Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[hands all over]

Andai terlambat satu detik saja, Saga jelas tak tahu seperti apa bentuk rahangnya.

Menggantung di udara, tangan Al yang terkepal kuat berhasil ditahan dengan sempurna oleh satu tangan lain. Lelaki kedua yang belum pernah dilihat Saga menggeleng tipis. "Jangan ngelakuin sesuatu yang bakal lo sesali," ucapnya pelan.

Di hadapannya, Aldebaran masih tersengal dan menggeram dengan tangan terkepal. Tapi, Agil Raikan Bachtiar juga tak kalah kuatnya untuk menghadang.

"Aliefiya." Nadanya rendah, tak terdengar meninggi apalagi membentak. Saga langsung merasakan aura berbeda dari lelaki yang barusan bicara. Susah dijelaskan, tapi mampu membuat Saga kesusahan menelan ludah. Seperti diintimidasi terang-terangan dan baru kali ini ia merasa tak memiliki energi untuk melawan. "Pakai bathrobe-nya," lanjutnya seraya melemparkan jubah mandi yang tergeletak di lantai ke arah Aliefiya yang terlindung selimut. "Kami tunggu di ruang tamu," tambahnya sambil menyeret Aldebaran yang masih mendengus penuh amarah.

"I-iya, A'Agil," cicit Aliefiya.

"Sebentar," larang Saga saat Aliefiya ingin menyibak selimutnya. "Aku ke kamar mandi sebentar baru kamu pakai bathrobe-nya, lalu kamu bisa ke kamar mandi dan berpakaian layak."

Di detik itu, Aliefiya baru menyadari kondisinya. Matanya melebar saat mengetahui bahwa ia tak mengenakan sehelas benang pun. Lalu matanya memejam, "Astaga, gila. Mati aku!"

Saga melangkah ke kamar mandi, membasuh muka dan menyikat giginya. Kemudian menghela napas. Setelah memperhitungkan beberapa saat, ia membuka pintu kamar mandi dan menemukan Aliefiya berdiri mematung. "Maaf, belum sempat nyariin kamu baju. Nggak papa, ya, pakai yang tadi malam dulu. Tadi malam bagian yang kena muntahan sudah kubersihkan dan kukeringkan."

Gadis itu hanya mengangguk. Kemudian melangkah masuk.

Saga membenahi bajunya yang juga berserakan di lantai. Mengenakan dengan otomatis tanpa berpikir. Di benaknya menari-menari banyak hal lain yang entah kenapa seperti dipaksa dijejalkan di kepalanya. Mulai dari bagaimana ia jatuh tertidur tanpa tahu apa-apa lagi hingga bagaimana kakak Aliefiya bisa masuk ke kamar mereka. Sisi kepalanya berdenyut. Dan ia benar-benar tidak memiliki asupan parasetamol atau kafein untuk meredakannya.

Aliefiya keluar dari kamar mandi mengenakan dress semalam yang meskipun lecek sedikit, tapi tetap tidak bisa meredupkan pesona dirinya di mata Saga. "Hmm... apa pun yang terjadi, kupikir ini tetap sepadan," dendang Saga.

"Apanya?" tanya Aliefiya sambil mengambil scrunchie yang tadi malam diberikan Saga dan mengikat rambutnya ke atas dengan asal-asalan.

"Nggak papa," jawab Saga. "Ehm... kalau boleh tahu, yang tadi, satunya, maksudku... lelaki satunya....?"

"Agil. Kakak sepupuku," jawab Aliefiya. "Sekaligus pemilik hotel ini," tambahnya dengan nada seperti menginformasikan kondisi cuaca.

"Oh, pantas," sahut Saga. "Yuk," ajaknya.

Kedua lelaki yang mereka temui memandang tajam. Aldebaran, duduk di sofa tunggal, sementara Agil duduk di kursi tiga seater dan Aliefiya mengambil posisi di sebelah Agil. Saga, mau tak mau duduk berhadapan dengan seorang kakak yang sedang mati-matian menahan amarah.

"Saya nggak pernah minta Anda di sini," desis Al, kentara nada pengusiran di dalam suaranya.

"Saya di sini atas kehendak saya," balas Saga, mencoba menahan nada suaranya.

"Anda siapa?" gerutu Al lagi. "Tinggalkan kami!" titahnya.

"Saya siap ditanya atau menjelaskan apa pun kepada siapa pun. Tapi menodong penjelasan sepihak dari Fiya atas sesuatu yang tidak dia lakukan, saya nggak akan membiarkan."

Gigi Al gemerutuk menahan marah. "Anda jangan kurang ajar—"

"Al!" tegur Agil.

"Lo lihat, Gil, lihat adik lo! Gue sampai nggak sanggup ngelihat leher dia, Gil," sergah Al. Lalu melemparkan kain penghias sofa ke arah Aliefiya yang langsung mengerti dan menutupi lehernya. "Dia...," tunjuknya ke Saga, "bilang sesuatu yang tidak mereka lakukan? Lalu ap aitu namanya?!"

"Tadi malam, Fiya mabuk. Dan kami agak lepas kendali," ucap Saga masih menahan nadanya sedatar mungkin. "Tapi...," suaranya menggantung, "...kami berhenti. Dan sisanya kami tidur. Hanya tidur."

Al membuang napas. "Aliefiya...," ucap Al dengan nada nyaris tercekik.

"Dia benar, A' Al," ucap Aliefiya untuk pertama kali. "Dan sudah cukup rasanya A' Al menginterogasi atas kehidupan pribadi Alief. Cukup!"

"Aliefiya!"

"A' Al juga lebih parah dulunya," sela Alief. "Hanya karena A' Al ngerasa sekarang A' Al nggak gitu lagi terus A' Al merasa berhak buat marah-marahin Alief? Bertingkah seperti kakak yang baik, yang nggak pernah bikin salah dan dosa?" tukasnya tajam. "Alief udah dewasa, A' Al, dan ini hidup Alief. Apa pun yang Alief lakuin, itu udah tanggung jawab Alief. Dan stop nanya-nanya dia. Dia nggak salah apa-apa! Alief yang menyerangnya dan memancingnya melakukan apa pun yang terjadi kepada Alief tadi malam. Dan Alief tidak menyesalinya!!!"

Aldebaran membuka mulutnya namun terhenti karena Agil mengacungkan tangan.

"Udah," sahut Agil. "Cukup, Al. Berdebat nggak akan bikin masalah ini selesai. Dan Alief, hormati kakakmu yang nyaris gila nyari-nyari kamu.

"A' Al kan juga pernah muda!" bisik Alief.

"Tapi, kamu baru kenal Alief."

"Iya, A'Al cuma tidur dengan orang yang nggak dikenal, terus dilupakan kemudian. A'Al nggak perlu kenal lebih lanjut untuk kemudian dibuang. Apa bedanya sama kami sekarang?"

Telinga Saga langsung berdengung nyaring. Rasanya ada yang menonjok ulu hatinya langsung. Nyeri yang merayapi sampai nyaris membuatnya susah bernapas.

"Ugh, sorry," selanya. "Saya benar-benar mohon maaf atas segala yang terjadi tadi malam. Saya akui, saya lepas kendali. Saya yang dalam keadaan sadar seharusnya tidak membiarkan ini terjadi. Jangan salahkan Fiya atas apa pun, segalanya salah saya dan saya siap untuk bertanggung jawab dalam bentuk apa pun. Saya siap menghadapi seluruh tuntutan dalam bentuk apa pun," ucapnya lelah seraya menyodorkan kartu nama. "Tapi, menekan Fiya atas segala hal yang dilakukannya tanpa sadar, saya nggak bisa ngebiarin."

"Memangnya Anda siap kalau kami mengajukan tuntutan hukum?"

"A'Al!" jerit Aliefiya.

Saga menghela napas lelah. Ia mengangguk. "Apa pun."

"Gil, hubungi pengacara," perintah Al.

Saga bergeming.

Kemudian ditatapnya Aliefiya, untuk pertama kali mereka berdua bersitatap dalam diam. Mulut Aliefiya membuka dan menutup beberapa kali, tak tahu harus bicara apa.

"Dan Fiya, ingat ini," lirihnya. "Aku mengenal kamu, sejak dulu, sejak lama. Dan nggak pernah sedikit pun sejak tadi malam hingga kapan pun, aku berpikir untuk tidur sama kamu kemudian ngelupain atau ngebuang kamu. Terserah dari pikiranmu seperti apa, tapi aku bukan laki-laki seperti itu."

Al tersentak. Dengan dua langkah panjang ia menghampiri dan menarik kerah Saga. "Maksudmu apa, menyindir saya?"

Aliefiya menjerit dan Agil menghela napas, "Al!"

Dengan perlahan dilepaskannya cengkeraman Al pada kerah kemejanya, "Saya nggak ada urusan menyindir masa lalu Anda. Saya cuma menegaskan bahwa saya, tanpa kejadian tadi malam pun, nggak sedikit pun berniat meninggalkan dia. Dalam kondisi apa pun."

Keduanya beradu mata, Al tersengal sementara Saga menahan napas tanpa berkedip.

Suara ponsel yang mengalun dari saku celana Al membuat keduanya memutus kontak.

Al meraih ponsel dan dahinya mengernyit. Sebaris nomor yang tak ia kenal terlihat di layarnya.

"Ya?"

"Dokter Al?" Suara perempuan, terdengar agak panik di Seberang sana.

"Ya?"

"Saya Kemi, adiknya Dokter Rania," suara itu menggantung, "Uhm.. ehm.. boleh nggak saya minta nomor adik Dokter Al. Saya sedang kesulitan menghubungi temen saya, nomornya nggak aktif. Dan terakhir, katanya dia menjemput adik Dokter Al. Uhm.. kalau berkenan, boleh saya—"

"Ngomong aja, orangnya ada di sini," ucap Al ogah-ogahan, lalu mengaktifkan pelantang suara.

"Sagala, elo di mana?"

"Kemi?! Ada apa? Kenapa? Hape gue mati, abis batre. Nggak sempat nge-charge."

Kemudian hening.

Mereka berempat menatap layar ponsel yang ternyata masih aktif.

"Kem?" panggil Saga.

"Ga, jangan panik, ya," ucap Kemi tersengal. "Kak Anya... kritis...."

Saga tersentak.

Berlari ke kamar sambil meraih ponselnya yang dalam keadaan mati dan merenggut kunci mobilnya. Ia terengah dan berkata terbata, "Ada urusan yang lebih urgent sekarang, saya harus ke rumah sakit," ungkapnya. "Apa pun kelanjutan dari pembicaraan hari ini, saya pastikan saya akan bertanggung jawab," lirihnya. Kemudian dengan cepat ia menghampiri Aliefiya, dielusnya pipi gadis itu dan berkata, "Aku balik dulu. Aku pergi bentar, ya. Aku bakal ngelindungin kamu apa pun yang terjadi. Jangan takut."

Sosok Saga menghambur keluar tanpa berbalik, menyisakan Aliefiya yang mematung dan terkejut akan rasa hampa yang tiba-tiba mengisi relung hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro