XL [END] ¤ New Born
"Muhammad Azka Arrayan El-Farees."
Ucap Laith seusai mengadzani sang buah hati.
Humaira sedari tadi sudah tidak bisa membendung tangis yang terus mengalir.
Saat Laith berjalan terpincang menghampirinya dan bayi digendongannya. Mata tajam itu menatap lurus netra Humaira.
"Humaira," ucap Laith mengecup kening sang istri.
Tangis Humaira pecah dengan air mata yang ia bendung sedari tadi luruh.
Laith.
Suaminya masih hidup. Dan itu nyata baru saja Humaira merasakan kecupan hangat di keningnya.
"Mas hiks masih hidup ?" Tanya Humaira memastikan.
"Iya, Sayang. Mas hidup dan sehat wal'afiat. Bayi mungil ini anak kita?" Tanya Laith retoris.
Humaira semakin tersedu saat Laith mengambil alih gendongan buah hatu mereka. Menggendong dan menyuarakan adzan di telinga kanan bayi mereka.
"Azka hebat ya. Sudah jaga Bunda selama Ayah pergi," ucapan Laith menyentak Humaira. Humaira tersenyum lemah dengan mata masih mengalir airnya.
"Azka mirip Bunda ya, Ayah kebagian hidung sama warna iris matanya aja," kekeh Laith seraya menatap sang istri yang juga terkekeh pelan dengan tangisnya.
"Bunda jangan nangis. Kan Ayah sudah sama Bunda dan Azka," ucap Laith seraya duduk di hadapan sang istri.
Mengusap pipi basah Humaira. Lalu, mengelus surai coklat dengan lembut.
"Sst. Udah ya. Jangan nangis. Mas di sini sama kamu dan anak kita," lirih Laith saat air mata sang istri tidak juga berhenti.
Humaira terisak. Memeluk sang suami dan baby Azka di gendongan Laith.
"Alhamdulillah Yaa Allah. Terima kasih Engkau memberi kesempatan untuk kami bersama kembali. Terima kasih, Mas, sudah kembali pulang pada kami," sedu Humaira.
🍁🍁🍁
Dua tahun kemudian.
"Azka lagi apa ? Kok sudah bangun ?" Tanya Humaira pada sang anak.
Sekarang pukul 3 pagi dan anak sulungnya sudah bangun.
"Aka au ikut Nda ama Yah olat," jawab bocah kecil usia dua tahun itu.
"Azka mau sholat ? Makanya ini basah ya bajunya. Abis wudhu ?" Tanya Humaira. Dijawab anggukan sang anak.
"Dinin ailnya, Nda," lapornya pada sang bunda.
"Sini yuk ganti baju. Terus ikut sholat tahajud sama Ayah dan Bunda," ujar Humaira menggandeng tangan sang anak karena dirinya susah untuk menggendong dengan perut buncitnya. Humaira sedang hamil 6 bulan.
"Olat apa Nda namana ?" Tanya Azka penasaran.
"Sholat Ta-ha-jud," eja Humaira agar sang anak mengerti. Azka memang anak yang cerdas. Mudah menangkap bahasa dan perilaku orang sekitarnya.
"Olat a-a-jud," ikut Azka menirukan sang Bunda.
Humaira terkekeh mendengar celotehan sang anak.
"Loh, anak Ayah sudah bangun ?" Kaget Laith yang baru saja keluar dari kamar mandi dan mencari sang istri di kamar anaknya.
Memang, Laith memberikan kamar sendiri untuk anak pertamanya di Ndalem.
"Ayahh. Iya, Aka mau itut olat a-ajud," lapor sang anak.
Laith terkekeh dengan omongan sang anak.
"Azka kok tahu kalau Ayah sama Bunda suka sholat tahajud jam segini ?" Tanya Laith.
"Kan Ayah ama Nda uka tium Aka jam segini. Aka ngelasain telus kemalen Aka angun abis ditium, Yah ama Nda agi olat. Aka intip dali situ. A-ap ya Yah Nda Aka intip."
(Kan Ayah sama Bunda suka cium Azka jam segini. Azka ngerasain terus kemaren Azka bangun abis dicium, Ayah sama Bunda lagi sholat. Azka intip dari situ. Maaf ya Ayah Bunda Azka intip)
Cerita Azka dan menunjuk pintu penghubung yang memang dibiarkan terbuka saat sepertiga malam tiba. Ternyata, benar. Azka meniru setiap perbuatan yang dilihatnya. Dia juga menuruti semua nasehat yang pernah dia dengar.
"Ya sudah. Ayo sholat a-ajud," ujar Laith menirukan kata-kata Azka. Humaira dan Azka sontak tertawa bersama.
Seusai tahajud, Azka sudah membuka Al-Quran dan duduk di samping sang Ayah. Padahal, dirinya belum bisa membaca. Tapi, Azka sudah hafal surat pendek berkat diktean dari sang Bunda, Azka menirukan dan mudah menghafal.
Terpekur berusaha mencerna tulisan di Al-Quran dan telinga menyimak sang Ayah yang tadarus. Humaira tersenyum dan mengelus surai coklat anaknya juga mengelus bayi di perutnya. Ikut menyimak bacaan sang suami.
"Shodaqallahul'adzim."
"Oda Allahul adim," ikut Azka dengan tangan mengusap wajah dan menutup mushaf.
"Anak Ayah dan Bunda pintar ya. Sekarang ayo murojaah hafalan surat pendek yang kemaren Bunda ajarkan," suruh Laith.
Azkapun dengan lafal yang masih belepotan menghafal untaian ayat dengan lancar.
"Maa Syaa Allah. Azka pintar banget sih. Sini cium," gemas Humaira mencium pipi gembul sang anak.
"Nda, awas. Kacian adek na anti kegentet," ucap Azka mengelus perut sang Bunda.
Mereka tertawa terbahak atas celotehan sang anak.
Adzan subuh terdengar. Azka dengan sang ayah sholat berjamaah di masjid, tak lupa Simbah Kakungnya juga ikut dan menjadi imam. Sedangkan, Humaira bersama Umma sholat berjamaah di Ndalem.
Pagi menjelang, mereka sarapan bersama di meja makan ndalem. Azka menolak tidur dan membantu sang bunda masak. Dia malah menjadi bulan-bulanan mbak-mbak di ndalem karena gemas dengan batita mungil nan tampan itu.
"Maa Syaa Allah. Gemesin banget anak siapa sih ini," ucap Mbak Diyah seraya membetot pipi gembul Azka.
"Aka nak Yah ama Nda," jawab Azka.
Semua yang mendengar di dapur tertawa mendengar jawaban dari penyataan Mbak Diyah tadi. Tidak heran, Azka memang pintar.
Seusai sarapan, mereka berkumpul di ruang keluarga. Sebelum Abah ke ponpes dan Laith ada jadwal mengajar.
"Mbah akung, Mbah Uti, adi Aka itut olat a-ajud," lapor Azka.
"Maa Syaa Allah. Azka dibangunin Ayah sama Bunda ?" Tanya Umma.
Azka menggeleng, "Aka angun ndili. Soalna Yah ama Nda elum tium Aka. Jadi, Aka angun telus Aka pikil Aka mau tekalian itut olat," jawab Azka dengan gaya seperti orang dewasa.
Tak pelak mengundang tawa membahana dari seluruh keluarga.
"Azka pintar, nanti Azka juga ikut sholat tahajud sama Mbah Kakung dan Mbah Putri ya. Mbah kakung ajarin Azka baca Al-Quran," ujar Abah antusias.
"Yes. Aka penen anget baca Al-Qulan. Alhamdulillah. Matasih, Mbah akung," ujarnya.
Kehidupan keluarga kecil Laith dan Humaira semakin bahagia dengan kehadiran adik perempuan yang beberapa bulan kemudian lahir.
Azka sangat menyayangi sang adik dan menjaga dengan hati-hati. Suka mencium pipi yang sama-sama gembul dengannya. Membacakan sang adik surat-surat pendek yang dia hafal.
"Lihat anak kita. Mereka lucu-lucu. Semoga menjadi anak yang shaleh dam shalehah," ujar Laith memeluk sang istri dari belakang. Mengawasi kedua anaknya dari pintu penghubung.
"Aamiin," seru Humaira.
"Mas," panggil Humaira lagi.
"Hmm."
"Kenapa Mas mencintai Ai ?"
"Humaira, Alhubbu kal harbi, minas sahli an tus'ilaha, walakina minas sha'bi an tukhmidaha. Cinta itu ibarat peperangan, amat mudah mengobarkannya, namun amat sulit untuk memadamkannya. Ana uhibbuki fillah, Zaujatii," jelas Laith.
Humaira tersenyum hangat. Mengelus tangan sang suami yang melingkari perutnya.
"Ana uhibbuka fillah, Yaa Zaujan," jawab Humaira.
"Yahh, Ndaa," seruan Azka membuat Laith dan Humaira menghampiri Azka dan adiknya.
🍁🍁END🍁🍁
Alhamdulillah
Akhirnya, cerita yang masih banyak kurangnya ini berakhir dengan bahagia. Terima kasih buat teman-teman yang sudah mau mampir ke sini dan membaca sampai akhir. It means a lot to me, without all of you, I would be nothing here. Hehe, intinya aku sangat berterima kasih kalian sudah mengapresiasi karya pertamaku ini.
Cerita ini hanya fiktif belaka, tapi ada beberapa tokoh yang terinspirasi dari sosok yang aku kenal di dunia nyata.
Semoga cerita sederhana ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pembaca. Jika ada kesalahan informasi, typo (pasti banyak banget hehe), plote hole, atau sesuatu yang rancu, bisa banget dikomen, diberi kritik dan saran. Jujur, aku malah seneng, jadi bisa lebih memperbaiki tulisan. Nanti, baru deh tahap revisi.
Last but not least, kalau ada yang berminat chapter tambahan komen, ya...
Nanti aku buatin khusus buat kalian. Kalo gak mau ya gak apa-apa 😆🤭
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam hangat dari Laith, Humaira, dan keluarga aSL lain.
With Love,
Moon Prytn.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro