke arah single table di sudut ruangannya, Sulbi hanya bisa mendesah pelan. Bunga yang kemarin saja belum layu, kini ia sudah mendapatkan kiriman baru lagi. Dan itu setiap hari.
Bunga kemarin masih bagus, tapi ia harus membuangnya dan menganti dengan yang baru. Ah, sudah lah. Sudah takdirnya bunga tulip itu berada di tong sampah.
"Bu!" Sulbi menoleh mendapati Zivara menyodorkan selembar kertas putih yang terlipat menjadi dua. "Maaf! Tadi terjatuh di depan pintu. Saya rasa ini dari pengirimnya."
Sulbi tersenyum kecil, seraya menerima kertas "Makasih!"
La Vue at The Hermitage
Pukul 7 malam
Arvie
Sulbi mengerutkan kening begitu membaca pesan dalam kertas tersebut. Apa itu artinya sebuah ajakan makan malam?
Sulbi masih penasaran siapa pria ini, jika dia bisa mengajak makan malam di La Vue at The Hermitage itu artinya dia bukan orang sembarangan. Meski tempat itu tak seekskusif yang mengaharuskan seseorang mereservasi tempat terlebih dahulu, tetap saja restoran itu menyediakan makanan yang cukup menguras kantong. Walau untuk ukuran Sulbi sendiri harga tak masalah, asal kualitas terjamin.
Sulbi meragu. Tentu saja. Ia tak mengenal pria ini, bagaimana ia bisa memercayainya. Arvie adalah pria asing, dan ia tak biasa berdekatan dengan orang asing. Ada trauma tersendiri baginya, agar tak terlalu berdekatan dengan orang yang tak terlalu ia kenal.
Sulbi meletakkan kertas tersebut disisi vas bunga. Lalu membongkar rangkaian bunga tulipnya, kemudian mengambil yang lama dan menganti dengan bunga tulip yang baru dan segar.
Sejenak ia melihat bunga tulip yang ada di tangannya, apa semua hal di dunia ini yang sudah tak terpakai akan berakhir di tong sampah? Sama seperti bunga ini, jika sudah layu dia akan menjadi hal yang tak berguna lagi.
Untuk kesekian kalinya, Sulbi menerima seikat bunga tulip berwarna putih sebanyak delapan tangkai namun tak ada kartu nama ataupun ucapan yang menyertainya.
Selain nama Arvie, Sulbi tak pernah tahu siapa sebenarnya pengirim bunga ini. Melihat dari jenis bunga, warna dan jumlah yang sama seperti pertama kali ia terima. Sulbi mengasumsikan bahwa pengirimnya adalah orang yang sama.
Tapi siapa itu Arvie?
Sampai sekarang pun ia tak pernah tahu siapa dan bagaimana bentuk rupa pemilik nama Arvie itu.
Ah, sudah lah. Itu bisa dipikirkan nanti.
.
.
.
Tak bosan-bosannya Shani mencuri pandang pada lelaki yang terpaut delapan tahun dari usianya tersebut. Pria yang telah mencuri hatinya semenjak pertama kali mereka beradu akting dalam sebuah iklan produk energi drink.
Siapa yang tak mengenal sosok Richo Kurniawan, model berusia tiga puluh tahun dengan senyum manis nan hangat sekaligus terlihat misterius. Karena itu lah, Shani langsung jatuh hati tanpa bisa dikondisikan lagi.
Ah, jatuh cinta memang sebegininya.
Richo masih sibuk dengan sesi pemotretannya. Demi menghalau rasa bosan karena menunggu, Shani tengah memainkan ponselnya yang hanya berisikan permainan Soda Crush. Bahkan ia sudah mencapai level seribu lebih.
Merasa bosan, Shani melemparkan ponselnya ke samping dan mendengkus sebal. Ia mati gaya. Harusnya ia menerima saja tawaran Tara—asistennya—untuk ikut dengannya nonton Bioskop sembari menunggu pekerjaan Richo selesai, toh mereka masih dalam satu mall yang sama.
Suara pop up notifikasi membuat Shani melirik ke arah ponselnya yang tergeletak tak jauh dari jaket kekasihnya itu, tapi justru atensi gadis dengan rambut dicepol ke atas itu tercuri tepat di mana ponsel Richo yang menyembul dari saku jaket denimnya.
Shani tak bisa lagi mengendalikan rasa penasarannya. Memang selama ini, mereka seolah sudah berkompromi untuk tak saling mengorek privasi masing-masing. Termasuk soal ponsel. Shani dan Richo sama-sama saling percaya dengan pasangan, itu sebabnya Shani tak pernah penasaran dengan isi ponsel Richo. Toh, selama mereka bersama, kekasihnya itu tak pernah mengabaikannya hanya demi ponsel pintar yang dia geletakkan begitu saja di atas meja.
Kini rasa penasaran itu tiba-tiba mencuat kembali, dengan santai Shani meraih ponsel keluaran negara Ginseng tersebut, dan senyumnya makin lebar ketika mendapati gawai Richo tak terproteksi dengan sandi pola ataupun angka.
Dengan lincahnya jemari Shani menyusuri deretan menu yang terpampang di layar smartphone calon suaminya.
Tak ada apa-apa, bahkan galeri ponselnya hanya berisi fotonya dan Richo saat mereka menghabiskan waktu bersama-sama juga kebersamaan keluarganya. Sosial media yang berupa Instagram saja isinya rata-rata berupa jepretan aktifitasnya sehari-hari.
Ada satu postingan Richo dengan pose yang hot-nya bikin siapa saja berbinar-binar memandangnya, atau mungkin julukan gremet-able dan sruduk-able tersemat di belakangnya. Membuat Shani terkikik geli membayangkan hal itu. Ah, betapa beruntungnua ia mendapatkan Richo sebagai kekasihnya.
Shani men-zoom foto shirtless milik Richo yang sudah terposting di akunnya itu, dan baru menyadari jika Richo mempunyai tato di dada kirinya. Tak ada yang spesial, hanya gambar denyut jantung yang diakhir dengan simbol hati dengan tulisan My Bee Sunshine dan sederet angka romawi memanjang tepat di pergelangan tangan kirinya.
Shani tersenyum begitu lebar, mendapati tato tersebut yang ia asumsikan ditujukan oleh Richo untuknya.
Ya Tuhan! Secinta itu kah pria tuanya itu.
Wajah Shani sudah bersemu merah sekaligus terkikik geli, karena hatinya yang sedang berbunga-bunga. Ingatkan ia untuk mengoda kekasihnya selesai pemotretan.
Hingga kemudian rasa penasarannya semakin tergelitik ketika matanya menangkap ikon Google Drive. Kira-kira apa yang disimpan kekasihnya di sana.
Seakan belum cukup menginspeksi isi galeri, jarinya terhenti cukup lama seraya melirik ke arah Richo sebentar. Bermodal nekat ia akhirnya menekan ikon segi tiga itu. Tak ada apa-apa sebagian besar isinya hanya folder-folder kosong.
Mata yang berhias bulu lentik itu berbinar dikala menemukan sub folder berjudul My Bee Sunshine berada di bawah sendiri. Dengan perasaan berdebar, Shani memutuskan membukanya dengan harapan menemukan foto-foto dirinya lah yang berada di sana.
Jari Shani terhenti kala ia melihat isi folder tersebut. Bukan foto dirinya, justru folder My Bee Sunshine penuh dengan foto kakaknya.
Rasa sesak itu tiba-tiba menghinggapi hatinya, ada sesuatu yang bergemuruh hebat, hingga jari-jari lentiknya gemetar saat memutuskan menutup ponsel Richo dan mengembalikan ke tempat asalnya.
Benaknya penuh dengan dugaan tentang hubungan keduanya.
Seketika ingatan itu menyeruak.
Tatapan Richo yang memandang kakaknya, panggilan Eric yang tidak biasa dari kakaknya, juga senyum cerah Sulbi yg terekam jelas di ponsel kekasihnya.
Senyum yang bahkan sudah sangat lama tidak Shani lihat tersungging di wajah kakaknya, bahkan ketika di tengah-tengah keluarganya.
Hingga tepukan pelan di bahunya menyadarkannya dari kecamuk pikirannya yang sedang luluh lantak. Senyuman lembut Richo menyambut pandangannya ketika menoleh.
"Yuk, Aku udah selesai. Jadi makan siang di mana kita? Maaf ya ... lama banget ya nungguinnya," ucap Richo sambil meraih air mineral di meja, dan meneguknya .
Shani masih bergeming, tubuhnya masih terasa lemas. Bahkan lututnya masih bergetar dengan kenyataan yang baru saja ia tahu.
Pertanyaan demi pertanyaan saling tumpang tindih, hingga ia sendiri bingung mana yang akan ia utarakan terlebih dulu.
Demi tuhan kepala Shani terasa akan pecah. Apa yang sebenarnya yang mereka sembunyikan.
"Yank ... kamu kok pucet banget? Kamu kenapa?" tangan Richo mendarat di dahinya, kemudian mengusap pelan wajah pipi Shani dengan mimik khawatir yang tidak luput dari netra Shani.
Jika saja ia tak membuka ponsel Richo, sudah dipastikan ia akan sukarela melemparkan diri kepelukan kekasihnya. Sayangnya, sekarang hatinya sedang tak baik-baik saja.
Reflek tangan shani menghalau tangan Richo. Demi Tuhan! Siapa yang masih bisa menerima skinship dari kekasihnya saat tahu bahwa lelaki yang ia cintai ada hubungan dengan kakaknya sendiri.
"Aku nggak papa! Mungkin efek semalam kurang tidur aja," Jawab Shani dengan suara sedikit parau.
Dahi Richo mengernyit heran, dan sebelum pertanyaan lain terlontar dari bibir laki laki di depannya ini, Shani bergegas berdiri. Memaksakan diri, walau otot-otot kakinya serasa melemas seperti kehilangan kinerjanya.
Berusaha tampak kuat dan menormalkan debar jantungnya, Shani mencangklong sling bag-nya. "Maaf ya, Yank. Aku lupa kalo ada janji sama Tara. Dia bilang ada jadwal dadakan dari agency. Kita makan siang lain kali aja, ya?" Melihat tatapan tidak terima dari Richo. "Please ... ini urgent banget. Seperti halnya kamu yang memadatkan jadwal sebelum pernikahan kita, akupun begitu. Agar nanti banyak waktu luang yang kita bisa habiskan bareng setelah kita nikah." Shani menambahkan buru-buru sebelum Richo menimpali omongannya.
Elusan pelan di puncak kepalanya, menyadarkan Shani dari akan lamunannya. Menghembuskan nafas pelan, ia berusaha bersuara normal walau dengan perasaan yang tak beraturan lagi.
"Oke! Aku ngerti kok. Perlu aku anterin atau mungkin nanti mau aku jemput?" Oh, Tuhan. Senyuman lembut Richo makin membuat dadanya kian sesak dengan spekulasi yang berjejalan di otaknya.
Shani tahu betul, ia tidak akan bisa menahan air matanya untuk tidak tumpah ruah jika ia tidak segera pergi dari sini. Ini terlalu tak mengenakkan di dada.
"Nope. Lupa ya, aku kan bawa mobil sendiri tadi pas nyamperin kamu. See you soon." tanpa menunggu walau hanya sedetik Shani membalikkan badan yang sebelumnya mencuri kecupan di bibir Richo. Segera ia mencari pintu keluar, dan mempercepat langkah kakinya menuju basement.
Ya.. Shani harus memastikan sesuatu. Segera.
✩★✩★✩★✩★✩
Yo, apdet lagi jeh. Setelah dijejelin sama EMAK TIRINYA richo sama sulbi, akhirnya bisa apdet juga.
Wkwkwkwkwwkwkwk ... nyaidasimah tengkyu very kamsha yes. 😘😘😘😘😘 debes lah dikau. Habis ini kumau apdet Nara dan Quarduplet. Hayooooo sapa yang udah nungguin mereka?
Monggo di baca. Makasih vote dan komennya gaes. 😘😘😘
Surabaya, 12-03-2019
-Dean Akhmad-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro