Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[beautiful goodbye]

-Ada masa saat seseorang yang memperjuangkanmu, pergi meninggalkanmu karena merasa semua usahanya tidak lagi dihargai.-

Aliefiya mengerjap untuk memastikan pandangannya.

Benar, pemuda di depannya memang benar-benar Saga yang baru ditemuinya kemarin sore. Dan salahnya, dalam sekali pandang, Aliefiya tahu ada yang salah dengan pemuda di hadapannya. Saga masih mengenakan baju kemarin, kemeja slimfit yang ia kenakan saat menghadiri pesta ulang tahun keponakan Alief. Dan fakta bahwa mereka bertemu di rumah sakit merupakan satu hal yang membuatnya cukup mengerutkan dahi.

"Lho, kok?" ungkap Alief.

Saga hanya tersenyum. Meski samar, ada kantung mata menghitam di bawah mata pemuda itu. Tanda-tanda kelelahan dan kurang tidur benar-benar bisa diindera Alief.

"Mungkin semesta memang lagi baik sama saya. Kita dipertemukan di tempat dan waktu yang nggak kita duga. Iya kan?" Alief mengangguk. "Tapi, lain kali saya lebih kepingin penampilan yang lebih proper deh depan kamu," lanjut Saga.

"Eh, hai? Yang kemarin bukan sih?" Satu suara memecah keheningan mereka. Kalila mendekati dan Saga dengan santun menyorongkan tangan untuk bersalaman.

"Saga. Mohon maaf kemarin belum sempat memperkenalkan diri. Iya, yang kemarin ikut ke pesta anak-anak."

"Kaaan... tadi mikirnya aku salah lihat, ternyata benar. Oke, Saga, ya? Aku Kalila, kakak iparnya Livie. Salam kenal." Saga menjawab dengan anggukan. "Eh, Saga, Livie bisa lho diajak makan siang. Gih... sana biar enak ngobrolnya."

"E-eeh," ucap Alief terkejut seiring dengan dorongan halus dari kakak iparnya.

"Ke kantin sana, kan kamu dari pagi nggak sarapan. Makan siang duluan gih, mumpung ada temannya. Iya kan, Ga? Saga juga nggak keberatan kan nemenin Livie makan?"

Baru kali rasanya Saga ditodong namun terasa menyenangkan. "Your wish as my command, my lady," jawabnya pada Kalila. "Yuk."

Mereka berjalan bersisian menuju kafetaria rumah sakit. Satu fakta lagi yang Alief sadari. Saga seolah tahu persis letak tempat-tempat di rumah sakit dan jalur tercepat menuju kantin. Bahkan Alief sendiri pun tidak sefamiliar ini. Padahal rumah sakit ini milik ayahnya. Dulu, Alief memang sering diajak dan main di rumah sakit, namun semenjak ia lebih tertarik pada dunia musik, ia jarang berkunjung. Lagi pula, rumah sakit ini sudah mengalami beberapa kali renovasi.

"Kamu mau makan apa? Di sini yang enak justru nasi gorengnya, lho. Kamu nggak anti karbohidrat kan siang-siang gini? Atau mau kayak cewek-cewek biasanya?"

"Cewek-cewek biasanya tu yang kayak apa?" tanya Alief menahan tawa, sambil mendengarkan gumaman Saga menyebutkan menu satu persatu.

"Yaaa... biasanya cewek-cewek suka ngirit makannya. Makan salad atau buah gitu, deh."

"Berarti mungkin yang ada di depan kamu ini bukan cewek yang biasanya."

"Ups? And then?

"Boleh deh nasi goreng, lemon tea. Saya juga nggak menolak sepiring steak."

Mata Saga membesar. Ia sangat bersyukur karena gadis di depannya tidak termasuk golongan irit makan. Saga segera memesan dengan cepat dan mengambil nomor antrean kemudian menuju meja yang kosong. Syukurnya, jam makan siang belum berlangsung sehingga kafetaria belum terlalu penuh.

Sambil menunggu pesanan datang, Saga mengambil ponselnya dan berkata, "Boleh saya ngecek hape dulu? Takutnya ada yang penting."

Untuk pertama kalinya Alief baru mengetahui bahwa ada orang yang meminta izin saat mau menggunakan ponsel di depannya. Ia cukup tersentuh dengan gestur Saga yang luar biasa ini. Alief mengangguk cepat dan ia sendiri menyibukkan diri dengan memandangi sekitar kafetaria.

Saga membuka grup obrolan, dan menemukan chat dari sahabatnya.

Kemilau Hetami: Ga, gimana Kak Anya? Gue nungguin Mona sama Lanti pulang kerja, ya, nanti ke sana. Mau dibawain apa?

Monarza Arkananta: Iya, Ga, sorry, ya, gue lagi peak. Kelar ini langsung meluncur deh.

Rilanti Nansarunai: Ga? Makan, ya, aku masakin, nanti sore kubawain ke RS. Gimana? Ada update kondisi Kak Anya. Jangan mikirin Dion, ya, Dion aman sama kami.

Adipati Sagala: Sejauh ini, Kak Anya stabil. Cuma kata dokter kudu dipantau terus. Gapapa, gue makan kok di sini. Nggak usah khawatir. Titip Dion, ya!

"Sorry, kelamaan ya, kudu balas pesan-pesan soalnya. Kalau nggak dibalas nanti rombongan itu bakal muncul tiba-tiba," ucap Saga sambil terkekeh.

"Nggak papa. Ehm... kalau boleh tau, kamu ngapain di rumah sakit? Bukan kebetulan kan, soalnya... kamu belum ganti baju. Berarti yang sakit ini orang dekat kamu, kan?"

"Kamu sadar, ya, ternyata," balas Saga sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sungguh, hal terakhir yang ia inginkan adalah tampil sedemikian siap di depan Aliefiya. Namun apa aday, mereka justru bertemu di rumah sakit. Dari segala tempat, Saga merutuk kenapa mereka harus bertemu di sini.

Pikiran Saga melayang. Jika gadis di depannya menyadari pakaiannya, bisa disimpulkan bahwa gadis ini memperhatikan atau paling tidak... ada sedikit memori dari diri Saga yang tersimpan di pikiran Aliefiya. Dan Saga tiba-tiba tersenyum simpul.

"Kok malah senyum-senyum, kenapa?" tanya Aliefiya. "Saya salah nanya, ya? Maaf banget, kalau nggak kepingin dijawab, nggak papa."

"Oh, nggak. Bukan gitu." Saga kelabakan. "Yang sakit kakak saya, kemarin sepulang dari pestanya si Kembar dapat telepon kalau kakak saya dilarikan ke rumah sakit. Jadinya belum sempat ganti baju, langsung ke sini. Syukur aja kemarin berangkat sama Kemi. Jadi, saya bisa titip Dion sama dia. Bau, ya? Tapi, saya mandi kok tadi pagi, meski nggak ganti baju," Saga terkekeh, "nanti sore, pas sahabat saya ke sini, saya baru bisa pulang ganti baju."

Alief menyendok pelan makanannya, dan benar saja Saga tidak bohong tentang selera. Nasi goreng di rumah sakit ini juara. Dan ia kembali memfokuskan pandangan pada pemuda di depannya. "Boleh saya tahu, sakit apa?" ungkapnya.

Tangan Saga tiba-tiba berhenti. Ia bergegas meneguk lemon tea di sisi kanannya. Ia menghela napas, menimbang-nimbang kembali apakah ia perlu menceritakan tentang kakaknya. Namun, omongan sahabat-sahabatnya waktu itu kembali terbayang di benaknya.

"Lo yakin, si Alifa-alifa entah siapa ini nikah? Atau minimal udah punya kekasih, Ga? Asal lo tahu aja sih, nggak mungkin biasanya kayak gitu nggak punya calon, minimal dijodohin. Lo tahu sendiri sirkel mereka."

Saga mengangkat bahu. "Namanya Aliefiya, Kem. Lo seenaknya ganti nama orang sembarangan," tudingnya. "Gue juga nggak tahu banyak sebenarnya, tapi—"

"Tapi, apa Ga?" tanya Lanti.

"Gue juga nggak yakin, sih. Tapi, sebelum di rumah sakit kemarin, gue udah pernah ketemu dia."

"Kok lo nggak cerita?" komentar Mona.

"Ya... gue juga bingung mau cerita apa. Yang jelas, gue ketemu dia waktu nonton di bioskop. Dan kalian tahu, baru kali itu gue ngelihat cewek nangis tersedu-sedu padahal adegannya lagi tonjok-tonjokkan."

"Dan lo nyimpulin bahwa dia bisa didekati hanya karena dia nangis pas adegan kelahi tabok-tabokan? Lo mikir dia lagi nangis karena nonton sendirian dan nggak punya gandengan? Lo mikir punya kesempatan. Cuma dari situ doang, Ga? Sumpah lo?" Mona merepet. "Ya Tuhan Saga, gue pikir lo udah basis data yang jelas gitu pas deketin si Alifa-alifa ini. Baru lo susun rencana buat ngedeket—"

"Mon! Please!" Ketiganya memotong dan memutar bola mata menanggapi ocehan Mona.

"Iya, tapi, coba lo pikir, Lanti. Ini udah abad ke berapa? Dan Saga mau deketin cewek yang nggak jelas statusnya apa. Cuma karena cewek itu nangis di bioskop pas harusnya dia bengong menikmati saking okenya adegan tabok-tabokan. Gue nggak lihat di mana logisnya gitu, Kem."

"Iya, sih," jawab Lanti. "Tapi, kalau memang si Aliefiya ini punya pacar, terus Saga nggak boleh deketin? Kan masih pacaran, siapa yang tahu jodohnya kan? Kita boleh aja kepingin berjodoh sama siapa, tapi ending-nya kan nggak tahu sama siapa."

"Nah, bener tuh, Lan," sela Saga. "Dia punya pacar atau nggak, gue bakal tetap maju, kok!"

"Yee... curhat, Lan?" ujar Kemi. "Bukan gitu, Lanti kami tersayang. Gue udah nanya sama Rania. Rania tuh temen baik sama kakaknya Alifa. Dan Rania bilang, Alifa-alifa ini dan keluarganya bukan orang sembarangan. Lo tahu Ga, rumah sakit tempat lo dibawa ke IGD kemarin itu milik keluarganya. Dan lo tahu kan kalau RS itu bukan cuma ada di kota ini? Belum lagi jaringan perhotelan The Raikan's yang tersebar di seantero Indonesia, bahkan di luar negeri. Bisa lo bayangin kan? Nggak semudah itu untuk masuk ke sirkel mereka. Orang-orang seperti itu jelas sudah punya kriteria untuk calon pendamping anaknya, Ga. Gue cuma mau realistis, bukannya ngejatuhin semangat lo."

"Aku pikir, Saga juga bukan orang sembarangan, Kem. Dia punya value. Dia punya kebaikan hati sendiri yang belum tentu orang lain punya. Nyari orang kaya, orang pinter, orang sukses sekarang mah banyak. Tapi, nyari orang baik? Dan Saga tuh memenuhi semua kriteria, udah pinter, sukses, mapan, terus kenapa dia nggak bisa deketin Aliefiya? Kalau Saga maunya sama Aliefiya, bukannya kita sebagai sahabat harus dukung? Aku nggak ngerti di mana nggak bolehnya. Iya, kan, Ga?"

"Yak, tul, Lan. Dari dulu, lo paling paham sama gue. Yes!"

Mona dan Kemi memutar bola mata sebagai jawaban. "Yaaa... bukan gitu. Emang kalau si Alifa ini ternyata udah punya calon, lo tetap bakal usaha, Ga?"

Saga mengangguk tanpa ragu.

"Kalau gagal?"

"Setidaknya gue udah mencoba."

"Kalau gitu, lo kudu punya rencana, Ga," jelas Mona, yang membuat Saga menghembuskan napas. Dia meniup poninya tanda lelah dengan rencana-rencana yang akan dijabarkan Mona. "Maksud gue, setidaknya dia kudu tahu kondisi keluarga lo," ungkap Mona pelan.

Saga terdiam.

Dan tepukan pelan Lanti di bahunya membuatnya sadar dari lamunan. "It's okay, nggak papa. Coba aja dulu, Ga, nanti bakal ketemu jalannya kok."

Saga tergeragap, saat ada lambaian tangan di depan mukanya.

"Eh? Eh?"

"Ngelamun?" tanya Aliefiya. "Ditanyain malah bengong."

Saga lagi-lagi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mikir dari tadi," ia terkekeh pelan. "Gini," nada suara Saga, "Kakak saya, namanya Anye, udah sering bolak-balik rumah sakit. Lupus," ucapnya pelan. Ia memutuskan untuk belum menceritakan persoalan pelik keluarganya. Setidaknya belum sekarang. Ia belum siap.

Dan Saga tak tahu, apakah ia bisa siap?

Karena saat netra mereka bertemu, tekad kukuhnya untuk terus berjuang mendapatkan Aliefiya tiba-tiba gentar. Ini tak semudah kata-kata yang ia ucapkan saat sahabat-sahabatnya bertanya. Ia menelan ludah, hatinya berkeriut nyeri. Ia mulai merasa tak pantas mendapatkan Aliefiya. Untuk pertama kalinya matanya panas dan saat Saga berbalik, setetes air mata lolos dari sudutnya.


Note:

Paling nggak, bisa menemani hari Senin yang muram ini.

Yang lagi sakit, cepat sehat. Yang sehat, tetap prokes, okay.

See u again...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro