Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XXIII ¤ Enemy

Laith merasa segar pagi ini. Bebannya sudah berkurang karena sang istri sudah kembali ceria dan sehat.

"Mas mau makan apa ?" Tanya Humaira di depan kulkas.

"Eung. Kok pengen Pancake with Maple Syrup, ya," ujar Laith.

"Hah ? Itukan makanan kesukaan Ai," ucap Humaira seraya melongokkan kepala ke arah Laith yang ada di meja makan.

"Oh ya ? Bagus dong, yaudah bikin itu aja," tukas Laith seenaknya.

"Tapi, mana ada Maple Syrupnya, Mas," rengek Humaira.

"Yahh, yaudah pake yang ada aja, yang penting Pancake. Adanya apa ?" Tanya Laith seraya berjalan ke arah Humaira, ikut melongok kulkas.

"Adanya madu. Mau ?" Tanya Humaira seraya mengambil tube madu dari kulkas.

"Mau," angguk Laith.

"Tapi bantu bikin adonannya," ucap Humaira menatap sang suami yang hanya mengacungkan jempol dan tersenyum.

Saat sedang membuat adonan. Kerjaan Laith hanya mengaduk adonan, mencocol madu, mengoles tepung ke wajah Humaira, dan hal-hal unfaedah lainnya. Yang membuat mereka akhirnya perang colek tepung dan saling tertawa.

Mereka tidak menyadari, para mbak abdi menatap dengan senyum dan tawa tertahan melihat kemesraan dua sejoli itu.

Nah, sekarang yang paling membuat Humaira geram. Sudah waktu memasak makin lama gara-gara main tepung. Eh saat memasak di loyang Laith malah menggelendot di belakangnya.

"Ish lepasin Mas, mau kalo ada yang liat. Mending Mas sana deh duduk di meja makan nunggu pancake nya matang," gerah Humaira. Tangannya masih aktif di loyang, jadi tidak bisa menyingkirkan sang suami.

"Nggak mau. Enakan begini. Katanya mau dibantuin. Nih Mas bantu pelukan," jawab Laith semakin mengeratkan pelukannya dan menaruh wajah di ceruk leher sang istri.

"Yang ada ngerusuh dari tadi Mas itu. Harusnya kita bisa makan dari tiga puluh menit yang lalu," semprot Humaira.

"Hmm," gumam Laith. Tidak urus yang penting Laith senang.

"Awas minggir. Udah selesai nih," ujar Humaira. Mau tidak mau Laith melepas pelukannya.

Mereka makan berdua Pancake with Honey nya karena Abah sama Umma belum pulang. Kemungkinan nanti sore atau malam.

Usai sarapan. Mereka kembali ke kegiatan masing-masing. Humaira yang kembali mengecek laporan keuangan dari Pak Syahrir minggu ini. Laith sedang bersiap untuk pergi mengajar.

"Sayang, kalau udah punya anak, kamu mau tinggal di sini apa di rumah sendiri ?" Tanya Laith tiba-tiba. Duduk di sofa, di atas sang istri yang duduk di bawah beralas karpet dan laptop di meja.

"Eh ? Ai ngikut Mas. Apapun keputusan Mas, Ai akan selalu mendukung. Pasti itu yang terbaikkan buat kita nanti," ujar Humaira seraya mendangak menatap sang suami di belakang atasnya.

"Grand Pa kamu sudah menagih janjinya. Kamu gimana ?" Tanya Laith.

"Oh iya ya. Ai sampai lupa tawaran Grand Pa. Kalau bulan depan Mas bisa gak ?" Tanya Humaira.

Laith mengangguk, "bisa. Cukup buat ngurus keberangkatannya. Kita ke Roma dulu ya, menengok Grand Pa, baru kamu nagih hadianya," ujar Laith terkekeh.

"Ish. Bukannya Mas yang nunggu-nunggu Honeymoon ya," ucap Humaira seraya pindah duduk di sebelah suaminya.

"Iya dong. Emang kamu nggak ?" Tanya Laith.

"Duh. Ai belum mutusin mau kemana lagi," ujar Humaira.

"Bisa dipikirin dulu," ujar Laith.

Tring. Tring.

Mereka tersentak dengan bunyi ponsel yang menggema.

"Pak Syahrir," ujar Humaira setelah mengambil handphonenya menatap Laith. Laith mengangguk menyilahkan untuk mengangkat.

"Assalamu'alaikum, Pak. Ada apa ?" Tanya Humaira.

"...."

"Innalillahi. Iya, Pak. Ai ngomong sama Mas Laith dulu. Oh ya, sepertinya Mas Laith juga bisa bantu," ujar Humaira dengan nada khawatir.

Laith hanya mengerutkan alis, menatap raut sang istri yang berubah. Bertanya-tanya ada apa gerangan.

"Alhamdulillah kalau ada yang bisa handle. Sebentar ya, Pak. Ai bilang ke Mas Laith dulu," ucap Humaira saat bertemu pandang dengan tatapan bertanya Laith.

"Ada apa, Humaira ?" Tanya Laith setelah Humaira menjauhkan teleponnya.

"Komputer di A Corp di-hack orang, Mas. Tadi se perusahaan komputernya tiba-tiba down dan gabisa digunakan. Sekarang udah teratasi, tapi sepertinya ada yang membobol database dan mereka tidak tahu siapa. Sepertinya ada yang mencuri data A Corp," ucap Humaira menjelaskan dengan raut khawatir.

"Mas gimana ini. Kita ke sana aja yuk," pinta Humaira.

"Kamu tenang ya. Mana coba sini telponnya," ujar Laith menenangkan.

Humaira masih gusar menggigit bibir bawahnya cemas. Dia tidak paham apa yang dikatakan Laith dengan Pak Syahrir di telpon. Atau mungkin juga bukan Pak Syahrir karena bahasa mereka terlalu asing dengan singkatan-singkatan entah apa.

"Sudah gapapa. Nanti malam kita berangkat ke Jakarta ya. Pamit dulu sama Abah Umma. Tadi Mas udah beri instruksi sedikit sama bidang IT nya untuk mengatasi masalah komputer perusahaan," ucap Laith.

Humaira menghela nafas lega. Ada untungnya juga suaminya jago informatika.

"Iya, Mas. Makasih, ya," ujar Humaira memeluk tubuh sang suami dari samping.

"Jangan berterima kasih. Sudah tugas Mas untuk melindungimu dan apa yang kamu miliki. Semalam juga kamu ga perlu berterima kasih. Cukup dengan kita selalu bersama sudah menjadi balasan yang setimpal untuk Mas. Karena memilikimu di sampingku adalah hal terindah yang pernah Mas rasakan," ucap Laith mengecup kening sang istri.

Humaira terharu mendengar ucapan sang suami. Matanya berkaca-kaca bahkan sudah mengalir di pipi memerahnya.

"Kok malah nangis sih," ucap Laith mengusap air mata Humaira dengan jempolnya.

"Ai terharu. Mas bisa romantis ternyata," ucap Humaira.

Laith terkekeh mendengarnya. Istrinya ini lucu sekali. Menggemaskan.

"Kan Mas emang romantis. Semalem juga kan ?" Goda Laith menaik-turunkan alisnya.

Sontak pipi Humaira semakin memerah. "Apaan. Semalem mah ada maunya," ucap Humaira memukul pelan dada sang suami.

"Hahaha. Kamu juga mau," goda Laith masih dengan tawa.

"Nggak," tolak Humaira keras.

"Nggak nolak masksudnya ?" Tanya Laith masih menggoda.

"Au ah," ucap Humaira bergegas bangkit dan keluar kamar.

"Sensitif banget sih akhir-akhir ini," lirih Laith menggelengkan kepala.

🍁🍁🍁

"Kamu mau ke Jakarta nanti malam ?" Tanya Umi Atika ketika Humaira berkunjung sehabis Laith berangkat mengajar.

"Iya, Umi. Sama Mas Laith juga. Menunggu Abah sama Umma pulang," jawab Humaira.

"Masalahnya seserius itu ya memang ?" Tanya Abi Ridwan.

"Sepertinya begitu, Bi. Mas Laith sendiri yang bilang tadi buat ke Jakarta. Ai kurang paham masalah komputer," ujar Humaira lagi.

"Sepertinya serius, kalau Gus saja sudah bilang begitu," ujar Abi.

"Ya sudah hati-hati ya. Nanti kabarin ke nomor Zaskia. Biar kami yang di sini tahu keadaan kalian," petuah Umi.

"Siap, Mi. Lagian ini kan cuma ke Jakarta sehari abis itu pulang," ujar Humaira.

"Tetep hati-hati. Oh ya, kalian naik apa nanti ?" Tanya Umi.

"Tadi Mas Laith bilang naik pesawat biar tidak kemalaman. Terus menginap dulu. Baru deh besok ke perusahaan," jelas Laith.

"Ya sudah, benar. Biar kalian juga istirahat. Nanti biar Abi yang antar ya," ujar Abi.

"Eh ? Gausah, Bi. Malah ngerepotin ini. Nanti parkir di bandara aja mobil Mas Laith," tolak Humaira halus.

"Jangan, parkir di bandara, mahal. Mending diantar Abi aja benar," jawab Umi.

Humaira hanya pasrah mengiyakan. Tidak enak juga menolak permintaan orang tua.

🍁🍁🍁

"Hati-hati di jalan, Nak. Gus, jaga istrimu baik-baik. Selalu berdoa agar selamat sampai tujuan," ujar Abah Yai memeluk anaknya saat berpamit. Padahal kan cuma sehari aja. Batin Humaira.

"Baik, Bah. Insyaa Allah Laith akan ingat pesan Abah," jawab Laith.

Lalu, Humaira menyalim tangan Abah dan Umma bergantian.

"Jaga diri baik-baik ya. Maaf Umma sama Abah tidak bisa mengantar ke bandara. Besok kalau sudah sampai ke sini lagi telpon ya. Biar Abah sama Umma ikut jemput," ujar Umma.

"Siap, Umma. Cuma pergi sehari kok, Umma. Jangan kangen sama Gus Laith ya, Umma," ujar Humaira bergurau.

"Umma malah kangennya sama kamu, Ra. Kalo, Gus mah udah biasa pergi jauh dan lama. Ini menantu tercantik Umma satu-satunya mau dibawa Gus pergi," gurau Umma mengikuti Humaira.

"Bah, yang anak kandung Abah sama Umma siapa ya ?" Tanya Laith saat mendengar dan melihat percakapan ibu dan istrinya.

Abah Yai hanya terkekeh pelan melihat pemandangan yang jarang terjadi ini.

"Sudah. Ayo," ujar Abi Ridwan setelah sesi salam-peluk-canda terlaksana.

"Nanti hubungi Kak Kia ya, Ra," ucap Zaskia kesekian kalinya.

"Siap Kakak," ujar Humaira sambil mengangkat tangan memberi hormat. Sontak mereka tertawa bersama.

Abi Ridwan mengantar hingga bandara bersama Umi dengan mobil Laith.

"Kalau sudah sampai kabari ya. Jadi nginap di apartemen Humaira di Jakarta ?" Tanya Umi saat mereka akan ada di terminal keberangkatan.

"Iya Umi. Apartemen Laith kan masih disewakan. Daripada nginep di hotel," jawab Laith.

"Iya, bener. Yaudah sana. Hati-hati ya," ujar Umi.

Setelah mereka menyalimi Abi dan Umi satu persatu. Mereka pun bergegas saat nomor penerbangan sudah dipanggil nyaring.

Laith selalu mengenggam tangan sang istri. Seperti takut kehilangan. Entah mengapa, setelah berpamit dengan demikian dramatis dengan keluarga, padahal hanya sehari pergi membuatnya sedikit khawatir.

Astaghfirullahal'adzim.

Yaa Mu'min. Yaa Mu'min.

Selama perjalanan tak hentinya Laith berdoa dan wirid dalam hati. Memohon keselamatan untuk dirinya dan sang istri.

"Mas ?" Tanya Humaira di samping tempat duduknya.

"Kenapa hm ?" Tanya balik Laith.

Humaira menggeleng dan tersenyum. Entah mengapa, akhir-akhir ini perasaannya sangat sensitif. Sekarang saja dirinya tiba-tiba dilanda was-was seketika. Padahal, Jakarta adalah tempat kelahirannya.

"Gak pa-pa," ujar Humaira seraya menautkan jemari dengan sang suami.

Alhamdulillah.

Kedua sejoli itu mengucap hamdalah saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan selamat. Dijemput oleh Pak Syahrir langsung dengan sang sopir untuk mengantar ke apartemen Humaira.

"Bagaimana keadaan, Non sama Den Laith ?" Tanya Pak Laith setelah bersalaman dengan Laith dan menangkup tangan ke Humaira.

"Alhamdulillah baik, Pak. Pak syahrir sendiri bagaimana ? Keluarga sehat ?" Tanya balik Humaira.

Mereka berbincang seraya berjalan menggeret koper kecil menuju mobil.

"Alhamdulillah baik semua. Istri saya baru saja melahirkan anak ketiga. Maaf waktu itu tidak bisa datang ke nikahan Non sama Aden. Hamil besar soalnya," jawab Pak Syahrir.

"Wah alhamdulillah. Gapapa lah, Pak. Bapak juga sudah bilang kan waktu itu. Aduh," pekik Humaira saat kakinya tersandung.

Laith dengan sigap menopang tubuh sang istri. Melingkarkan tangan ke punggung dan merangkul di lengan. Untung Humaira tidak jatuh terjengkang.

"Hati-hati," ucap lembut Laith membenarkan posisi berdirinya sang istri.

"Duh pengantin baru masih mesra-mesra nya ya," goda Pak Syahrir.

"Haha. Bapak juga pasti mesra dengan istri kan," goda balik Laith sembari menggandeng tangan Humaira agar tidak ada insiden tersandung lagi.

"Istri itu layaknya sungai yang mengalir, Den. Kalau arusnya tenang hidup kita juga ikutan tenang. Tapi, saat arusnya bergelombang, kita juga ikutan terombang-ambing. Jadi, tugas suami mengatur biar arus selalu tenang, karena wanita itu terkadang tidak bisa ditebak," ujar Pak Syahrir.

"Loh, ini maksudnya wanita selalu menang sendiri begitu ya, Pak ?" Tanya Humaira nge-gas.

Obrolan mereka terhenti saat tiba di mobil. Lalu, setelah memasukkan koper di bagasi. Mereka naik ke mobil dan melanjutkan percakapan.

"Bukan begitu, Sayang. Maksud Pak Syahrir tadi, tugas suami adalah membuat istri senang. Wanita kan mudah sensitif dan mudah berubah mood. Kamu juga akhir-akhir ini sensitif banget ngerasa gak ?"

"Eung. Enggak, eh tapi tadi iya," ujar Humaira berpikir.

"Nah bener kata Aden, Non. Kalau istri sedang senang, nanti suami juga ikutan senang. Apalagi kalau pulang kerja disambut istri dan anak-anak yang sedang tertawa. Hati rasanya lega. Semua penat seperti hilang," ujar Pak Syahrir dari depan, di samping pengemudi.

Laith dan Humaira saling berpandangan. Seakan tahu perasaan masing-masing tanpa terucap oleh kata. Laith menggenggam tangan sang istri dan mengelusnya halus. Tersenyum menenangkan

"Iya, Pak. Doain saja biar kami seperti Bapak dan istri Bapak. Langgeng terus bahkan masih seger ini bisa punya anak lagi," ujar Laith terkekeh, menghangatkan suasana sambil mengelus lembut punggung tangan sang istri.

Mereka melanjutkan obrolan ringan sampai menuju apartemen Humaira.

🍁To be Continued🍁

|Tandai kalo ada typo atau kesalahan dalam informasi ya, Guys|

Sending a lot of loves ❤️💌❤️

Jangan lupa tinggalkan jejak 🐾
(Vote, comment, and share)

Best regard,
Moon Prytn.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro