Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XVI ¤ Just The Two of Us

"Tadi Abah sama Umma pamit berkunjung ke pesantren orang tua Gus Azzam, suami Ning Lathifa. Zaidan sedang rewel juga soalnya," ujar Laith saat mereka tiba di rumah Abah Yai malam ini.

"Oh, begitu. Terus mbak-mbak lain pada kemana, Mas? Kok sepi," tanya Humaira. Tidak biasanya Ndalem sepi.

"Mas suruh libur dulu, mereka menginap di asrama santriwati. Jadi, hanya kita berdua," celetuk Laith.

Humaira melotot. Merinding mendengar kata itu. Hanya kita berdua. Hanya. Berdua.

Berdua.

Astaghfirullah. Otak jangan traveling deh. Batin Humaira.

"Jangan ngelamun, Humaira." Suara Gus Laith menyentak kesadaran Humaira kembali ke tubuhnya.

"Nggak, kok. Itu tadi traveling," ceplos Humaira.

"Hah? Siapa yang traveling?" Tanya Laith bingung.

"Eh, nggak. Oh ya, kamar Mas Laith yang mana?" Tanya Humaira mengalihkan pembicaraan.

"Di atas. Ayo, sini kopernya biar Mas yang bawa," ujar Laith seraya membawa koper ke lantai atas.

Cklek.

Rapi. Kamar Laith sangat rapi dan bersih. Dengan warna dominan putih dan abu. Tembok bersih di cat putih dengan jendela besar di sebelah kanan -dengan tirai dalam putih tranparant dilapisi gorden tebal abu tua diikat kanan kiri- menuju pemandangan hijau pematang di belakang rumah. Tempat tidur queen size dengan bed cover warna abu metalic. Lemari besar sewarna gorden di samping kiri sebelah pintu. Dan yang paling mencolok adalah meja rias berwarna putih di samping meja nakas. Dan ada dua pintu penghubung. Sepertinya, salah satunya kamar mandi.

"Pakaian kamu di taruh sebelah sini ya," ujar Laith -lagi-lagi- menyentak Humaira.

"Iya, Mas. Langsung Ai masuk-masukin ya," ujar Humaira.

"Terserah kamu, kalau capek nanti aja gapapa," ucap Laith memandang istrinya.

Humaira menggeleng, "nggak kok."

"Ya sudah. Mas mandi dulu ya," ujar Laith yang diangguki Humaira.

Karena malam ini mereka hanya berdua dan sehabis sholat isya langsung ke rumah Abah Yai. Mereka belum sempat makan malam.

Dengan inisiatif, Humaira membuat makan malam untuk keduanya. Untung diuntung, dulu dia sering tinggal sendiri dan keliling dunia membuatnya pandai mengolah makanan. Menu malam ini adalah chicken fried steak with mashed potato. Karena kebetulan ada ayam dan kentang di dalam kulkas

Gatau Gus Laith bakal suka apa tidak. Apalagi ini makanan western takut tidak cocok dengan lidah suaminya. Namun, saat dia sedang menyiapkan dish agar terlihat cantik. Tiba-tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya.

"Wanginya harum banget sampe kecium dari lantai atas," bisik Laith dan menumpukan dagu di pundak Humaira.

"Masa sih. Udah selesai nih. Tadaa," ujar Humaira mempersembahkan hasil karyanya.

"Looks delicious," puji Laith. Melepas pelukan dan membawa makanan ke meja makan.

"chicken fried steak with mashed potato," ujar Humaira. Meletakkan gelas minum ke meja makan.

"Hmm, even the name sounds good," puji Laith kedua kalinya.

"Ayo dicoba. Terus komen ya rasanya gimana," ujar Humaira Antusias.

Humaira mengambilkan pisau dan garpu. Menunggu Laith memotong, lalu memasukkan makanan hasil karyanya ke mulut. Mengunyah. Dan menelan. Seperti slowmotion dan Humaira menunggu dengan tangan saling menaut dan mata berbinar.

"Gimana gimana ?" Tanya Humaira saat Laith berhasil menelan.

"Enak. Very very delicious. Gak nyangka istriku ternyata bisa masak seenak ini," puji Laith.

"Aaa beneran ?" Teriak Humaira reflek memeluk leher Laith. Untung saja Laith tidak sedang makan atau minum. Bisa tersedak dia. Jantungnya aja udah mau copot.

Langsung saja, pipi Humaira bersemu merah jambu. Tersadar. Segera melepaskan diri dan duduk kembali di sebelah sang suami.

"Eung.. kalau gitu Ai coba dulu deh," cetus Humaira mencairkan suasana.

"Hmm, lumayan lah. Walaupun gak persis kayak chef yang ngajarin Ai dulu," ujar Humaira.

"Diajarin chef nya langsung ? Cewek apa cowok chef nya ?" Tanya Laith langsung.

"Eh ? Cowok, namanya chef Jerry," jawab Humaira tenang sembari makan, tidak menyadari suasana sudah suram.

"Did he touch you when taught you cooking ?" Tanya Laith dengan suara beratnya.

"Hah ?" Humaira menoleh saat mendengar suara suaminya berubah tajam. Dan mendapati rahang itu mengeras. Laith diam masih menunggu jawaban.

"Are you jealous ?" Goda Humaira. Hah! Emangnya Laith aja yang bisa menggoda. Sekarang pindah posisi, Fernando. Satu sama.

"Of course I am," jawab Laith lugas.

Humaira benar-benar tidak menyangka akan jawaban seperti itu. Gila, suaminya ini jujur kebangetan ya. Gak pake jaim-jaiman.

"Heh ? Gak jaim bilang jujur ? Ai kira bakal ngomong enggak terus ngambek," cemberut Humaira.

Sebenarnya, ekspresi Humaira sekarang ini sangat menggemaskan. Tapi, ingat! Laith masih kesal. Cemburu deng.

"You've not answered my question yet," tukas Laith.

"Ish. No, I just looked while he was cooking. He's my cousin anyway. Anak Uncle William, kakak laki-laki Mommy. So, you don't have to be jealous, My Hubby," jelas Humaira, memasang wajah menyebalkan untuk mengejek Laith yang masih terdiam kaku. Lalu, hembusan nafas lega itu terdengar.

"Huft. Even though i have planned to punish you," ujar Laith serius.

"Hah? Mana bisa, kan dulu juga belum jadi istri Mas Laith," elak Humaira.

"Nonsense. You still get your punishment," ujar Laith seraya meneruskan makannya.

"Gak. Gamau. Kan Ai udah ngomong jujur tadi. Dihukum karena apa dong ? Lagian gak ada sentuh-sentuh. Si Jerry mana mau ngajarin Ai secara langsung, dia itu pelit ilmu kalo Mas pengen tahu," jelas Humaira panjang lebar.

Laith hanya mengulum senyum. Mendengar celotehan istrinya yang lucu itu.

"Hmm. I don't care," cuek Laith.

"Ihh, Mas kok jahat. Beneran deh, Ai gak bohong," rengek Ai memeluk dan menggoyang lengan Laith.

"Suapin," ucap Laith lugas.

"Hah ?" Cengo Humaira dengan bibir terbuka dan mata membesar.

"Your punishment. Suapin suamimu, Humaira," tukas Laith. No bantah-bantah club.

"Halahh. Mas mau minta suapin aja pake acara hukum menghukum. Sini Ai suapin. Aaa," ujar Humaira terkekeh seraya menyodorkan garpu yang menancap bistik ayam ke mulut suaminya.

Laith menerima dengan senang hati. Mereka akhirnya makan sambil suap-suapan. Terkadang Laith sesekali menyuapi Humaira. So sweet. Jadi, kepengen juga.

🍁🍁🍁

"Hari ini Mas ada ngisi pengajian di masjid akbar desa sebelah. Humaira ikut ya ?" Pinta Laith sehabis sholat shubuh berjamaah.

"Kapan, Mas ?" Tanya Humaira sambil melipat mukena.

"Nanti jam 8 pagi. Berangkat jam 7, jalannya lumayan jauh," jawab Laith.

"Iya, Mas. Tapi kita sarapan dulu ya. Mas mau makan apa ?" Tanya Humaira.

"Hmm. Nasi goreng bisa ?" Tanya Laith balik.

"Kecil mah itu," jawab Humaira seraya tertawa. Laith tersenyum.

"Huamira, nanti jangan pakai baju itu ya ke sananya," ucap Laith tiba-tiba.

"Hah ? Kenapa, Mas ? Gak sopan ya ? Perasaan ini gamis masih sopan, panjang juga," bingung Humaira. Gamis merah maroon dengan aksen pita di pinggang. Cocok sekali di badan Humaira.

"You look gorgeous with that dress. I don't want someone else, especially men, to look at you," jujur Laith.

"You are so possesive," tukas Humaira. Namun, tak ayal mengikuti perintah suaminya.

"Yes, I am," jawab Laith enteng.

Humaira hanya menghela nafas. Sabar. Sabar. Orang sabar disayang Tuhan.

"Yang mana ini, Mas aja yang pilih," ujar Humaira membuka pintu lemari lebar-lebar. Laith mengernyit, lalu tangannya bergerak ke abaya hitam polos panjang lurus tanpa model.

"Really ?" Tanya Humaira tak percaya. Pasti nanti dirinya sendiri yang memakai baju model gitu. Sedang jamaah akhwat lain pasti bajunya warna warni.

"Iya, pakai itu aja. Tidak membentuk tubuh. Nice to you," ujar Laith.

"Huftt. Innallahaa ma'ash shobiriin," ucap Humaira seraya mengelus dada.

🍁🍁🍁

Seusai sarapan, merekapun berangkat dengan mobil Range Rover putih milik Laith. Tak terasa, perjalanan yang lumayan jauh itu terlewati dengan obrolan ringan.

Sesampainya di parkiran masjid. Humaira sudah tidak bisa lagi menahan isi kandung kemihnya. Alias kebelet pipis.

"Mas, Ai ke toilet dulu ya. Kebelet banget," ujar Humaira.

"Mau Mas temenin ?" Tawar Laith.

"Nggak usah. Paling nanti ketemu akhwat yang ikut pengajian. Sini salim. Dah, duluan Mas. Assalamu'alaikum," ucap Humaira buru-buru. Sudah tidak tahan.

"Wa'alaikumussalam," jawab Laith. Menatap punggung istrinya yang berjalan cepat ke arah samping kanan masjid, tempat wudhu perempuan berada.

Tok. Tok.

Tak disadari ternyata ada yang mengetok kaca jendela mobil Laith. Laith segera turun dari mobil. Hendak bilang tunggu sebentar untuk menanti sang istri kembali. Namun, sudah disela.

"Jamaah sudah banyak, Gus. Pak Kyai Syafei juga sudah hadir," ujar salah satu dari dua orang yang menjemputnya.

"Ya sudah. Mari," putus Laith. Di dalam hati berdoa semoga istrinya baik-baik saja dan langsung menuju masjid bersama jamaah perempuan lain.

Humaira baru menyelesaikan hajatnya saat dia mendengar dari pengeras suara di masjid. Ah, suaminya sudah di atas mimbar ternyata. Humaira segera masuk ke masjid dan bergabung dengan akhwat lain.

Duh, di sini gak keliatan lagi. Yaudah lah, yang penting suaranya jelas. Batin Humaira.

"Maa Syaa Allah. Gus Laith kasep pisan euy. Calon imam ana," bisik-bisik dari arah kiri depan Humaira sampai pada radar warning! di telinganya.

"Iya, Teh, bener atuh. Subhanallah. Makanya saya bela-belain ikut ke kampung sini biar liat Gus Laith yang kasep itu," ujar satunya.

Eh itu kasep kasep apaan dah. Suami orang tuh! Suami gue. Batin Humaira.

Astaghfirullah. Istighfar. Istighfar.

"Hust! Jangan berisik. Ini masih pengajian," tegur seseorang di depan mereka.

Huft. Untung-untung ada yang negur. Batin Humaira lagi.

"Lagian antum pada ngimpi semua. Itu Aa' calon saya. Abi udah bilang tadi," ujar si penegur.

Deg! Apa? Kata siapa calon elo, Markonah. Jelas-jelas si Gus udah nikah. Disini ini bini nya. Lagian ngaca dikit napa, ibarat kata, gue Seo Ye-ji, elu Mpok Atiek. Aduh maap Mpok gak maksud ngehina. Duh gara-gara si sundel genit nih. Batin Humaira.

Astaghfirullahal'adzim.

Astghfirullah.

Istighfar.

ARGH!

Awas aja nanti kalo Mas Laith nanggepin itu si sundel genit. Tak potong anunya. Eh jangan! Kan belum praktek yang dari kitab Fathul Izar!

Astaghfirullah.

Perang batin masih berlanjut sampai pengajian selesai. Humaira padahal ingin segera menyusul sang suami, tapi apa daya sandalnya entah kemana terseok-seok sampai ujung masjid terjauh.

Sabar. Ini ujian. Yang penting minumnya sprice. Gak mau endorse mon maap.

Saat sudah berhasil menemukan dan memakai sandalnya karena jamaah sudah pada hilang. Dia balik ke mobil tadi di parkir. Udahlah, moodnya sudah hancur. Menghela nafas.

"Nah, itu istri saya," suara familiar terdengar dari arah depan. Humaira segera mendongak dan mendapati suaminya bersama beberapa orang. Entah siapa, Humaira tidak peduli. Yang penting dia bisa melihat suami tercinta.

Humaira segera meraih tangan sang suami.

"Kok lama, Sayang ?" Wah! Dipanggil sayang, Gaess! Maa Syaa Allah, mood langsung ngumpul di pipi, jadi merah pasti.

"Tadi sandalnya keseret sampai pojok masjid," ujar Humaira malu-malu tersenyum tapi mau. Apaan dah!

"Ya sudah, yang penting kamunya gak pa-pa, Sayang," benar-benar si Gus bikin melting.

"Oh ya. Aduh maaf saya abaikan. Kenalin ini istri saya, namanya Humaira. Sayang, beliau Pak Kyai Syafei dan anaknya, terus Pak Kamil, dan Pak Tono. Mereka yang mengundang Mas di pengajian ini," jelas Laith memperkenalkan.

"Assalamu'alaikum, saya Humaira," ujar Humaira menangkup tangan dan matanya otomatis hanya menangkap satu sosok yang sesama jenis kelamin dengan dirinya.

Si Sundel.

Astaghfirullah. Untung Mas Laith lagi manggil sayang sayang. Kalau nggak udah gue gibeng itu Sundel.

Astaghfirullah.

Istighfar.

Humaira masih mengulas senyum tipis meski hatinya panas dingin.

"Maa Syaa Allah kalian serasi sekali. Gus Laith pintar cari istri ya," ujar Pak Kamil memuji.

"Alhamdulillah. Syukron, Akhy," jawab Laith.

"Eung. Afwan, Gus. Kalau boleh tahu istri Gus dari pesantren mana ya ? Anak Pak Kyai siapa ? Dijodohin sama orang tua Gus ?" Rentetan tanya si Sundel.

Sumpah pen digibeng beneran ini Si Sundel.

"Kami pertama bertemu secara tidak sengaja di Mekkah waktu umroh dan tidak saling berkenalan, saat itu saya masih kuliah di Mesir. Dia dulunya tinggal di luar negeri. Jadi, bukan dari pesantren sini," jawab Gus Laith diplomatis. Dengan pandangan memuja ke arah Humaira saat menjelaskan.

Jelas saja, wajah Si Sundel langsung memerah menahan amarah yang bergejolak ingin muntah.

Hahaha. Rasain itu!

Astaghfirullah.

"Maa Syaa Allah romantis sekali ya kisah kalian, bertemunya saja di Mekkah. Lalu, bagaimana bisa bertemu lagi, Gus ?" Tanya
Pak Tono kepo. Pasti juga Si Sundel kepo ini. Mbatin.

"Ternyata dia cucu dari investor utama El-lectro Inc. Perusahaan saya di Mesir. Waktu itu bertemu di Jakarta saat meeting akbar," jelas Laith. Seakan-akan Humaira benar-benar dari kalangan bangsawan Arab.

"Kalau dilihat wajahnya seperti dari China ya, Gus ?" Tanya Pak Kyai Syafei.

"Na'am, Pak Kyai. Istri saya blasteran Asia Timur. Jadi, tak heran kalau wajahnya rupawan. Keluarganya beragam negara," ujar Laith terkekeh. Masih dengan tatapan kagum ke arah Humaira.

"Eumm, Mas," ujar Humaira lirih.

"Sepertinya istri saya sudah lelah. Kami pamit undur diri dulu. Wassalamu'alakum Pak Kyai, Pak Tono, dan Pak Kamil," salam Laith tanpa menyapa Si sundel. Yes!Humaira ikut memberi salam. Lalu, mereka menuju mobil untuk pulang.

Saat di mobil, Humaira langsung menyerang Laith.

"Mas? Tadi itu..." Humaira menggantung kalimatnya.

"Tidak apa-apa," ujar Laith menenangkan.

"Tadi waktu Ai di masjid, Si sundel -eh maksudnya si mbak yang tadi di sana itu bilang kalau Mas calon dia," ucap Humaira cemberut.

"Nggak. Dia hanya berharap. Mas cuma milik kamu satu-satunya," jawab Laith seraya tangannya mengelus puncak kepala sang istri.

"Terus tadi kenapa bilang gitu dianya? Emang gatau apa kalau Mas udah nikah? Mas jawab gak pakek bohong," cerca Humaira, mulutnya masih cemberut.

"Fyuh! Tadi Pak Kiyai meminta Mas buat jadiin anaknya istri kedua," jelas Laith lirih.

"APA?!" teriak Humaira terkaget.

🍁To be Continued🍁

|Tandai kalo ada typo atau kesalahan dalam informasi ya, Guys|

Sending a lot of loves ❤️💌❤️

Jangan lupa tinggalkan jejak 🐾
(Vote, comment, and share)

Best regard,
Moon Prytn.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro