Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[in your pocket]

"Tidak ada yang sempurna. Akan selalu ada perjuangan. Kamu hanya perlu memilih dengan siapa kamu ingin berjuang."


Saga masih tercenung di depan laptopnya saat pintu kamar rumah sakit terbuka.

Kemilau Hetami muncul dari pintu dan dengan segera menunjukkan paper bag cukup besar di depannya. Kepalanya memiring sesaat kemudian maju dan menyentuh pelan bahu Saga. "Lo ngapain emang, Ga? Benerin kran air rumah sakit?" serunya.

Rilanti Nansarunai dan Monarza Arkananta yang muncul setelahnya ikut membelalak. "Ga? Lo kenapa?" tanya Mona bersamaan dengan Lanti yang segera menyuruh Saga untuk mandi dan berganti pakaian.

"Kak Anya?" lirih Lanti. "Cepat ganti, nanti masuk angin."

Sebelum hari ini, Saga memang pernah menemukan kakaknya—Anyelir Paramitha Sagala—duduk di bawah shower yang mengalir deras sambil menangis terisak. Kejadian itu sudah tujuh tahun berlalu, saat kakaknya baru saja melahirkan Dion. Yang Saga lakukan kemudian hanyalah bisa meraup tubuh kakaknya yang basah kuyup dan menggantikan pakaian sebisanya. Ia baru menyadari bahwa tubuh kakaknya demam tinggi dan itulah awal petaka yang jelas tak berkesudahan. Bahkan Saga berteriak teredam bantal, seperti masalahnya tidak cukup pelik saja saat itu.

Beruntung setelahnya karir Saga mulai stabil dan ia mendapat sokongan dari orang-orang terdekat yang bukan hanya berlaku sebagai rekan kerja. Bagi Saga, kedekatan mereka melebihi apa pun yang orang lain agung-agungkan sebagai ikatan darah. Persetan dengan ikatan darah! Bagi Saga, satu-satunya darah yang terhubung dengannya hanyalah Anyelir Paramitha Sagala dan Dion Atmadeva Sagala.

Saga melangkah ke kamar mandi tanpa menjawab ucapan Lanti. Rasanya cukup letih sejak peristiwa tadi sore saat Aliefiya meninggalkannya begitu saja di bawah hujan. Saga merasa cukup buruk karena ditinggalkan, namun hatinya jauh lebih sakit membayangkan apa yang dipikirkan oleh gadis itu sekarang. Ia hanya bisa menebak, ini ada kaitannya dengan sepasang suami istri yang mereka temui. Atau pun, kejadian itu membuka kotak memori masa lalu kelam yang ingin gadis itu lupakan. Saga tak tahu yang mana, tapi sekali lagi... saat netra bening itu mengabut dipenuhi air mata, sekali lagi pula nyeri melanda dadanya. Nyaris seperti setiap kali ia menemukan Anya merintih di bawah shower demi menghalau panas tubuhnya.

Saga keluar dengan pakaian yang cukup pantas. Ia yakin, Lanti yang memilihkan pakaian ternyaman di lemarinya dan kondisinya sudah lumayan. Meski lelah yang mendera tak dapat dipungkiri, ia berusaha tersenyum.

"Apa kabar kantor?" Saga lebih seperti bergumam.

"Datang ke sini ditanyain soal kantor," gerutu Kemi. " Lo tuh yang gimana?"

"Udah makan?" desak Lanti. Gadis perhatian itu segera menjejerkan lauk pauk di meja saji. "Makan dulu ya, Ga. Baru cerita."

Saga menyendok makanan dalam diam dan ketiga gadis itu cukup tahu diri untuk tidak berkomentar banyak. Meski Mona yang saat ini langsung mengambil alih laptop Saga sesekali bergumam. "Gue tandain yang perlu lo kroscek ulang, Ga. Jadi pas lo nanti survey lo langsung ke hal-hal yang ini. Oke?"

"Nanti gue ngomong sama King, minta beberapa proyek dialihin ke yang lain ya, Ga, untuk sementara," ucap Kemi pelan. "Gue nggak bermaksud gimana-gimana, tapi sepertinya konsentrasi lo lagi kebagi banget," tambahnya.

"Thanks, Mon, Lan, Kem. Meski kayaknya kalian udah bosan denger gue bilang. Tapi gue bener-bener berterima kasih banget."

"Lo tahu, lo selalu punya kita kan, Ga?" ujar Kemi langsung merangkul Saga dari belakang dan mengacak rambut pemuda itu. "Jadi, mau cerita?"

Saga berbalik menghadap sahabat-sahabatnya. Dahinya berkerut sebentar dan kemudian ia berucap, "Gue juga nggak tahu musti cerita apa. Tapi, tadi siang gue ketemu dia."

"Alifa?"

"Aliefiya, Kemi," tukas Lanti.

"Yah... okelah apa pun itu. Terus?"

"Dia datang sama kakak iparnya, dan dia main harpa kecil gitu di bangsal kanker anak. Tahu kan, yang satu belokan dari sini?" Ketiganya mengangguk. "Sumpah, dia cantik banget, woy!" Mona memutar bola mata. "Dan gue, makan siang bareng sama dia. Yah... meski gue belum bicara banyak sih. Dia juga kayaknya belum terlalu nyaman ngabisin waktu lama sama gue."

"Itu udah kemajuan, Ga."

Saga mengangkat bahu. "Ceritanya belum kelar, Lan. Terus, ya, pas gue temenin ke parkiran bawah, kami ketemu ibu-ibu yang anaknya nangis dan gue inisiatif buat bantuin gantiin diapers anaknya kan. Abis itu....." Saga menerawang. "Tiba-tiba dia lari gitu aja dan pas gue berhasil susulin, dia nangis."

"Hah?"

"Bentar-bentar. Kok gue nggak konek, ya," ucap Kemi. "Ceritain lagi!"

"Ya, gue nggak ngerasa gimana-gimana pas gantiin diapers itu kan. Udah biasa juga sama Dion, terus Freya dan Wira kan. Terus suaminya datang dan tiba-tiba Aliefiya kayak membeku."

"Slow...slowly," ujar Kemi dengan gestur sok berpikir. "Dia nggak suka apa terharu karena lo pintar gantiin diapers?"

Kepala Kemi digeplak Mona. "Kalau terharu, bukannya lari kabur kali. Jangan-jangan, cewek lo kenal sama pasutri itu?" tanya Mona.

Detik itu, baru Saga ingat bahwa sebelum Aliefiya lari, gadis itu sempat bersitatap dengan lelaki yang menyebut dirinya Papah.

[amplitudo]

Kenapa dunia nggak adil?

Kenapa cuma aku yang sakit?

Kenapa dia bahagia?

Kenapa?

Kenapa?

Kenapa nggak adil banget?

Kenapa dia yang jahat, dia yang bahagia, Tuhan?

Entah sudah gelas keberapa Cosmopolitan Vodka yang Aliefiya tenggak. Gadis itu juga sudah tak peduli lagi. Penampilannya juga nyaris tak bisa dikenali dan serasa salah tempat. Bagaimana tidak, ia masih mengenakan dress selutut sewarna minuman yang kini ia pegang dan dibungkus dengan jas kebesaran berwarna biru gelap. Diacuhkannya musik keras yang hingar bingar menghentak gendang telinga. Ia tak peduli. Yang ia inginkan hanya mengenyahkan rasa sakit di dadanya. Dan cara tercepat yang bisa ia pikirkan adalah kehilangan kewarasan dan memunculkan kenekatan. Setelah ini, Alief bertekad akan mengemudi ke mana pun ia bisa menemukan Ian dan memuntahkan seluruh isi kepalanya. Kenapa bisa Ian mencicipi bahagia, sementara hanya ia yang terpuruk kesakitan.

Ini benar-benar tidak adil.

Alief sekali lagi meminta bartender mengisi gelas. Sejak rasa Moscow Mule yang menyegarkan dan mampu membuatnya sedikit bernapas, Alief terus meningkatkan level konsentrasi minumannya. Kini, ia menyesap Bloody Mary.

"Lihat aja! Setelah ini aku akan meneriakkan segalanya padamu, Ian brengsek!" Teriakannya teredam oleh musik dan rasanya hanya ia sendiri yang mampu mendengarnya.

Aliefiya lelah, rasanya menusuk hingga ke ulu hatinya. Direbahkannya kepala sejenak di meja bar, ditariknya jas yang melingkupi tubuhnya lebih erat lagi. Saat itulah, tangannya merasakan sesuatu di dalam saku. Dikeluarkannya dengan kepala yang sudah nyaris berputar.

Kartu nama.

Oh, kartu nama pemilik jas ini rupanya, batinnya.

Dibacanya sekilas, tertulis: Adipati P. Sagala. Partner.

Sisanya tak lagi bisa ia baca, karena matanya terlalu berat untuk dibuka. Dicengkeramnya kartu nama itu dan hal yang terakhir yang ia ingat adalah dentuman musik di sekitarnya mulai mereda.

[amplitudo]

Saga masih mengerjapkan mata dengan nyalang. Pukul satu dini hari dan ia masih belum bisa memejamkan mata. Satu setengah jam yang lalu, kakaknya menunjukkan tanda-tanda tak biasa dan itu membuat Saga menekan bel perawat dengan degup jantung menggila. Perawat berdatangan dan salah satunya naik ke atas bed perawatan dan menekan berkali-kali dada kurus kering kakaknya.

Saga nyaris meluruh, saat ketiga sahabatnya menghambur kembali merangkul Saga dan menyeretnya ke kursi di depan ruang yang bertuliskan intensive care unit.

Sisanya, yang Saga coba pahami, Anya dipindahkan ke ruangan yang lebih kompleks dan pengawasan ketat. Berbagai selang melintang di tubuh kakaknya. Sebagian informasi yang ia dengar dan hanya separuh yang bisa ia cerna dengan baik, kakaknya baru saja mengalami serangan jantung.

Jantung Anya sempat berhenti.

Kakaknya kritis.

Dan itu sama saja dengan jantung Saga yang juga akan berhenti saat jantung Anya berhenti.

"Ga, its okay...its okay.... Kak Anya pasti bisa melewati ini, ya." Lanti meremas jemari Saga. "Kamu istirahat dulu ya, Ga. Kak Anya aman dijagain."

Belum usai ketegangan yang melingkupinya sejak dua jam yang lalu, ponselnya kini bergetar di saku. Saga tidak mengenali siapa yang menghubunginya, namun jantungnya berdetak keras ketakutan karena merasa hanya perawat lah yang akan menghubunginya pada jam segini.

"Ya?" Suara Saga serak.

"Bapak Adipati Sagala?" Suara laki-laki di seberang terdengar tidak yakin.

"Ya? Kakak saya kenapa?" berondongnya langsung.

"Kakak Anda mabuk berat, Pak. Nyaris tidak bisa bangun lagi. Bapak bisa jemput?"

"Hah?" Saga terkejut setengah mati dan mencoba mengumpulkan nyawanya.

"Gadis bergaun selutut dan jas biru gelap ini kakak Anda?" Suara di ujung sana berganti kebingungan. "Sebentar saya kirim fotonya."

Meski remang-remang, Saga langsung tahu siapa gadis yang menelungkup di meja. Ia menekan balik nomor yang menghubunginya. "Kirimkan alamatnya sekarang."


Note:

Selamat malam minggu. Saya berdoa semoga bisa menyelesaikan cerita anak kesayangan ini secepatnya...Thanks readers...karena masih ada yang menunggu. Hehehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro