XXVI ¤ Baby
Double update buat kalian semuaa 😆😍
🍁🍁🍁
"Daddy, Mommy. Ai kangen kalian," Humaira tersedu menatap kedua orang tuanya di depan mata kepalanya sendiri.
"Daddy sama Mommy juga kangen kamu, Aileen," ujar Daddy mengusap air mata yang mengalir di pipi sang anak.
"Anak Mommy cengeng banget sih. Padahal sudah punya anak," ujar Mommy nya.
"Anak ?" Tanya Humaira bingung.
"Bundaaa.." Seorang anak mungil dengan pakaian serba putih menghampiri dirinya dan kedua orang tuanya.
Anak kecil itu sangat mirip seseorang yang dia cintai. Suaminya. Laith.
Humaira kembali meneteskan air mata seraya menekuk lutut dan meregangkan tangan. Menerima pelukan hangat bocah kecil itu.
"Bunda jangan nangis. Nanti Ayah juga nangis. Bunda sama Ayah hidup bahagia, ya. Adek mau sama Grand Pa dan Grand Ma," ujar bocah mungil itu menghapus jejak air mata di pipi Humaira dengan tangan kecilnya.
Mengecup kedua pipi sang bunda dan melepas pelukan.
"Nggak. Bunda mau sama adek ya," ujar Humaira memegang tangan mungil yang hendak menjauhinya.
Anak itu menggeleng lucu seraya menampilkan senyum manis. Mirip senyumnya.
"Kamu kembali bersama suamimu. Kasihan dia sudah lama menunggumu. Biarkan cucu Daddy Mommy ini kami yang ngurus," ujar Daddy.
"Nggak mau, Dad. Bahkan, Ai belum mengenal anak Ai," tolak Humaira dengan suara keras.
"Aileen. Kamu sekarang sudah lebih paham mengenai agama. Belum takdirmu untuk bersama kita. Ini semua hanya alam bawah sadarmu. Kamu harus kembali dan hidup bersama suamimu. Membuat keluarga kecil kalian sendiri. Bahagia hingga maut memisahkan kalian."
Humaira masih menangis tersedu-sedan saat menatap kepergian Daddy Mommy dan bocah kecilnya. Melihat bayangan mereka yang semakin menghilang. Dirinya sendirian.
Tiba-tiba. Suara lantunan suci Al-Quran memenuhi indera pendengarannya. Hatinya semakin terenyuh mengenal suara merdu itu. Dia merindukan seseorang. Suaminya.
🍁🍁🍁
Shadaqallahul'adzim.
Laith menutup mushaf dan meletakkannya di atas nakas. Menggenggam tangan sang istri yang masih belum sadarkan diri sejak dua minggu lalu.
Mengecup tangan pucat dengan bekas infus. Dirinya berdoa dalam hati dan air mata sudah membasahi tangan yang ia genggam.
Yaa Allah. Kembalikan istri hamba apabila Engkau berkehendak demikian. Jangan sakiti dirinya apabila Engkau lebih menginginkannya. Aku mencintai dia karena-Mu Yaa Allah.
Humaira. Aku merindukanmu.
"Gus. Sholat shubuh dulu sana. Biar Umma yang jaga," sentak Umma menepuk pundak anaknya. Dilihatnya sang putra satu-satunya mengusap mata dan mengangguk.
"Laith pamit dulu Umma. Titip Humaira. Assalamu'alaikum," pamit Laith setelah menyalami sang ibu.
Sudah dua minggu. Waktu yang tidak sebentar karena rindunya menggebu pada sang istri. Laith selalu tabah dan sabar menunggu seraya tak henti berdoa dan bersujud.
Keluarga Humaira sudah tiba dari Italia sejak minggu kedua. Bahkan, twins dan Jonathan turut berkunjung dan membantu melacak siapa pelaku di balik kecelakaan.
Sedari awal, memang firasat Laith sudah tidak mengenakan saat akan ke Jakarta. Namun, dirinya yang mengabaikan firasat itu. Bersikap seolah-olah semua akan baik-baik saja. Tapi, kehendak Allah Subhanahu wa Ta'alaa tidak dapat diganggu gugat.
"Laith. I need to talk to you," tepuk Jonathan pada pundak Laith sehabis dirinya turun dari masjid rumah sakit.
Laith mengangguk dan mengikuti Jonathan berjalan menuju lorong sepi rumah sakit. Apalagi keadaan masih shubuh.
"Dugaan awal memang benar. Keluarga Tanuwijaya yang merancang kecelakaan seolah-olah hanya kecelakaan lalu lintas biasa. Truck yang remnya blong," jelas Jonathan dalam Bahasa Indonesia. Dia memang menguasainya.
"Bagaimana bisa ?" Tanya Laith tak habis pikir. Keluarga istrinya sendiri yang menyebabkan semua terjadi.
"Well. Apalagi kalau bukan balas dendam. Mereka -Andreas dan Anastasya- mengirim hacker untuk memancing Aileen keluar dari persembunyian dan menampakkan diri di Jakarta. Tujuan mereka, kalau Aileen tiada maka hak waris di tangan mereka sepenuhnya," jelas Jonathan seraya memasukkan tangan ke saku celananya.
"Astaghfirullahal'adzim," laith mengusap wajahnya. Benar-benar dirinya sangat ingin melampiaskan kemarahan dengan orang-orang biadab gila harta itu secara langsung. Istighfar dalam hati. Dirinya berusaha menenangkan diri.
"Don't worry, Dude. I can handle them. Terima kasih karena selama ini menjaga Aileen. Pastikan dia tidak terlalu terpukul karena kejadian ini. She's our princess in my family. And she chose the right guy to be her husband. I trust you. Now, it's my turn to beat them up," ujar Jonathan tajam dengan manik yang kelam dan seringai di bibirnya.
Laith mengangguk, "sure, thank you," ujar nya.
"I have to go," ucap Jonathan berjalan angkuh menuju lorong gelap rumah sakit dengan kedua tangan di saku celana pakaian formalnya.
Laith menghembuskan nafas. Sesak di dadanya sudah berkurang. Dirinya tahu seperti apa Jonathan, tapi kembali lagi, itu bukan urusannya. Biar Jonathan yang menangani apa yang menurut dia perlu.
Sekarang Laith harus bergegas menuju ruang rawat inap sang istri. Menamani dan selalu mengajak bicara, menstimulan rangsangan inderanya.
Cklek.
"Lama sekali, Gus. Umma saja sudah selesai sholat daritadi," ujar Umma. Setelah menjawab salam Gus Laith.
"Iya. Tadi ada urusan sebentar Umma," Laith menyalim tangan sang ibu.
"Tadi, Umma sempat melihat jemari Humaira bergerak sebentar. Kata dokter, itu sudah kemajuan. Insyaa Allah beberapa waktu ke depan Humaira bisa sadar ya, Gus. Kamu yang sabar," ujar Umma memberi kabar baik untuk anaknya.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Umma," ucap Laith bersungguh-sungguh. Dirinya benar-benar senang mendengar kabar tersebut. Segera mengelus puncak kepala sang istri dan mencium pelipisnya.
"Humaira, cepat sadar. Mas merindukanmu," lirih Laith membisik tepat di telinga sang istri.
Umma mengelus punggung sang anak. Menegarkan dan memberi kehangatan.
"Umma beli sarapan dulu, ya. Pasti sebentar lagi Atika sama Zaskia datang," ujar Umma. Mereka memang bergantian berjaga dan menginap di apartemen Humaira. Sedangkan, Abah Yai dan Abi dari lusa kemaren mengurus pesantren karena ada masalah.
Setelah Umma keluar, Laith duduk di bangku sebelah brankar dan menggenggam tangan sang istri. Membaca surat pendek dan sholawat.
Beberapa menit. Laith sedang menunduk menenggelamkan kepala di tangan sang istri dan bermuroja'ah. Saat tiba-tiba.
"M-mas.." suara lirih dan lemah berbisik itu menyentak Laith dan segera saja dirinya bangkit mengucap syukur dengan mata berkaca. Menatap manik yang lama ia rindukan.
"Humaira. Syukron walhamdulillah, Yaa Syafi'," Laith sujud syukur dan segera menghampiri sang istri. Memencet tombol pemanggil dokter.
Mengelus puncak kepala dan berkata, "kamu gak apa ?" Tanya Laith.
Humaira menggeleng, "haus," lirih Humaira.
Laith membantu sang istri untuk minum. Humaira mengernyit saat akan bangun.
"Awh. Pinggulku sakit, Mas," rintih Humaira pelan.
Laith mengelus pelan pundak sang istri semoga meredakan.
Tak lama Umma dan dokter datang bersamaan.
"Alhamdulillah Yaa Allah," syukur Umma berjalan menghampiri sang putra dan mengelus punggungnya.
Dokter memeriksa keadaan Humaira. Mengecek dan memberi stimulan.
"Pasien sudah sadar dan baik-baik saja. Efek pasca operasi kuret biasanya kram pinggul. Itu wajar, nanti akan mereda sendiri seperti nyeri haid. Ini resep obatnya bisa ditukar di apotek bawah," ujar dokter Rita yang menangani Humaira.
Laith mengiyakan dan berterima kasih.
"Mas," panggil Humaira.
"Iya, Sayang," jawab Laith lembut mengelus pipi yang kehilangan rona memerah itu.
"Daddy Mommy," lirih Humaira.
"Kenapa, Humaira ?" tanya Laith.
"Ai mimpiin Daddy Mommy sama," ujar Humaira.
"Sama ?" Tanya Laith.
"Anak kita," lirih Humaira berkaca-kaca menatap mata Laith.
Laith mengelus lengan sang istri, "sst. Kamu sehat dulu ya, nanti bicarain itu," ujar Laith memeluk sang istri.
Umma menatap haru kedua putra dan menantunya. Sungguh, ujian mereka sangat berat. Semoga mereka selalu ditabahkan oleh Sang Maha Pencipta.
Laith mengusap lembut surai sang istri sampai terlelap kembali. Menatap wajah damai, yang Laith tahu sebagai tidur bukan lagi koma, dengan terukir senyum dan syukur dalam dada.
"Umma. Laith menebus obat dulu di bawah. Umma sarapan saja sambil menjaga Humaira," ucap Laith lembut kepada sang ibu dan menyalam untuk keluar menebus obat.
🍁🍁🍁
Cklek.
Saat Laith mengucap salam dan kembali ke ruangan setelah bebersih diri di apartemen, dilihatnya ruangan ramai berpusat ke arahnya. Umma, Umi, Zaskia, Mr. Georgio, William, Emily, dan J twins. Tidak terlihat Jonathan di sana.
Pandangan Laith hanya lurus menatap netra hazel itu yang juga menatapnya teduh. Wajah pucat terbalut hijab instan.
"Humaira," lembut Laith memanggil sang istri dan berjalan menghampiri dengan senyum.
"Mas," Humaira menyalim dan balik tersenyum. Sepertinya, kehadiran keluarga yang hangat membuatnya senang.
"She's missing you, El. She cried because you weren't here just now," ujar Jerry menggoda sang sepupu.
Disambut gelak tawa dan rona merah Humaira yang melotot menatap Jerry. Yang justru malah terlihat lucu di mata Laith. Laith reflek mengecup rona merah di pipi sang istrinya.
"Euh. Please you both don't make a scene here," ujar Jimmy mengalihkan perhatian. Semua kembali tergelak.
"Gus, mending kamu bicara dulu mengenai itu dengan Humaira. Kami tunggu di luar," suara Umi mengintrupsi. Diangguki semua yang ada di ruangan.
"Take her care. I know you can make her strong," bisik Georgio di telinga Laith dan menepuk pundaknya.
Laith hanya mengangguk dan menjawab salam dari keluarga yang keluar ruangan.
"Mas, ada apa ?" Tanya Humaira.
Laith duduk di brankar menghadap Humaira. Mengelus lembut sisi kepala sang istri dan tersenyum.
"Mas mau bicara. Tapi, kamu janji tidak akan menyalahkan diri sendiri apalagi merasa terpukul. Ingat, semua ujian hadir untuk menguatkan kita. Dan Allah tidak menguji hamba-Nya, melainkan sesuai kesanggupannya," ucap Laith lembut mengelus kedua tangan sang istri.
Humaira mengernyit tapi tak ayal mengangguk. Dirinya menanti apa yang akan dikatakan sang suami.
"Humaira. Saat kecelakaan kamu mengalami keguguran. Bayi kita baru lima minggu di sana," jelas Laith lirih mengelus perut sang istri dan menatap netra yang mulai berkaca.
"Ke-keguguran, Mas ?" Tanya Humaira. Diangguki Laith
Humaira ikut mengelus perutnya di atas tangan sang suami. Air mata sudah mengalir deras tak terbendung.
"Bahkan hiks kita belum hiks tahu kehadirannya. Kenapa.." Humaira terisak tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Laith segera merengkuh tubuh sang istri dan menguatkan.
"Sst. Allah lebih menyayanginya. Bayi kita sudah bahagia di surga. Sekarang, tugas kita hanya mendoakannya. Jangan terlarut dalam kesedihan, pasti segalanya ada pelajaran bagi kita agar siap menjadi orang tua yang lebih baik lagi," ujar Laith disela pelukan dan menenangkan sang istri.
"Jadi, benar bocah kecil yang ada di mimpi Ai bersama Daddy dan Mommy itu, anak kita, Mas ?" Tanya Humaira dengan suara sengau dipelukan sang suami.
Humaira melepas pelukan dan menatap Laith lembut dengan air mata masih menganak sungai.
"Dia sangat mirip sama Mas dan senyumnya mirip Ai," jelas Humaira.
Laith tersenyum dan mengusap air mata sang istri, "ikhlasin ya. Allah sudah memberi tempat terbaik untuknya," ujar Laith.
Humaira masih meneteskan air matanya. Dia tidak menjawab. Kembali menenggelamkan wajah di dada sang suami. Bergetar dengan tangis dan mencari sandaran.
Laith terus mengusap punggungnya mengucap kalimat penenang dan terus mengajak Humaira istighfar. Laith juga merasa sedih dan bersalah tidak bisa menjaga Humaira dan buah hatinya.
Di pundak sang istri Laith ikut meneteskan air mata dan menahan isak. Dirinya harus kuat agar Humaira juga bisa bertahan. Kembali bangkit dan merajut kebahagiaan bersama.
"Mas, Ai pengen sendiri dulu."
Ucapan Humaira menyentaknya dan semakin membuat Laith sedih. Menatap manik sang istri, kedua mata Laithpun ikut membengkak. Mengangguk dan membiarkan Humaira dengan kesendirian. Dengan tetap mengawasi dari sofa kamar. Itu syarat yang Laith tawarkan.
🍁To be Continued🍁
|Tandai kalo ada typo atau kesalahan dalam informasi ya, Guys|
Sending a lot of loves ❤️💌❤️
Jangan lupa tinggalkan jejak 🐾
(Vote, comment, and share)
Best regard,
Moon Prytn.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro