XII ¤ The Day
Setelah kemaren sudah diadakan khitbah dan penyerahan seserahan. Hari inipun tiba waktunya. Di mana janji suci melalui ijab dan qabul akan dilangsungkan.
Rumah Abi Ridwan sudah disulap sedemikian rupa menjadi tempat pernikahan dengan sekat antara laki-laki dan perempuan. Seluruh tamu undangan sudah hadir dan duduk di bangku yang tersedia.
Laith dan rombongan keluarganya baru saja hadir dan dirinya langsung menduduki bangku dimana meja ada ditengahnya. Dengan dua orang saksi, Abi dan Fathir. Serta wali hakim (penghulu) sebagai wali nikah Humaira. Karena seluruh keluarga Humaira bukanlah seorang muslim dan tidak bisa diwalikan oleh Abi Ridwan karena tidak ada garis nasab.
Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Quran Surah At-Taubah ayat 71 yang artinya "Mukmin lelaki dan mukmin wanita, satu sama lain menjadi wali."
Ditambah dalam suatu hadist. Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wassalam bersabda :
"Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan pemerintah merupakan wali bagi orang yang tidak memiliki wali" (HR. Ahmad).
Dan di Indonesia orang yang ditunjuk sebagai wali hakim adalah penghulu atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan tempat pernikahan dilangsungkan.
Setelah acara dimulai dengan basmalah. Lalu, lantunan kitab suci Al-Quran dibaca dengan tartil oleh Muhammad Zacky Ilham, adik Zaskia.
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
وَمِنۡ اٰيٰتِهٖۤ اَنۡ خَلَقَ لَكُمۡ مِّنۡ اَنۡفُسِكُمۡ اَزۡوَاجًا لِّتَسۡكُنُوۡۤا اِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُمۡ مَّوَدَّةً وَّرَحۡمَةً ؕ اِنَّ فِىۡ ذٰ لِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوۡمٍ يَّتَفَكَّرُوۡنَ
Yang Artinya : 'Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.' (Quran Surah At-Taubah ayat 21)
صَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُ
Lalu, dimulailah acara inti.
Laith bersiap untuk menunaikan maharnya. Menghafal dan melantunkan Surat Ar-Rahmaan. Setelah ta'awudz dan basmalah, suara merdu Laith terdengar dengan tartil dan fasih.
Ar-rahmaan
'Allamal quraan
....
Tabaarakasmu rabbika dzil jalaali wal ikraam.
Shodaqallahul 'adziim.
Setelah selesai melantunkan mahar Surah Ar-Rahman, Gus Laith dengan mantap menjabat tangan Pak Penghulu.
"Bismillahirrahmanirrahiim. Uzawwijuka 'ala maa amarallaahu ta'aala bihii min imsaki bima'ruufin autasriihim bi ihsaanin. Yaa Muhammad Laith El-Farees bin Kyai Haji Khudori Ahmad Al-Fareesi ?"
"Na'am"
"Ankahtuka wa zawwajtuka makhtuubataka Aileen Grizelle Tanuwijaya binti Anthoni Tanuwijaya muwakalii bi mahri surah Ar-Rahman wa alatil 'ibadah wa mi-atu gharooma dzahabun haalan."
"Qobiltu nikahahaa wa tazwijahaa 'alal mahril madzkuuri wa radhitu bihii. Wallahul waliyyut taufiiq."
"Sah ?"
"SAH!"
"Alhamdulillah."
Doa setelah ijab qabul dipimpin oleh Pak Kyai Khudori dan diamini semua yang hadir.
🍁🍁🍁
Humaira saling menautkan tangan di pangkuan. Dia sangat deg-degan menatap layar TV yang menampilkan ruang dimana Gus Laith akan mengucapkan janji suci mereka.
"Jangan tegang gitu dong, Ra," ujar Zaskia -duduk di sebelah kiri Humaira- memecah keheningan. Humaira hanya menanggapi dengan senyum.
"Jangan diganggu adiknya, Kia. Nanti kamu juga bakal gitu waktu nikah," ucap Umi Atika yang duduk di sebelah kanan Humaira.
"Itutuh udah mau dimulai," ujar Zaskia saat melihat Laith mulai memegang pengeras suara.
Dan yang paling ditunggu-tunggu. Humaira ingin mendengar Laith saat melafadzkan kitab suci Al-Quran. Sebab itulah Humaira meminta mahar Surat Ar-Rahman. Dan ternyata, Laith seorang hafiz Al-Quran. Maa Syaa Allah.
"Maa Syaa Allah. Suara Gus Laith memang merdu, ya," ucap Umi memuji.
Humaira mengiyakan dalam hati. Sejuk rasanya mendengar lantunan kitab suci dari suara calon imamnya. Hati Humaira bergetar tak karuan, rasanya dia tak sanggup berhenti mengucap syukur. Dirinya merasa sangat beruntung, yang hanya seorang mualaf tanpa tahu agama secara dalam. Dipertemukan dan dijodohkan dengan seorang Gus Laith.
....
Tabaarakasmu rabbika dzil jalaali wal ikraam.
Shodaqallahul 'adziim.
Saat Laith memegang erat tangan sang penghulu, Humaira semakin deg-degan. Keningnya berkerut menunggu dengan gelisah. Dia menatap Laith -di layar kaca- yang sangat serius, dengan mata tajam menghunus. Tapi, Laith sangat terlihat tenang, berbanding terbalik dengan Humaira sekarang.
"Qobiltu nikahahaa wa tazwijahaa 'alal mahril madzkuuri wa radhitu bihii. Wallahul waliyyut taufiiq."
Nyess. Saat suara itu memenuhi gendang telinga Humaira. Hatinya bergemuruh dan menghentak kasar. Dan saat kata Sah terdengar keras, dia menghembuskan nafas. Humaira menahan nafasnya daritadi.
Ketiga wanita di kamar Humaira itu menengadah tangan saat berdoa.
"Ya sudah, ayo Zaskia. Kita keluar," ujar Umi Atika lalu keluar bersama Zaskia. Meninggalkan Humaira di kamar. Tak lama suara ketukan terdengar.
Tok. Tok.
Humaira semakin deg-degan. Dia tahu itu pasti Gus Laith. Suaminya. Dengan gemetar Humaira membuka pintu kamar.
Cklek.
Humaira dengan menundukkan kepala. Melihat sepatu dan celana putih bagian bawah yang dikenakan Laith.
"Assalamu'alaikum, Zaujatii," salam Laith, memandang istrinya yang menunduk dengan senyum.
"Wa-wa'alaikumussalam, Gus," jawab Humaira gugup.
Humaira sungguh cantik sekali. Dengan abaya brokat dan jilbab putihnya. Sungguh mempesona. Laith bisa melihat gurat merah di pipinya yang masih menunduk itu.
"Aku gak diijinin masuk ya ?" Tanya Gus Laith saat Humaira masih diam terpaku.
"Ah, iya. Silahkan, Gus," ujar Humaira seraya menyingkir dari depan pintu.
Laith masuk ke dalam dan memegang tangan Humaira yang masih saling terpaut. Sebelah tangan lainnya menutup pintu.
"Panggilnya jangan Gus, ya ? Kayanya lebih enak dipanggil Mas," kata Laith halus seraya mengelus tangan Humaira.
Humaira tersentak dan reflek mengangkat wajahnya. Namun, saat matanya menangkap mata tajam itu yang menatapnya dengan kerut di pinggir -menandakan sang empunya sedang tersenyum- Humaira menunduk kembali.
"I-iya, Gus. Eh anu, maksudnya eum-Mas" ujar Humaira semakin gugup. Laith terkekeh mendengarnya.
"Sini," ajak Laith seraya menggandeng tangan Humaira.
Laith dudukkan Humaira di bibir tempat tidur. Meletakkan kertas yang ia bawa di atas nakas. Dirinya duduk di samping Humaira, mengangkat wajah sang istri dan mendekat untuk mengelus dan mencium ubun-ubun istrinya.
"Allahumma inni as'aluka khairahaa wa khairamaa jabalat haa 'alaihi wa a'udzubika min syarrihaa wa syarri maa jabalat haa 'alaiih.
Ya Allah, aku meminta kepada-Mu kebaikan istriku dan kebaikan apa yang ia munculkan pada pernikahan. Dan aku berlindung padamu dari keburukan istriku dan keburukan apa yang ia munculkan pada perrnikahan. Aamiin."
Humaira menengadah tangan lalu mengaminkan saat Laith membaca doa. Dilihatnya Laith mengambil segelas susu yang tadi dibawakan Umi tadi.
"Ini minum dulu," ujar Laith memberikan gelas itu ke Humaira. Humaira meneguk tiga kali dan memberikan sisanya ke Laith. Laith menerima dan meminum di tempat yang sama Humaira minum. Hingga tandas.
"Kenapa ? Gugup ya ?" Tanya Laith saat tak sengaja matanya menangkap Humaira mencuri pandang saat dirinya meletakkan gelas. Humaira mengangguk.
"Sama, aku juga," ucap Laith.
Humaira menengadah, menatap Laith tak percaya.
"Gak gugup gitu kok," ujar polos Humaira.
"Gugup beneran. Sini," ujar Laith seraya membawa tangan Humaira ke dadanya. Detak jantung yang keras itu menyambut tangan istrinya.
"Ehem. Ish apaan si, Mas. Malu," ucap Humaira menunduk saat tangannya menyentuh dada Laith. Berusaha melepas tapi digenggam erat tangan Laith.
Laith terkekeh, lalu memasang cincin ke jari manis tangan Humaira yang ia pegang. Cantik sekali.
Humaira melakukan hal yang sama, memasang cincin ke jari Laith dengan gugup. Untung cincinnya tidak jatuh, tangannya sudah tremor padahal.
"Kamu lucu banget, sih. Sini peluk dulu," ujar Laith seraya menarik tangan Humaira agar badan mereka berdekatan.
Humaira langsung memberontak. Benar-benar sekarang dadanya akan pecah. Suaminya ini suka tiba-tiba membuat jantungan.
"Sstt. Nikmati aja. Udah halal ini," ucap Laith. Humaira menyerah dan berhenti menberontak. Terdiam dan menghirup aroma yang sama saat pertama kali bertemu. aroma woody rempah-rempah yang menyegarkan.
"Humaira. Gak nyangka ya. Awalnya kita gak saling mengenal. Tapi, saat tak sengaja menatapmu bermunajat dengan derai air mata di depan Ka'bah membuat hati ini seketika berdesir. Lalu, pertemuan demi pertemuan tak sengaja terjadi. Aku yang melihatmu dan rombongan di bukit Sofa. Aku tak sengaja memotretmu di jabal rahmah. Melihat kamu menggendong anak kecil yang menabrakmu. Terus, kamu yang menolongku di restoran. Lalu, kita berkenalan secara resmi. Aku gak nyangka ternyata kamu cucu Mr. Georgio De Luca. Terakhir dan paling mengagetkan. Kamu berada di sini sebagai anak angkat Abi dan Umi. Apa ini suatu kebetulan, Ra ? Atau memang takdir ?" Tanya Laith
Humaira sudah mengangkat kepalanya saat cerita Laith sampai pada scene Jabal Rahmah. Humaira mengernyit dan tak menyangka. Ternyata, Laith jauh lebih dulu tak sengaja melihat dirinya.
"Ini kehendak Allah Subhanahu wa Ta'alaa, Mas. Sejak awal menatap mata tajam Mas itu. Ai sudah jatuh hati. Tapi, Ai tidak mau berharap karena takutnya Mas orang tak tergapai. Lalu, satu hari itu sungguh lebih membahagiakan. Ai berkenalan dengan Mas, memenangkan suara untuk A Corp, dan bertemu Mas di Ndalem. Ai percaya bahwa Mas adalah imam yang Allah berikan kepada Ai. Terima kasih sudah ikhlas menerima Ai dengan segala kekurangan ini, belum bisa menjadi wanita muslimah yang shalehah. Ai masih belajar agar pantas menjadi pendamping Mas. Ajarin Ai jadi seorang istri dan muslimah yang baik ya, Mas," ujar Humaira menatap mata tajam Laith. Menyentuh bawah mata Laith saat berkata tentang mata tajam itu.
"Na'am, Zaujatii. Ana uhibbuki fillah," sahut Laith seraya mencium kening istrinya.
"Ana uhibbuka fillah, Yaa Zaujii" jawab Humaira malu-malu.
Laith terkekeh melihat rona merah di pipi istrinya. Tak tahan. Laith mencium kedua pipi merah itu satu persatu. Humaira terkejut dan langsung menolehkan wajah. Malu menatap mata Laith.
"Eum. Mas. Itu surat nikah kan ? Gak ditandatangani ?" Tanya Humaira saat menatap atas nakas.
"Iya, tanda tangan," ujar Laith. Namun, malah mengeratkan pelukan mereka.
"Kalo tanda tangan kenapa malah meluknya makin kenceng ? Bukannya dilepasin," ujar Humaira cemberut.
Laith terkekeh dan melepaskan Humaira. Menatap wajah cemberut istrinya. Tak tahan, Laith mencium pipi Humaira. Lagi.
Blush.
Langsung memerah pipi itu. Merona. Benar-benar khas Humaira.
"I love your blushing cheeks, Humaira," ucap Laith.
Humaira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan tangan. Malu.
"Sudaah. Jangan goda lagii. Katanya mau tanda tangan," rengek Humaira.
Laith tertawa dan mengagguk, "iya, iya."
Sungguh. Pernikahan menghangatkan hati keduanya. Laith dan Humaira sama-sama merasakan perasaan jatuh dan terbang secara bersamaan.
Semoga Allah meridloi mahligai pernikahan mereka. Semoga apapun masalah yang akan mereka hadapi, dapat terselesaikan dengan baik. Semoga cinta mereka abadi hingga surga nanti. Aamiin.
🍁To be Continued🍁
|Tandai kalo ada typo atau kesalahan dalam informasi ya, Guys|
Sending a lot of loves ❤️💌❤️
Jangan lupa tinggalkan jejak 🐾
(Vote, comment, and share)
Best regard,
Moon Prytn.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro