Cerita 4
Nat membolak-balik halaman buku di pangkuannya. Matanya memang berada di obyek buku tapi siapapun bisa melihat jelas bahwa fokus gadis berambut pirang itu tak berada di bukunya.
Pikiran Nat memang mengembara ke mana-mana. Ke rumahnya yang sepertinya memerlukan perbaikan sistem pemanas karena saat musim dingin terakhir Nat masih merasakan tubuhnya menggigil menahan hawa dingin yang masuk. Lalu beralih pada libur musim panasnya yang sebentar lagi akan tiba, dia sudah membayangkan saldo di rekeningnya akan membengkak parah seiring orang-orang yang bersedia menghabiskan banyak uang demi berbelanja di tokonya. Dan terakhir, pikirannya melayang pada peristiwa semalam.
Suatu kebetulankah jika lelaki yang menjadi targetnya adalah seorang pengacara?
Nat masih ingat betapa kagetnya dia mengetahui profesi Daniel yang seorang pengacara di firma hukum terkenal seantero Inggris. Apalagi saat Daniel menceritakan beberapa kasus yang pernah ditanganinya. Kasus-kasus yang sering membuatnya harus melakukan perjalanan ke luar negeri. Hebatnya lagi, semua kesuksesan karier itu dicapai Daniel di usia yang masih sangat muda.
Yang otomatis memunculkan rasa minder di hati Nat. Di usia 21 Daniel sudah menyelesaikan program pasca sarjananya, sementara di usia yang sama Nat masih tertatih-tatih menyelesaikan program sarjana.
Gwen yang sama-sama duduk di deret meja perpustakaan menyenggol lengan Nat pelan. Gadis itu berbicara sangat pelan, nyaris tak kedengaran. Gwen tak ingin terpergok petugas perpustakaan yang galaknya setara tukang tagih hutang kartu kredit.
"Sst... Nat?"
Nat melirik Gwen tanpa menghadapkan mukanya ke sang sahabat.
"Ada apa?" Nat balas berbisik.
"Kenapa kamu bengong?"
"Aku sedang memikirkan sesuatu."
"Apa itu?"
"Kemarin Sam datang ke rumah."
"APA?!"
"Sssssttt...!!!"
Gwen langsung membungkam mulut dengan telapak tangan. Dia sukses mendapat pelototan galak dari setengah lusin orang yang duduk semeja dengannya. Gwen nyengir lebar. Tanpa meminta maaf, dia segera menarik Nat keluar perpustakaan.
"Hei, Gwen..." Nat berseru tertahan, "... aku harus belajar, tahu!"
"Belajar di luar saja," Gwen menarik-narik tangan Nat.
Terburu-buru gadis pirang itu membereskan buku-bukunya yang berserak di atas meja dan mengekor Gwen. Mereka berjalan cepat keluar gedung. Lebih tepatnya Gwen yang setengah menyeret Nat hingga membuat sahabatnya pontang-panting mengikuti.
Langkah mereka baru berhenti saat mereka tiba di halaman perpustakaan. Pagi menjelang siang cuaca tak terlalu terik. Gwen duduk di undakan tangga tanpa takut bokong mereka terbakas panas dan memaksa Nat mengikutinya. Suasana di luar gedung perpustakaan cukup ramai, Gwen jadi tak perlu merasa bersalah saat harus berbicara dengan volume ekstra.
"Kenapa kamu tidak bilang jika Sam datang ke rumah?" tuntut Gwen.
Nat meringis, "Aku mau bilang padamu. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Tapi ada komplikasi."
"Komplikasi apa?" Gwen terus mendesak.
Nat membuang pandangan, tak berani menatap Gwen. Sementara Gwen makin tak sabar. Jarinya terulur mencubit pinggang Nat.
"Aduh.. aduh.. sakit, Gwen," Nat menggeliat berusaha melepaskan diri dari cubitan Gwen.
"Biar saja! Itu hukumannya karena kamu menyembunyikan sesuatu dariku," Gwen sewot.
"Astaga, tidak Nona Manis. Aku baru mau cerita padamu tapi kita sedang di perpustakaan," Nat membela diri. Itu setengah betul, mereka memang sedang ada di perpustakaan yang termasuk daerah terlarang keras bagi para penggosip. Setengahnya lagi, well, Nat masih memikirkan sosok Daniel yang mempesona dirinya.
"Nah, kamu bisa bercerita sekarang karena kita sudah di luar area demiliterisasi suara."
Nat menghembuskan napas panjang. Kepalanya tolah-toleh, memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka. Sepertinya aman karena orang-orang kelewat sibuk dengan urusan masing-masing.
"Kamu ingat Daniel?"
Gwen mengangguk cepat, "Tentu saja! Baru kemarin kamu jadi orang tolol sedunia dengan main tempel bibir orang sembarangan."
"Hush, pelankan suaramu.." Nat panik, ".. semalam dia menyelamatkanku dari Sam."
Hening.
Gwen memandangi Nat lekat-lekat dengan sorot identik makhluk bumi yang tengah melihat alien tersasar. Aneh. Bahkan otak cerdas Gwen perlu waktu sepersekian detik untuk menelaah kalimat Nat. Sahabatnya sendiri. Gadis yang sudah sangat lama dikenalnya luar dan dalam.
"Nat?"
"Ya, Gwen?"
"Apa kemarin Sam mendesakmu lagi?"
"Eh, apa?"
"Apa kemarin kalian berkelahi dan dia membenturkan kepalamu ke tembok?"
Nat terperangah. Tak menyangka sahabatnya sendiri akan meragukannya.
"Inilah kenapa aku ragu bercerita padamu.." Nat melengos, ".. kamu pasti tak akan bisa percaya padaku."
Gwen serta-merta memeluk tubuh semampai Nat. Hidungnya mengendus-endus bahu Nat, area favorit Gwen tiap dia bermanja pada sahabatnya. Bagi Gwen, Nat yang sebatang kara adalah saudarinya yang menghilang dan dikembalikan oleh Tuhan tanpa pertalian darah. Kesedihan Nat otomatis jadi kesedihan Gwen, sebaliknya kebahagiaan Nat juga menjadi milik Gwen. Namun, untuk hal ketololan Gwen tak mau ikut-ikutan.
"Aku bukannya tidak percaya. Tapi, coba bayangkan. Bagaimana bisa Daniel secara ajaib muncul di rumahmu dan menghalau si hama Samuel?"
Nat terkikik geli. Si hama Samuel adalah salah satu julukan favorit Gwen untuk pamannya. Ada alasan khusus hingga gadis itu memberi julukan berkonotasi negatif pada paman Nat. Semuanya berawal dari beberapa tahun silam, saat sebuah fakta mengejutkan terungkap pasca kematian orang tua Nat.
"Percayalah, dia memang muncul di rumahku," Nat tak sadar mengulas senyum.
Jika tak mengenal Nat dengan baik, Gwen pasti sudah mengira sahabatnya ini sedang jatuh cinta. Binar di matanya dan wajah yang berseri-seri nyaris melenakan ingatan Gwen. Tapi dia tahu pasti Nat tidak jatuh cinta dengan Daniel. Itu pasti efek dari sindrom korban diselamatkan sang pahlawan yang muncul di wajah Nat.
"Ceritakan padaku," perintah Gwen.
Lalu mengalirlah dari mulut Nat kronologi kejadian semalam. Saat Samuel mendadak muncul di depannya dan memaksa masuk ke dalam rumah, lalu Daniel datang tiba-tiba bersandiwara seolah-olah dia adalah pacar Nat, yang secara efektif membuat Samuel hengkang dari rumah Nat. Lalu pertemuan dramatis itu dilanjutkan dengan makan malam romantis dan obrolan santai bak sepasang kekasih.
Nat sengaja menghilangkan bagian ciuman mereka yang bergairah. Meskipun rona yang muncul di pipinya membuat Gwen curiga. Gwen cukup tahu diri untuk tidak mengorek informasi intim yang tak perlu dia tahu. Fakta bahwa Samuel masih berani muncul di rumah Nat saja sudah membuatnya kaget bukan kepalang.
"Seharusnya kamu melaporkan pria tua itu ke polisi," Gwen menggerutu.
"Yang kamu sebut pria tua itu adalah pamanku, Gwen. Adik dari ayahku. Aku tak mau menciptakan skandal keluarga yang menghebohkan."
"Seolah kamu belum melakukannya saja," cibir Gwen.
Wajah Nat memerah. Dia tak bisa menampik cibiran Gwen karena gadis itu benar adanya. Beberapa waktu silam dia memang hampir saja membawa skandal keluarga ke ranah hukum, meskipun akhirnya Nat pilih berdamai dengan keadaan daripada sibuk berkonfrontasi terus-menerus dengan kelakuan pamannya.
"Jadi, si Daniel berhasil menghalau tua bangka itu?" Gwen - seolah mengerti sensitivitas topik pembicaraan jika sudah menyangkut Samuel - dengan cepat mengalihkan pembicaraan.
"Ya, dengan sangat mulus," Nat mengangguk gembira.
"Kamu sepertinya sangat senang," Gwen mengamati Nat lekat-lekat.
"Tentu saja aku senang.." Nat membeo Gwen, ".. baru kali ini ada yang bersedia menolongku mengusir Sam dengan sangat sukses. Dia benar-benar malaikat penolongku."
Gwen melongo. Sosok di sampingnya mendadak terasa asing. Mata Nat yang berbinar-binar memunculkan percik gelisah di hati Gwen. Dia tak mau Nat terluka tapi sepertinya sang sahabat justru mencoba bermain pisau yang akan melukai hatinya.
Mendadak Gwen diserang rasa sebal pada Daniel. Seharusnya kemarin dia tidak menyetujui ide gila Nat untuk menjadikan lelaki itu targetnya. Nat kan, secara praktis belum pernah mengenal dunia kencan, dan kemunculan Daniel yang begitu mendadak di rumah Nat tak urung memancing rasa curiga Gwen.
"Nat, dia bukan malaikat penolongmu. Kamu baru berkenalan dengannya, jangan kelewat cepat memutuskan sesuatu," tegur Gwen.
"Tapi dia memang sangat menolongku, Gwen," protes Nat.
"Kamu tidak curiga kenapa dia tiba-tiba muncul di rumahmu?" Gwen berusaha mengendalikan kewarasan otak Nat.
"Dia bilang sedang mencari makan malam dan kebetulan lewat depan rumah."
Gwen tersenyum sinis, "Hah, sudah bisa ditebak. Itu kebetulan yang terlalu kebetulan. Dia pasti sudah merencanakan semua ini."
Nat berusaha mengatakan sesuatu. Semacam penolakan untuk tuduhan Gwen pada Danielnya yang baik hati. Tapi Nat cukup bijak untuk tidak memancing kemarahan Gwen, tidak saat sahabatnya itu nampak siaga penuh, siap melontarkan amunisi kata-kata pedas yang bisa merontokkan ucapan defensif Nat.
"Kamu mencurigai Daniel?" akhirnya kalimat itu yang terucap.
"Tentu saja," Gwen menjawab dengan nada getas, "Itu terlalu sempurna. Bertindak menjadi pahlawan untuk seorang gadis yang membutuhkan pertolongan. Ayolah, Nat, apa kamu tidak bertanya-tanya kenapa dia harus jauh-jauh mencari makan malam hingga Bloomsbury saat dia bisa mendapatkannya dengan mudah di London?"
"Pergantian suasana mungkin?" Nat mencoba bercanda.
Nihil. Gwen masih tetap kukuh pada opininya tentang Daniel. Nat menghembuskan napas panjang.
"Apa yang ingin kamu katakan sebenarnya, Gwen?"
Entah mengapa topik tentang Samuel datang ke rumah bisa berganti sangat cepat menjadi usaha mengenyahkan Daniel. Jujur saja Nat tak suka itu. Seharusnya yang dienyahkan kan, Samuel, bukan Danielnya yang baik hati. Lagipula kenapa Gwen mendadak begitu pencuriga pada Daniel, sih? Tampang lelaki itu kan, termasuk kategori lelaki baik-baik. Fobia Gwen pada Daniel sangat tak pada tempatnya.
"Daniel sedang mencoba merayumu."
Nat terbelalak. Dipelototinya Gwen, dia terperangah nyaris tak percaya Gwen mampu membuat tuduhan sekeji itu pada seorang lelaki yang baik hati.
"Yang benar saja?!" gerutu Nat.
Gwen tak mau kalah, "Coba bayangkan, Nat! Kemarin kita berdua yakin sekali bahwa Daniel adalah sosok lelaki yang mapan."
Nat mengangguk setuju tapi dia masih menyembunyikan fakta bahwa Daniel terlampau mapan dibanding perkiraan mereka berdua. Dia sudah menjelajah dunia maya dan menemukan fakta tentang firma tempat Daniel bekerja, bahkan sudah berhasil mendapatkan cukup banyak informasi tentang Daniel Pozzi di sana.
"Nah, lelaki mapan macam itu adalah sebuah tangkapan yang bagus untuk semua wanita, kecuali aku tentu saja karena aku tak tertarik pada Daniel."
"Gwen, jangan bertele-tele. Kamu mau ngomong apa, sih?" Nat mulai jengkel.
"Dia merayumu, Nat," Gwen berkata gusar, "Dia pasti sudah merencanakan semuanya. Datang padamu di detik-detik penuh ketegangan, berlagak jadi pahlawan, semuanya untuk merebut hatimu. Agar kamu jatuh ke pelukannya."
Nat terperangah. Dia bergidik jijik memandangi Gwen. Gelengan kepala Nat sangat mencerminkan isi pikirannya sekarang. Nat mendesis kesal.
"Aku sama sekali tak mengira kamu berpikiran sepicik itu tentang Daniel," Nat meradang.
"Nat..."
"Jangan berani-beraninya kamu menuduh Daniel sejahat itu," telunjuk Nat terangkat tinggi, terarah lurus ke wajah Gwen, "Bagaimana mungkin dia merencanakan semuanya sedetail itu, hah? Kamu pikir Daniel bersekongkol dengan Sam untuk melakukan semuanya padaku? Asal kamu tahu saja, Gwen. Itu bukan tipikal Sam mau bekerja sama untuk memberikan aku pada orang lain. Sam terlalu culas untuk melakukan tindakan heroik macam itu."
Dada Nat naik-turun dengan cepat. Wajahnya memerah pertanda emosi tengah memuncak. Tak ada senyum di wajah cantik itu. Sebagai gantinya, sorot penuh ketegangan muncul dari sepasang hazel milik Nat. Menghunjam lurus menggetarkan hati Gwen.
Dan Gwen.... gadis itu terhenyak di tempatnya. Tak menyangka jika Nat akan membela membabi-buta seorang lelaki yang praktis baru dikenalnya sehari. Baru kali ini dia mendapat serangan ketus dari Nat, sahabatnya yang notabene terkenal halus dan lembut.
Gwen menelan ludah. Sepertinya dia sudah melanggar batas privasi yang ditetapkan sepasang sahabat. Gwen hafal jika Nat sangat menghargai pemilikan zona pribadi, prinsip itulah yang membuatnya relatif sulit membuka tangan untuk menerima bantuan Gwen dan keluarganya. Prinsip yang selama ini sangat dikagumi oleh Gwen karena erat kaitannya dengan nilai kemandirian dan harga diri. Namun, melihat Nat mempertahankan benteng pertahanannya dari tuduhan omong kosong Gwen membuat Gwen mau tak mau memikirkan ulang penilaiannya tentang Daniel.
Seharusnya dia, sebagai sahabat sekaligus saudari tanpa hubungan darah dengan Nat, mendukung gadis itu seribu persen. Toh, Daniel juga belum terbukti melakukan tindakan negatif apapun pada Nat. Tapi Gwen terlalu takut jika Nat disakiti. Hidup Nat sudah sangat menderita tanpa harus ditambah penderitaan lagi dari seorang pendatang baru.
"Nat, aku..." lidah Gwen kelu.
Sebelum dia sempat meneruskan ucapannya, Nat sudah memotong cepat.
"Satu lagi, Callista Gwen Burton. Daniel bukan orang sembarangan. Dia seorang pengacara. Menurutmu, siapa lagi yang sangat bisa kuandalkan menghadapi Sam jika bukan dia?"
Kali ini Gwen kaget berat. Daniel seorang pengacara? Ini fakta yang sangat mencengangkan. Menilik dari reaksi sahabatnya, Daniel pasti bukan pengacara sembarangan.
"Oke, oke, aku minta maaf," Gwen menarik napas panjang. Dia benar-benar tulus memohon maaf pada Nat.
"Aku hanya tak ingin kamu terluka, Nat," jujur Gwen.
Nat merangkul bahu Gwen. Jemarinya mengusap lembut punggung gadis cantik itu. Dia tahu benar kecemasan Gwen padanya dan tak menyalahkan gadis itu jika bertindak protektif. Faktanya memang dirinya dan Daniel terbilang masih sangat baru berkenalan. Ditambah Gwen yang masuk golongan konservatif, sedikit sulit bagi sahabatnya itu untuk mempercayai orang baru.
Namun, Nat optimis Daniel bisa dipercaya. Daniel bersikap begitu baik padanya semalam. Bahkan lelaki itu bersedia menemaninya hingga tertidur dan memastikan Samuel tak kembali ke rumah, sebelum dia sendiri meninggalkan Nat.
"Jangan menuduhnya yang tidak baik," Nat setengah memohon.
Gwen mengangguk. Mulutnya mengunci senyum tapi tidak hatinya. Meskipun dia tulus meminta maaf, tapi Gwen masih bertekat mencari identitas sebenarnya - sekaligus kebusukan lelaki itu - dari seorang Daniel. Jika lelaki itu sampai bersikap buruk pada sahabatnya, Gwen bersumpah akan mencincang habis-habisan Daniel, menaburkan cincangannya ke Sungai Thames, tak peduli jika lelaki itu seorang pengacara tenar sekalipun.
"Jadi, bagaimana selanjutnya?" Gwen mengalihkan topik pembicaraan.
"Well, yah, dia cukup baik. Semalam dia pulang dan meninggalkan pesan romantis untukku."
"Apa pesannya?"
"Dia akan membawakan sekeranjang sayur segar."
"Hah?!"
~~oOo~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro