Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 5

.
.
.

Membosankan untuk menghabiskan waktu berada di sini berdua dengan seseorang yang bahkan baru saja kutemui tadi. Tetapi, aku tidak punya pilihan lain. Sosokku kini duduk dengan tangan memeluk kedua kaki yang ditekuk, melemparkan perhatian sepenuhnya pada kegiatan di hadapanku. Iris ungu yang menyala dengan terang tatkala ia melayangkan tembakan panahnya pada seekor rusa. Tak hanya sekali, dua kali, tetapi mata tajam itu selalu menampakkan kilauan khasnya tiap saat menembakkan panah.

Napasku tertahan tatkala para hewan tersebut telah terbunuh. Meski ia melakukannya tepat langsung pada bagian vital. Mungkin, ia lakukan agar mereka tidak mati kesakitan. Cukup mengejutkan, namun tidak membuatku begitu shock mengingat seseorang pernah menyebutkan mengenai kekuatan. Yah, hanya dugaanku saja.

"Apa setelah menerima role, kau akan mendapatkan kekuatan?" gumamku, penasaran.

Alexander menghentikan kegiatannya, melirik sejenak, lalu mengembuskan napas. Ia melangkah mendekat, membuatku sedikit panik. Apa barusan ia mendengar gumamanku? Seharusnya tidak mungkin, jaraknya cukup jauh untuk dapat didengar dengan telinga manusia.

"Kau benar. Role-ku di sini sebagai Tiger Lily dan Lav adalah Mermaid. Kau perlu berhati-hati untuk tidak membuat Lav marah. Dia bisa menenggelamkanmu kalau tengah dipenuhi emosinya," ujar Alexander serius. Raut wajahnya sedikit pucat, dengan keringat dingin yang lolos dari dahinya. Setelah mengatakan hal tersebut, ia menegak salivanya sendiri dan membuang wajah ke arah lain. Kemudian melanjutkan, "kau tidak perlu takut. Dia orang yang baik, kok. Tak ... seperti aku."

Ia ... takut pada kembarannya sendiri?

Aku bertaruh, dia pasti hampir pernah ditenggelamkan.

Jika boleh jujur, aku tidak perlu tahu mengenai hal itu. Hanya saja, emosi seseorang cenderung mempengaruhi diriku juga kala bersama. Karena itulah, kondisinya kini menular padaku. Lagipula, kenapa malah menjelekkan dirinya sendiri begitu?

"Hei, Alexander, apa tidak masalah kalau kau membeberkan mengenai hal itu padaku?"

Alexander memutar irisnya, menyilangkan kedua tangannya di depan dada setelah membuang busur di tanah. Ia membalas, "Alfred kemungkinan besar akan marah padaku. Apalagi, sepertinya dia tidak menyukaimu, ya? Apa yang kau lakukan hingga ia seperti itu? Well, aku tidak begitu peduli tentang dia. Bu-bukannya aku ingin membantumu merasa nyaman dalam beradaptasi di sini."

Jadi benar, orang ini punya hati yang lembut.

Caranya dalam mengekspresikan diri ini perlu diperbaiki. Lantas, aku menyipitkan mata, menyelidik dari atas helaian rambut hingga ujung kakinya. Hal ini membuat pemuda berambut oranye tersebut gelagapan dipenuhi oleh rona merah di pipi putihnya.

"Soal Alfred, aku tidak tahu. Tapi, semenjak aku datang ke sini, sepertinya ia sangat sensitif padaku. Kurang lebih, kami tidak bisa berteman dengan baik," ketusku.

Entah kenapa, rasanya aku bisa mengeluarkan isi hatiku bersama Alexander ketimbang dengan penghuni di sini yang gemar tersenyum. Meski, ingin kulantangkan pada pemuda di hadapanku bahwa sosok pirang tersebut bermuka dua. Tetapi, kuurungkan, demi menjaga keamananku sendiri. Meski nyaman sesaat, tidak menutup kemungkinan Alexander bisa membocorkan informasiku kepadanya.

"Oh ya, benar tidak kalau Millie langsung menyetujui ajakan Arvy ke Amittere?" tanya Alexander, mengerjapkan matanya, mulai menyibukkan diri lagi sembari menggenggam busurnya. Iris ungu itu mengedarkan pandangan ke padang hijau lalu ke arah hutan.

Aku tak menjawab, memikirkan pertanyaan itu. Ia sudah tahu sejauh itu? Sejak kapan mereka bertukar cerita? Benar, Millie tanpa memberikan waktu untuk berpikir mengenai tawaran Arvy, sontak saja menyetujui. Apa karena tekad yang ia miliki sebegitu bulatnya jika menyangkut kenyamanan Kelvin? Maroon bersaudara yang bersikap tulus satu sama lain terkadang membuatku iri.

Perasaan bersalah kembali meluap karena telah menarik mereka di dunia ini.

Juga, mengapa Normand tidak mengenali sang pembuat permohonan? Jika memang benar, ia memanglah penyihir, seharusnya ... ia tahu kalau hanya aku lah yang perlu diajak ke dunia ini. Mendecak sebal, aku menunduk seraya memainkan tangan guna menyibukkan diri. Toh, Maroon bersaudara lah yang menerima tawaran itu sendiri. Sekali lagi, aku meyakinkan diri.

Rangkaian kata demi kata, kalimat dan kalimat, seluruh monolog dalam kepala ini dapat membuatku gila. Manusia memang sangat rumit.

Sepertinya, aku perlu mencari angin segar saat ini. Dengan Alexander yang masih sibuk mencari bahan makan malam, berjalan-jalan sejenak tidak akan menjadi masalah, bukan?

Dipikir lagi, peranku bersama mereka tidak penting. Tak mendapatkan peran apa-apa, tentunya tidak akan membuat para Rubber begitu peduli kalau aku hilang sebentar atau bagaimana. Toh, aku tidak akan jauh dari sini hingga Arvy dan yang lainnya pulang dalam mengenalkan Amittere. Lagipula, aku buta arah. Meski ingin segera mencari tujuanku, akan merepotkan bila aku beneran menghilang dan tidak punya tempat untuk berteduh.

Ingat, ini adalah dunia yang tak kuketahui sama sekali informasinya.

Maka, kakiku melangkah, menjauhi pohon besar yang merangkap sebagai markas mereka dan padang rumput tersebut. Hutan yang rindang adalah tujuan utamaku dalam mencari ketenangan. Biasanya, aku menemukan tumbuhan dan hewan yang menarik perhatianku. Karena aku kesusahan dalam membuka diri pada sesama manusia, maka makhluk lain lah yang memainkan peran ini.

Mengobrol dengan hewan tidak akan membuatmu gila, bukan?

Manusia 'kan juga sama-sama hewan, hehe.

Srak ...

Aku menoleh, mencoba memberi perhatian pada semak-semak yang mengeluarkan bunyi tersebut. Harus berhati-hati, tidak akan ada yang tahu apa yang bersembunyi di balik tumbuhan hijau tersebut. Namun, beberapa menit setelahnya, kecurigaanku hanyalah sebuah perasaan sia-sia saja saat kelinci berwarna putih keluar dari sana. Senyuman manis aku ulas, mendapati hewan kesukaanku.

Hewan kecil dengan mata merah itu melompat ke arahku, diikuti oleh beberapa jenis yang lain. Padahal, kelinci adalah makhluk penakut, namun kenapa malah mendekatiku seperti ini?

Bruk!

"Ah!" seruku, panik.

Punggungku menabrak sesuatu, entah apa itu, membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Aku mengaduh kesakitan, menekuk wajah. Rasanya kesal, tetapi aku harus segera melihat wajah pelaku. Harum mint menguar dari balik belakang. Lantas, membuatku menengadah.

Helaian rambut berantakan dengan warna seperti almond, iris absinthe yang nampak kusam, terdapat kantung mata yang hitam, telinga panjang, serta wajah putih mulus dan pucat bagai telah lama tak pernah tidur. Ekspresinya sedikit khawatir dan tidak enak, tangannya terulur. Suaranya yang serak terdengar di telingaku, "Maaf, aku tidak sengaja. Apa kamu baik-baik saja?"

"Uh, ya. Aku juga minta maaf karena tidak melihat."

Ia mengerjap saat aku menerima uluran tangannya, lalu melepasnya. Begitu pula aku yang mengedipkan kelopak mata tatkala melihat penampilannya yang hanya dengan sehelai kain hitam dan dipenuhi debu.

"Jadi, kamu ... anak baru lagi, ya."

"Huh?"

"Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya ... berbicara pada diriku sendiri," ujarnya datar dengan tatapan kosong. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, perlahan. Lalu, kembali mengangkat suara, "aku datang ke sini karena mencium harum hutan yang manis. Rupanya, itu bersumber dari kamu, ya."

"Eh?"

Aku membeo, kebingungan. Lantas, aku mencoba mencium bajuku, bagian kanan dan kiri untuk mengecek apakah aku menguarkan bau seperti yang dikatakannya. Namun, tak ada bau khas, tak tercium harum manis sama sekali. Lagipula, harum hutan manis yang seperti apa, sih? Aku memicingkan mata, sedikit curiga. Apa dia juga salah satu anggota Rubber? Atau malah kubu lain, seperti Alvis? Untuk saat ini, ada baiknya tidak berurusan dengan Alvis kalau ingin nyawaku selamat.

Menyadari tingkahku yang mulai was-was, ia melangkah mundur dengan tangan yang terangkat setinggi dadanya. Wajahnya datar, sama seperti sebelumnya. Ia pun memperkenalkan diri, "Namaku March Snowden. Bisa dibilang, aku adalah pemilik hutan. Jadi, kamu tak perlu takut kalau ada hewan yang akan menyerangmu. Aku akan menegur mereka dengan baik. Dan ... mereka, akan kuperingatkan agar tidak mengejutkanmu lagi."

Ia melirik pada para kelinci yang sibuk bermain di dekat kakiku.

Mendengar ucapannya, sontak saja wajahku pucat pasi, badanku bergetar. Aku bukannya takut hantu! Hanya saja, sosok di hadapanku ini terasa berbeda, berat. Mengikuti gaya bicaranya yang terlalu formal, pertanyaan kulontarkan padanya, "Uhm, apa ... kamu adalah hantu yang menjaga hutan ini?"

"Ah." March mengerjap, memiringkan kepalanya, memasang pose berpikir.

"Dibilang hantu, tidak juga. Apa kamu tahu tentang spirit? Aku adalah sosok yang menjaga seluruh hutan di dunia ini. Kebetulan, hutan menyukai keberadaanmu. Karena itulah, aku mencoba mengecek langsung. Tak kusangka, berasal dari anak yang direkrut oleh kubu merah."

Aku menatapnya kikuk, "Jadi, March sama saja dengan hantu."

"Kalau kamu ingin menyebutnya begitu, tidak masalah. Meskipun, spirit sebenarnya sejenis dengan elf dan peri."

Ada yang seperti itu di dunia ini?

Aku mengerutkan dahi, merenggut, semakin waspada. Susah untuk membaca emosinya, wajah yang datar itu membuatku kesulitan menangkap maksud tindakan dan perkataan. Ekspresinya nihil sama sekali tidak berubah, begitu pula jarak yang ia buat. Ia tidak bergerak dari tempatnya. Tetapi, dalam beberapa detik setelahnya, ia mengucapkan sesuatu yang tak kumengerti, membuat penampilan March berubah.

Yah, wajahnya masihlah sama.

Telinga yang tak lagi panjang, kameja berwarna putih, jas dan celana hitam. Ia juga kini memakai sepatu. Ia kembali bertanya, "Apa seperti ini sudah tidak terlalu membuatmu takut?"

Tidak sopan kalau aku terus-terusan mencurigainya sementara ia berusaha keras untuk mengenalku, bahkan sampai mengubah penampilan. Lantas, kakiku kembali melangkah, berjalan ke depannya. Entah apa yang membuatku begitu percaya, tetapi aku yakin kalau sosoknya adalah sesuatu yang baik. Jika memang jahat, sudah dari awal ia akan menerkamku, bukan?

"Namaku Emily Watson, salam kenal, March," salamku dengan senyuman yang bertengger di wajah. Membuat ia mengangguk. Lalu, membalikkan badan seraya berjalan masuk ke dalam hutan, meminta diriku untuk mengikutinya

"Senang mendengarmu memperkenalkan diri. Ah iya, apa kamu datang ke sini untuk bermain lagi denganku?"

"Lagi?"

Tapi, ini pertama kali kita bertemu ...

"Ah, kau benar. Sepertinya, aku salah mengingatmu sebagai orang yang sama dengan dulu yang bermain denganku. Maafkan aku. Di hutan ini, ada banyak yang berkunjung. Tetapi, aku selalu tidak bisa mengingat siapa saja mereka," ujarnya sembari menatap lurus pada pepohonan yang mengitari sekitar kami. Iris absinthe itu kosong, tak mempunyai cahaya sama sekali. Lalu, perhatiannya kembali terarah padaku, "anehnya, aku bisa mengingat beberapa dari mereka yang tak pernah bermain denganku. Seperti kubu merah yang bersamamu sekarang."

"Oh, Rubber, ya. Sedikit tambahan, March tidak perlu meminta maaf padaku hanya karena ingatanmu tak terlalu kuat! Aku pun sama, kok, hehe."

"Hm, terimakasih. Nanti, kalau kamu kembali ke sana, bilang pada Tiger Lily untuk tidak terlalu banyak memburu. Ah, tapi jangan beritahu keberadaanku. Aku tidak begitu suka untuk diketahui oleh orang-orang yang tak memiliki aroma alam. Terlebih lagi yang busuk seperti mereka."

"Iya ... akan kuberitahu Alexander, mengenai itu"

Busuk? March bisa berkata kasar juga ternyata. Mungkin, March tidak pandai mengekspresikan amarahnya pada orang-orang yang berlebihan memakai alam. Bagaimana pun, ia adalah penjaga hutan. Rasanya seperti tengah dimarahi oleh Ibu seseorang.

Kami kembali terdiam, canggung. Aku tidak tahu apa yang harus kubicarakan pada sosok penuh misterius dengan penuh keheningan di hadapanku ini. Beberapa menit kami mengikuti arus ketenangan ini, hingga sampai pada sebuah pohon oak yang cukup besar. Di sekitarnya, terdapat bunga forget me not yang bermekaran dengan indahnya.

Aku terpaku untuk sesaat, menikmati pemandangan indah di hadapanku. March melirik, lalu menyentuh batang pohon tersebut dengan tangan putih pucatnya, menampakkan pintu yang terukir oleh sebuah cahaya.

"Ini rumahku. Kamu mau masuk atau bermain di halaman?"

Tak mampu berkata-kata, aku sedikit ternganga, "Aku akan bermain di sini saja dulu! Kupikir ... spirit tidak punya rumah. Bukankah kalau dalam dongeng, mereka bisa kembali ke dunia spirit dan menikmati waktunya di sana?"

Bagaimana bisa, kita baru kenalan dan ia langsung mengajakku masuk ke dalam rumahnya? Walaupun aku tidak mencium niat jahat darinya, tetap saja hal itu mengganggu di pikiranku. Aku tidak bisa membaca ekspresinya, jadi sulit untukku bila terperangkap dalam masalah nanti.

"Memang benar, itu tidak keliru. Tetapi, aku adalah salah satu spirit yang tidak bisa kembali ke sana karena sesuatu. Kamu tidak tahu tentang dunia ini tapi memilih datang ke sini?"

"Eh?"

"Hah ... sudah kuduga."

Badanku terpaku, kebingungan. Apa yang ia maksud? Jantungku berdegub kencang, berusaha mengatur deru napas yang perlahan tidak normal. Tawa sok polos kukenakan, berusaha untuk tak mengetahui makna perkataannya saat ini, "Haha, soalnya dunia ini terdengar menarik untuk dijadikan petualangan!"

"Yah, bisa dibilang karena aku adalah salah satu penjaga di dunia ini. Maka, aku tidak bisa pulang. Tetapi, aku masih bisa berkomunikasi. Karena itu, tolong hapus kekhawatiran yang berada di dalam hatimu," lanjutnya sembari menghela napas, lalu melangkah ke dalam dan menutup pintu, meninggalkanku sendirian di luar. Mungkin, ia peka kalau aku masih merasa curiga padanya.

Di saat seperti ini, aku malah mengingat perkataan Kelvin yang mengatakan untuk tidak mengikuti orang asing. Tetapi, aku malah sudah sampai di rumah orang tersebut. Saat kembali nanti, sepertinya aku akan minta maaf karena tidak melaksanakan pesannya.

Setelah March masuk ke dalam rumah pohon. Aku menoleh, mengedarkan pandangan pada bunga berwarna biru di hadapanku. Aku mendengkus sembari mengambil tempat dan mulai memetik bunga tersebut satu persatu. Toh, tujuan awalku adalah mencari angin segar, hanya sendirian.

"Hm, berapa mahkota bunga yang perlu kubuat? Untuk Millie, Kelvin, Alexander, dan ...," gumamanku terjeda, melirik sejenak pada pohon yang berada di sampingku. Lalu, kuulas senyum tipis di wajah dan melanjutkan, "empat saja, deh."

Jari jemariku yang bergerak, sementara fokusku berpusat pada bunga yang kusentuh. Kalau sempat, aku akan membuatkan mereka semua termasuk yang tidak kusebut. Hanya saja, aku masih was-was dengan Arvy, Alfred, dan Lavender. Entah mengapa, aura mereka mengatakan bahwa merekalah yang paling berbahaya. Aku tidak boleh terlalu dekat dan tak boleh pula membuatnya marah.

Detik demi detik berlalu, merangkai mahkota bunga dengan tujuan menghabiskan waktu. Rasanya, seperti kembali pada memori yang tak bisa kuingat. Perasaan familiar yang deja vu ini membuatku menghela napas. Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama. Sebuah teriakan terdengar dari balik kananku, mau tak mau membuatku menoleh untuk mengeceknya.

Oh, ternyata ada yang mencariku rupanya.

"Oi! Kemana saja kau, hah?!" seru Alexander dengan wajah memerah. Ia berlari sembari menggenggam busurnya dengan erat. Napasnya terengah-engah, berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa normal, ia menggeram kesal dan kembali mengangkat suara, "kupikir kau hanya akan berjalan-jalan di pinggir hutan. Tapi, kenapa malah masuk sampai ke dalam begini?! Kau tahu tidak seberapa paniknya aku saat tak lagi mendengar deru napasmu lagi?"

"Eh, dari jarak sejauh itu, kau bisa mendengar embusan napasku?" tanyaku, kebingungan.

Kekuatannya apa, sih? Berkaitan dengan berburu, ya?

Ia mengerjap, tersadar akan perkataannya sendiri dan berdehem. Wajah pemuda itu masih memerah. Tangannya menggaruk lehernya yang tak gatal seraya memalingkan wajah. Aku tak tahu, tetapi aku merasa ia setengah lega, "Lupakan. Bagaimana bisa kau selamat setelah masuk hutan sendirian? Biasanya, kalau kami masuk, hutan seolah tidak bersahabat."

Sendirian?

Tapi, rumah March tepat berada di samping kiriー

"Huh?"

Hilang. Tak ada tanda-tanda bekas pintu yang terukir, murni pohon oak yang tumbuh di tengah-tengah halaman bunga. Aku mengerutkan dahiku, berusaha memproses semua yang telah terjadi. Lantas, senyum kikuk terulas di wajahku. Oh, apa aku baru saja berhalusinasi untuk berjalan sendirian ke sini? Tapi, seharusnya tidak mungkin.

"H-hei, kenapa kau tiba-tiba pucat begitu?" Alexander mengernyit, sedikit khawatir.

"Bukan apa-apa."

"Yakin? Wajahmu seperti orang idiot habis melihat hantu. Apa kepalamu terbentur setelah berjalan sendirian? Urgh, sepertinya aku jadi paham mengapa Alfred menyuruhku untuk menjagamu. Kau 'kan yang paling muda di antara kami."

Apa yang harus kukatakan kalau itu memang benar? Kecuali bagian idiot-nya. Tetapi, March sudah berpesan agar aku tidak memberitahukan mengenai keberadaannya. Ah, aku masih tidak terlalu paham akan keberadaan makhluk-makhluk di sini. Bagaimana bisa aku membedakan yang mana spirit dan yang mana hantu asli?

Uh, memikirkan semua ini membuatku mual.

Membiarkan Alexander mengoceh sendirian. Lantas, satu mahkota bunga kuletakkan di dekat pohon. Aku tidak menganggap bahwa obrolanku dengan March hanyalah khayalan semata. Mengingat sakitnya punggungku yang bertubrukan dengannya tadi. Lalu, aku bangkit dari duduk seraya membawa tiga mahkota bunga yang telah selesai. Iris ungu itu terkunci pada sesuatu yang kubawa, memicu rasa penasaran dan keinginannya untuk melemparkan pertanyaan, "Jadi, ini yang kau lakukan selama menghilang, huh?"

"Oh, maaf. Aku membuatmu khawatir, ya?"

"Hah? Siapa yang--"

"Ini," ujarku sembari memberinya karangan bunga tersebut. Ia mengerjap, membatu, sama sekali tak bisa merespon. Dengan kaku, tangannya menerima mahkota bunga yang kuberikan. Ia menatap lekat, tak berusaha denial seperti biasanya. Heran akan perubahan tingkah, aku pun membuka mulut, "kau tidak suka, ya? Kalau tidak mau, bisa kembalikan, kok! Aku bisa memberinya ke yang lain."

"Tch, siapa yang bilang tidak menyukainya? Bukan begitu, hanya saja ... ini mengingatkanku pada Meida."

"Meida?"

Aku memiringkan kepala, mendekatinya dengan penasaran. Tersentak kaget, pipi itu merona merah dengan sempurna. Ia mundur, menutupi wajahnya dengan tangan. Ia menyanggah seraya menarik lenganku, meski tidak kuat, "Lupakan, ck! Mari kita pulang sebelum mereka kembali!"

Sembari kami melangkah kembali, angin yang menerpa kulitku terasa sejuk.

.
.
.

Author Note:

Halo! Udah lama ya, Kumi ga melanjutkan cerita ini, sobs. Yah, nyicil-nyicil, aku bakalan menyelesaikan fiksi ini, kok! (selama masih hidup habis dihantam tugas kuliah). Tinggalkan jejakmu di sini setelah membaca dan aku akan senang bangeeet!

Kebanyakan aktif buat ngeyume juga, sih. Akhirnya para anak-anakku ini diperhatikan dengan baik, huhu. Perlahan, aku bakal berusaha untuk tetap membuat eksistensi mereka tetap ada, kok. Aku juga kepikiran buat bikin webtoon setelah SUIMES dan Amittere tamat ... tapi masih abu-abu, haha.

Kayaknya fokus ke IRL juga terlalu banyak, sih. Semakin dewasa, kita semakin susah untuk mengekspresikan imajinasi kita dengan bebas, ya? Tapi, semoga kalian bisa terus berkarya! Terakhir untuk catatan kecil di chapter ini, apa yang akan Emily lakukan ya di part selanjutnya? Fufu.

Sampai nanti!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro