[she will be loved]
-Akhir bisa saja menjadi awal. Dan perpisahan bisa jadi adalah awal pertemuan.-
Adipati Sagala takkan pernah bisa melupakan hari itu.
Pertemuan pertama, ah, mungkin bagi Saga belum bisa disebut dengan pertemuan. Ia lebih senang menyebutnya dengan interaksi pertama, karena bagi Saga yang namanya pertemuan adalah sesuatu yang terjadi cukup intim, melibatkan percakapan menarik dan dalam waktu yang cukup untuknya menyimpan seseorang dalam kotak ingatan.
Dan perempuan di depannya ini tidak memenuhi salah satu pun dari kaidah itu.
Tapi toh, Saga tak pernah bisa mengikisnya dalam pikiran. Memang, interaksi itu secepat kilat... tapi bagi Saga meninggalkan bekas mendalam.
Siang itu, di saat hatinya tengah merutuki panasnya kota Jakarta yang tiba-tiba kemudian hujan dengan deras tak tanggung-tanggung, gadis di depannya ini malah tanpa banyak tanya mengantarkan Saga ke kantor tempat ia akan menjalani interview pekerjaan barunya. Bahkan gadis itu dengan riang menyodorkan payung, agar Saga tak kehujanan sepulang dari situ. Singkat, sangat singkat. Tapi, bagi Saga... peristiwa itu membekas.
Pertemuan kedua mereka lagi-lagi sama ajaibnya. Di saat Saga kepingin sejenak melepaskan beban yang harus ia tanggung, sekadar menjauh dari sepi yang mencekik dan membuatnya tak bisa tidur nyenyak selama ini, gadis itu malah tersedu pelan di tengah film laga yang mereka tonton. Awalnya, Saga benar-benar membutuhkan keramaian agar tak merasa sendirian, dan ia berharap bisa tidur nyenyak mengingat belakangan insomnia memereangkapnya meski dalam kesunyian. Nyatanya, isak tangis orang di sebelahnya cukup menyita perhatian.
Dan ketika lampu bioskop dinyalakan, untuk pertama kalinya Saga merasa dadanya nyeri luar biasa melihat mata itu memerah karena tangis dan kesedihan mendalam. Tangannya nyaris terulur ingin menyeka bekas air mata yang masih tersisa, namun panggilan dari rumah sakit memaksanya berlalu tanpa banyak kata.
Pertemuan ketiga mereka diwarnai dengan kondisi Saga yang tidak mengizinkan ia banyak bicara. Astaga... Saga kepingin mengumpat rasanya. Kenapa seolah-olah ia terlalu banyak diberi cobaan saat kepingin mengenal gadis ini lebih dekat.
Dan sekarang... ia yakin, ia takkan pernah mau melepaskannya.
"Ehm!"
Dehaman itu membuat jemari dalam genggaman Saga menyentak. Dua-duanya terkejut, tapi tetap saling menatap. Saga mendapati dokter yang merawatnya mengangkat alis penuh dengan kecurigaan, yang dibalas Saga dengan kerutan alis dengan sama naiknya.
"Alivia," dendang Saga, ia tersenyum.
"Alief saja," koreksi gadis di depannya.
Saga menggeleng cepat. "No, Livia lebih cocok."
Gadis itu menggeleng seraya mengeja namanya, dan lagi-lagi mendapat interupsi dari seorang lelaki berseragam dokter yang sepertinya terlalu dekat jaraknya. Hal itu luar biasa mengganggu Saga .
"Fiya, kalau begitu," putusnya.
"Enak bener ganti-ganti panggilan nama orang." Aldebaran akhirnya bersuara, "Dah macem temen main aja."
"Memang, sebentar lagi jadi teman main," jawab Saga optimis. "Berikutnya... bisa dipertimbangkan lebih lanjut." Lelaki di samping Aliefiya terdengar tersedak.
"Gue nggak pernah ketemu orang yang kelewatan pede dan straight to point, Lief," gumam Al pada Aliefiya.
"Persis kayak lo, minus pecicilannya tapi," balas adiknya.
Bagi Aliefiya, bukan perkara baru bertemu dan berbincang dengan lelaki. Apalagi dunia kerjanya banyak bersentuhan dengan makhluk berjenis kelamin seperti itu. Namun, ada sesuatu yang membuatnya 'bertahan' dari sekadar mengangguk sopan menjadi bertukar sapa dan bahkan menawarkan bantuan. Alief ingat, ia akan menuju kampus siang itu dan ketinggalan permen isapnya. Ia meminta supirnya singgah di sebuah minimarket dan menemukan lelaki itu dengan gestur gelisah memandangi hujan sambil sesekali melirik pergelangan tangan. Kadang... pandangannya jauh ke depan, melirik ke seberang jalan. Alief meyakinkan tebakannya saat menemukan amplop cokelat yang menyembul dari ransel, bertuliskan lambang yang ia kenal bertuliskan Arven Tanudiredja & Partners. Om Arven adalah salah satu sahabat ayah Alief. Dan begitulah... ia meminta supirnya mengantarkan pemuda itu terlebih dahulu, meski harus memutar lumayan jauh setelahnya dan ia kena damprat dosen kuliahnya akibat terlambat masuk kelas.
Fiuh!
Dan rasanya... hari ini sudah sepuluh tahun berlalu. Tentu saja penampilan lelaki di depannya agar berbeda. Yang jelas, badannya lebih berisi dan tegap. Poin plusnya, good looking. Oh, ayolah... itu poin pertama yang bisa Alief lihat, tapi bukan sekadar itu... bagi Alief, lelaki di depannya ini memiliki deskripsi yang jarang dimiliki oleh banyak orang. Yah... lelaki di depannya ini adalah tipe 'berkelas'. Meski kemejanya sempat berantakan akibat pingsan, toh pada kenyataannya... Alief tidak bisa memungkiri bahwa this man already got her whole attention.
"Jadi, boleh saya meminta kontak?" Saga mengulurkan ponselnya. Dan Alief hanya memasang senyum simpul misterius. "Atau, harus beberapa kali pertemuan lagi agar saya bisa mendapatkannya?"
Kali ini Alief nyaris tertawa, namun sebisa mungkin ia tahan. Ia belum pernah menemukan lelaki yang segamblang ini saat berbicara dengannya. "Saya pilih opsi kedua," ujarnya.
Di luar perkiraan Alief, Saga malah tersenyum lebar. Dan itu membuatnya berkali-kali lebih menarik sekaligus... mengusik sesuatu dalam diri Alief.
"Oke," jawab Saga.
Alief mengerutkan kening. "Kenapa?" tanya. "Kenapa Anda kelihatan senang, padahal tidak mendapatkan kontak saya?" tanyanya tak bisa menahan penasaran.
Kali ini Saga memiringkan kepala dan tersenyum simpul. "Oh, itu artinya... saya punya kesempatan untuk bertemu Anda beberapa kali, baru kemudian bisa mendapatkan kontak pribadi. Lalu, kenapa saya harus keberatan?"
"Astaga... baik, sepertinya observasi sudah selesai. Anda bisa pulang." Al memutus pembicaraan dan melangkah maju, agak sedikit menyembunyikan Aliefiya dari pandangan Saga.
"Hm...," Saga berdeham. "Siapa?" tantangnya. "Is he your boyfriend?"
Al menggeram. "Yes, absolutely! I am her man, officially."
Saga mendesah sesaat dan matanya bersirobok dengan name tag yang tersemat di dada Al. dr. Aldebaran Bachtiar, Sp. BTKV.
'Bachtiar juga,' batinnya. Lalu Saga tersenyum lebar, "Ini menarik," pungkasnya.
Dan Aliefiya harus menghadapi Al yang menyeretnya ke mobil setelahnya.
[amplitudo]
"Lo mau tinggal di tempat gue dulu aja, Ga?" Tawaran itu sudah ke sekian kalinya mengumandang dan lelaki yang kali ini harus mengalah duduk manis diapit dua perempuan hanya bisa menggeleng. Dari tadi, Saga sengaja memejam karena kepalanya masih cukup pusing dan perutnya masih bergolak riang. Tapi... alasan sebenarnya adalah, Saga belum mau ditanya-tanya soal gadis di IGD rumah sakit tadi.
"Nggak, gue nggak mau dicincang King, gue masih sayang sama gaji dan bonus gue," jawab Saga cepat sambil menoyor perempuan mungil yang dari tadi nyerocos mempermasalahkan kesehatan Saga. "Gue nggak papa, cuma capek. Istirahat bentar juga baikan."
"Tapi kamu tadi sampai pingsan gitu, Ga, aku pikir itu bukan sekadar capek, lho. Mungkin ada baiknya tinggal sama salah satu dari kita dulu, biar makannya terurus. Ya kan? Atau mau di tempatku, nanti aku minta izin sama Ical, dia pasti nggak keberatan." Kali ini sahabat Saga yang bernama Lanti ikut sumbang saran.
"Ya kali, Lan, Ical bakal lebih ngamuk keleus ketimbang King. Ical kan gitu-gitu masih suka gimanaaa gitu sama Saga. Laki lo kan protektifnya maha. Maha benar Ical dengan segala tindakannya. Pret! Langsung darah tinggi si Ical denger lo mau bawa Saga tinggal di rumah. Lo mau Ical ronda depan kamar Saga dua puluh empat jam?"
Lanti menggeleng cepat. "Kan ngomongnya nggak cuma Saga, kan sama Kak Anya dan Dion juga, Kem," ujar Lanti menyebutkan nama kakak perempuan Saga dan ponakannya.
"Udah... udah, di tempat gue aja. Danu malah mau ke Surabaya tuh nanti malam. Danu pasti ngerti kok, apalagi kalau ada Kak Anya dan Dion," ganti Mona bersuara. "Pas banget kan, kalau ada Saga di rumah, nanti subuh Senin lo bisa bantuin gue jemputin Danu ke bandara dan gue bisa tidur nyenyak. Soalnya malam Senin itu gue kudu begadang, ada rencana audit yang harus gue periksa soalnya."
Gadis bernama Kemi refleks menggeplak Mona. "Yang ada mah elo manfaatin dia kali, Mon. Orang sakit juga, lo sempat-sempatnya bikin rencana manfaatin dia. Istigfar, Mon," cela Kemi. "Jangan mau, Ga! Tempat gue aja. Atau Lanti noh, lo bisa makan enak. Di tempat Mona apaan... yang ada jadi supir lo!"
"Haaah... udah, gue mau pulang ke rumah, oke! Lagian susah mau bawa Kak Anya ke mana-mana, oke?" Setelah menjawab, Saga lagi-lagi memejamkan matanya.
"Tapi istirahat beneran? Nggak boleh buka laptop!" titah Mona.
"Iya, ya, Ga, istirahat, ya!"
Saga mengangkat bahu, dan ia menuai pelototan dari ketiga sahabatnya. "Iya... iya, gue bakal tidur, istirahat."
"Gue bakal kirim Markonah ke tempat lo deh, ngurusin keperluan Kak Anya dan Dion biar lo bisa istirahat," putus Kemi akhirnya. Markonah adalah salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Kemi. Dan Saga tak sanggup menolak saat Kemi mengancamnya lewat tatapan.
"Sekalian kirim bahan makanan, gue nggak tahu kulkas isinya ada apaan aja," oceh Saga sekalian.
"Aye aye, Captain!" jawab Kemi. "Eh, Ga, by the way, cewek yang tadi siapa, sih? Belum pernah gue ngelihat lo sengotot tadi?" Akhirnya... pertanyaan itu keluar juga. Dan baik Mona maupun Lanti hening seketika menunggu jawaban Saga.
"Ah...," desahnya. "Aliefiya Restu Bachtiar."
"Itu kita juga dengar kali, Ga," sergah Mona. "Maksud gue, dia siapa? Random person that you have met in airplane apa gimana?"
Saga masih tersenyum sambil memejamkan mata. Ia menolak menjawab. Ia masih ingin menyimpan untuk dirinya sendiri.
"Fiya... Fiya, Aliefiya," dendangnya pelan.
"Fix, temen kita udah gila," simpul Kemi kesal.
"Atau... bisa jadi dia sedang jatuh cinta, Kem," ucap Lanti menganalisis.
Yang ketiga sahabatnya tak pernah tahu... Saga sudah dan sedang jatuh cinta sejak sepuluh tahun yang lalu.
Note:
[I am her man, officially] Mbahmu, Al.
Saga itu anak kesayangan Mamah Nu dan segenap cewek-cewek di semesta ini, Al.
Kalau kamu? Kamu adalah pacar Mamah Nu dari dulu dan nggak akan berubah meski akhirnya kawin sama Kalila yang sebenarnya Mamah kurang rela dan ingin memilikimu sendiri, tapi apa daya kamu lebih memilih Kalila, Mamah bisa apa Al? Tetap aja kamu nomer satu, Al. Love u, Aldebaran Bachtiar. *emot muka merah malu-malu
Selamat weekend teman-teman... dan jaga kesehatan, ya :)
Semoga cepat bertemu lagi di part berikutnya. Enjoy!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro